> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Word: Final Chapter
Bagian 10: Janji Hanya Tinggal Janji
Pagi itu dimulai dengan keheningan. Tidak ada pesan dari Kagami, tidak ada bisik-bisik di kelas, dan tidak ada insiden yang terlihat mencurigakan. Tapi anehnya, aku merasa jauh lebih cemas dibandingkan sebelumnya.
“AniGate…” panggilku dalam hati saat duduk di bangku belakang kelas.
> “Ya, Rei?”
“Kenapa rasanya ini terlalu tenang? Apa semuanya sudah selesai?”
> “Mungkin saja, mungkin tidak. Sistem tidak memberikan kepastian atas tindakan yang terjadi di dalam dunia ini.”
“Jadi kau tidak tahu?” Aku mendengus pelan, menatap keluar jendela. “Hebat sekali.”
...****************...
Lorong kelas terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana itu membuatku sedikit waspada, apalagi setelah insiden kemarin, ketika Kagami dipanggil ke ruang kepala sekolah. Aku sempat berpikir dia akan menyerah setelah dihukum, tapi firasat buruk tetap menggelayutiku sejak pagi. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda Kagami mulai bergerak lagi.
Namun saat istirahat tiba, segalanya berubah.
Aku sedang menuju kantin ketika suara tawa yang familiar membuat langkahku terhenti. Tawa itu—tawa Kagami dan teman-temannya.
Aku berbalik dan melihat mereka berdiri di ujung lorong, mengelilingi seseorang yang tampaknya tidak bisa bergerak. Tubuhku langsung menegang saat aku mengenali siapa yang ada di tengah lingkaran itu.
“Aiko?” gumamku pelan.
Dia berdiri diam, memeluk sesuatu di dadanya dengan erat. Wajahnya terlihat pucat, dan aku bisa melihat bahwa dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan.
“Ayo, tunjukkan apa yang kau sembunyikan,” kata Kagami, seringainya lebar. Satu senyuman iblis tersungging di wajahnya.
Dia mengulurkan tangan, mencoba meraih apa pun yang sedang Aiko pegang. Aiko menggeleng pelan, melangkah mundur, tapi Kagami lebih cepat. Dalam satu gerakan, dia meraih benda itu dan menariknya dengan kasar.
“Lihat ini,” katanya sambil menatap benda itu dengan tatapan mencemooh. “Oh? Ini buku catatan kecil itu? Kau masih menyimpan ini?”
Aku terkejut. Bukankah buku itu seharusnya sudah hancur kemarin? Aku melihatnya sendiri halamannya sobek berkeping-keping. Tapi sekarang, meskipun terlihat penuh tambalan dan bekas robekan, buku itu tampak seperti telah diperbaiki dengan sangat hati-hati.
“Tunggu,” kata salah satu teman Kagami, mengambil buku itu dari tangannya. “Ini kayaknya habis diperbaiki. Kau pasti benar-benar menyayangi sampah ini, ya, Shizuru-san?”
Kagami tertawa kecil, lalu merebut buku itu kembali. “Oh, kau mencoba memperbaikinya? Hahaha! Ngapain sih? Kocak banget kamu ini. Hahaha.”
Aku segera melangkah ke arah mereka, mencoba memotong pembicaraan sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
“Kagami!” teriakku.
Dia menoleh, seringainya langsung berubah menjadi tatapan mengejek. “Ah, lihat siapa yang datang. Lagi-lagi kau pahlawan kesiangan! Takahashi Kenta.” ujarnya dengan nada licik lagi mencemooh.
Aku berdiri di antara Kagami dan Aiko, mencoba menenangkan napas. “Kembalikan itu, Kagami. Sekarang!”
Dia tertawa lagi, mengangkat buku itu tinggi-tinggi. “Kau tahu? Aku tidak peduli apa yang guru itu katakan kemarin. Kau pikir aku akan membiarkan ini berlalu begitu saja? Tidak, Kenta. Aku akan pastikan kalian berdua tidak pernah melupakanku.”
Sebelum aku bisa bereaksi, Kagami merobek buku itu dengan gerakan cepat.
“Tidak!” Aiko berteriak, suaranya pecah menjadi tangisan pelan.
Aku mencoba meraih buku itu, tapi teman-teman Kagami segera menghadangku. Aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan setiap halaman yang sudah diperbaiki dengan hati-hati kembali hancur. Serpihan kertas itu jatuh ke lantai, tersebar seperti salju yang tertiup angin.
“Aku akan pastikan tidak ada yang tersisa kali ini,” kata Kagami sambil menepuk tangannya.
Dia melemparkan sisa-sisa buku itu ke lantai, lalu menatapku dengan tatapan penuh kemenangan. “Baiklah, pahlawan. Lakukan sesukamu. Tapi aku janji, ini belum selesai.”
Dia berbalik dan pergi, meninggalkan aku dan Aiko dalam keheningan yang menyakitkan.
Aku menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Di depanku, Aiko berlutut, mengumpulkan serpihan-serpihan kertas itu dengan tangan gemetar. Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan bahwa aku akan melakukan apa pun untuk melindunginya. Tapi suaraku tercekat.
“Aiko…” aku memanggilnya pelan.
Dia tidak menjawab, hanya terus memunguti serpihan-serpihan itu dengan air mata yang mengalir di pipinya.
...****************...
Di Atap Sekolah, Sore Itu
Angin musim semi yang lembut berhembus di atap sekolah, tapi aku tidak bisa merasakan apa-apa selain dingin yang menusuk. Aiko duduk di tempat biasanya, bahunya sedikit membungkuk, seolah mencoba membuat dirinya sekecil mungkin.
Aku duduk di sampingnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Tapi keheningan yang menyelimuti kami terasa terlalu tebal, dan aku tidak tahu harus mulai dari mana.
“Aiko…” Aku memanggilnya pelan, berharap dia mau berbicara lebih dulu. Tapi dia tetap diam, memeluk tasnya erat-erat.
Akhirnya, aku tidak bisa menahan diri lagi. “Bisa kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia mengangkat wajahnya sedikit, menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku bisa melihat dia ragu, seolah mencoba memutuskan apakah aku layak mengetahui kebenarannya atau tidak.
“Aiko,” desakku, suaraku lebih tegas. Aku meraih kedua bahunya dengan lembut, mencoba meyakinkannya bahwa aku benar-benar ingin tahu. “Tolong ceritakan padaku.”
Dia menggigit bibirnya, lalu dengan gerakan pelan, dia membuka tasnya dan mengeluarkan sisa-sisa buku catatan kami. Halaman-halamannya yang robek, beberapa di antaranya bahkan nyaris tidak bisa dikenali, membuat dadaku terasa semakin berat.
Dengan tangan gemetar, dia mengambil pena dari sakunya dan mulai menulis di salah satu halaman yang masih kosong.
> Aku mencoba memperbaikinya. Semalaman. Aku pikir… aku bisa menyelamatkan sesuatu yang berarti.
Aku membaca tulisan itu, dan rasanya seperti jarum menusuk dadaku. “Hei-hei? Ini sudah keterlaluan bukan?” gumamku dalam hati.
Dia menundukkan kepala, lalu menulis lagi.
> Tapi semuanya sia-sia. Mereka merusaknya lagi. Kali ini, aku tidak punya apa-apa lagi.
Tangisnya pecah. Air mata mulai mengalir di pipinya, menetes ke halaman buku catatan yang sudah hancur.
“Aiko…” Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin memberikan kata-kata yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tapi tidak ada yang keluar. Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa bersalah yang semakin menghimpitku.
“Ini salahku,” gumamku akhirnya, suaraku nyaris tidak terdengar.
Dia menggeleng cepat, menulis lagi dengan tangan yang gemetar.
> Ini bukan salahmu. Kau sudah mencoba. Itu lebih dari cukup!
Aku membaca tulisan itu, tapi aku tidak bisa menerima kata-kata itu. “Tidak, itu tidak cukup,” kataku, nada suaraku naik. “Aku seharusnya bisa melindungimu. Aku seharusnya bisa menghentikan mereka.”
Dia menatapku lama, lalu menulis sesuatu yang lebih panjang kali ini.
> Kenta… kau adalah satu-satunya orang yang berdiri di sisiku. Itu sudah lebih dari cukup untukku. Terima kasih.
Aku membaca tulisan itu, dan kali ini, aku merasa ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Aku tidak ingin hanya menjadi orang yang mencoba. Aku ingin menjadi orang yang bisa membuat perbedaan nyata.
“Aiko,” kataku pelan. “Aku berjanji. Aku akan melakukan apa pun untuk memastikan mereka tidak akan menyakitimu lagi.”
Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Kemudian, dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Aku tertegun sejenak melihatnya. Tampaklah di dalam genggaman tangan mungilnya, seikat karangan bunga kecil yang tampak sederhana, tapi indah. Dia menyerahkannya kepadaku dengan senyuman lembut.
> Ini untukmu. Sebagai terima kasih.
Aku menerima bunga itu dengan hati-hati, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di mataku. “Terima kasih, Aiko. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
...****************...
Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa pun lagi, dunia di sekitarku tiba-tiba memudar.
“Apa—” aku mencoba berbicara, tapi suara AniGate memotongku.
> “Misi Anda telah selesai, Rei.”
Aku merasa tubuhku ditarik dari dunia itu, cahaya putih memenuhi pandanganku.
“AniGate! Tidak! Aku belum selesai di sini!” teriakku, tapi suaraku hanya menggema di ruang kosong.
> “Keputusan sistem tidak dapat diubah. Anda telah menyelesaikan tujuan Anda di dunia ini.”
Aku menggertakkan gigi, mencoba melawan kekuatan tak terlihat yang menarikku. Ketika semuanya memudar, aku kembali berdiri di ruang hampa AniGate. Dingin. Sepi. Hampa.
“AniGate!” teriakku lagi, suaraku penuh dengan amarah dan keputusasaan. “Kenapa kau menarikku keluar? Aku belum selesai di sana! Aiko… dia masih membutuhkan aku!”
> “Misi Anda telah selesai. Tujuan Anda adalah untuk belajar, bukan menyelesaikan segalanya.”
“Tapi aku tidak bisa meninggalkan Aiko seperti itu! Dia akan…” Suaraku tercekat. Aku tahu dia tidak akan baik-baik saja. Tidak setelah semua yang terjadi.
> “Anda telah meninggalkan dampak yang cukup.”
“Cukup?!” Aku membentaknya, merasa seluruh tubuhku bergetar. “Cukup untuk siapa? Aku tidak bisa menghentikan Kagami! Aku tidak bisa melindungi Aiko! Apa itu yang kau sebut cukup?”
> “Kehidupan Aiko akan berjalan sesuai dengan jalannya. Dunia ini dirancang untuk menguji empati dan keberanian Anda, bukan untuk menyelesaikan setiap konflik.”
“Aku tidak peduli apa tujuanmu!” Aku mengepalkan tangan, merasa napasku semakin berat. “Kau berbicara seperti semuanya hanya permainan. Tapi itu bukan permainan bagiku! Itu hidup seseorang!”
> “Koreksi: itu adalah simulasi.”
“Aku tahu itu!” Aku berteriak, meskipun di dalam hati aku tidak yakin. “Tapi bagaimana aku bisa merasa ini hanya simulasi kalau aku…” Suaraku melemah. “Kalau aku benar-benar peduli pada mereka?”
AniGate terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
> “Itu karena Anda manusia, Rei. Rasa peduli Anda adalah bukti bahwa Anda telah berkembang.”
Aku terdiam, mencoba memproses kata-kata itu. Tapi rasa frustrasi tetap membara di dadaku. “Apa gunanya berkembang kalau aku tidak bisa menyelamatkan siapa pun?”
> “Karakter Anda telah berkembang. Itu adalah langkah pertama. Anda tidak harus menyelamatkan semua orang untuk menjadi lebih kuat.”
Aku menggeleng, merasa hatiku hancur. “Kau tidak mengerti…”
> “Mungkin saya tidak mengerti, tapi data menunjukkan bahwa kehidupan Aiko akan berjalan dengan baik. Sistem ini telah memperhitungkan segalanya.”
Aku menatap layar yang mulai memunculkan cuplikan masa depan dunia itu. Di sana, aku melihat Aiko dan Kagami di taman. Kagami berbicara dengan wajah penuh penyesalan, sementara Aiko tersenyum kecil.
“Ini tidak cukup,” gumamku pelan. “Ini… tidak cukup.”
> “Namun, ini adalah hasil alami dari dunia ini.”
Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang meluap. “AniGate, kau benar-benar… brengsek.”
> “Terima kasih, Rei. Itu pujian yang menarik.”
Aku ingin membalas lagi, ingin memaki, tapi kata-kata itu tidak keluar. Aku hanya bisa menunduk, memikirkan senyuman terakhir Aiko dan bunga kecil yang dia berikan padaku. Kini semua itu memudar, lantas sirna tanpa sisa.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Baiklah. Apa selanjutnya?”
> “Dunia berikutnya. Siapkah Anda melanjutkan perjalanan?”
Aku menatap layar itu sekali lagi, rasa berat di dadaku belum hilang. “Aku tidak punya pilihan, kan?”
> “Benar sekali.”
Namun, saat AniGate mempersiapkan perpindahan, satu pertanyaan terus terngiang di kepalaku.
Apa aku memang benar-benar selemah itu?
aku mampir ya 😁