Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18 Dia Tak Seperti yang Diduga
“Jadi bagaimana, Pa, Ma? Apa kalian setuju?”
“Papa terserah sama kamu, Nara. Yang terpenting adalah kebahagiaan kamu. Toh, kamu yang akan menjalani semua ini.” Sebagai seorang ayah pula, Amar ingin terbaik bagi putrinya. Tatapannya kini beralih pada Argha yang juga terlihat tegang. “Saya hanya minta sama kamu, untuk bisa mencintai Inara dengan sepenuh hati, melindungi putri saya dengan sebaik-baiknya.”
Argha menganggukkan kepala. “Saya berjanji, hanya dia satu-satunya wanita dalam hidup saya, Om.”
Bibir Inara mencebik. ‘Jelas. Orang ….’ Inara menggelengkan kepala. ‘Gak. Gue gak boleh berpikir kaya gitu. Pokoknya, dia harus sembuh.’
“Jadi, tanggal pernikahan bagaimana?” tanya Susi kemudian, wajahnya menunjukkan antusias yang begitu tinggi.
“Besok pagi, pihak dari keluarga saya akan datang secara resmi dengan membawa serah-serahan.”
Inara ternganga, hal seperti ini sama sekali tidak ia tahu. Argha tak mengatakan ini sebelumnya. Argha tersenyum manis, membuat Inara geleng-geleng kepala.
“Woah, iya kah? Akhirnya … gak jadi sama adeknya, nikah sama abangnya, Nara.” Susi memang tidak bisa mengendalikan diri. Ucapannya jelas membuat Argha sempat heran. Pantas jika Inara banyak bicara dan ceplas-ceplos, pabriknya juga sama.
Hanya saja, Inara tidak sebar-bar mamanya. Namun, meskipun begitu Argha senang, keluarga Inara begitu hangat. Tak seperti keluarganya yang dingin.
“Oh, ya. Kamu nginep di sini, kan Nak Argha? Sudah sangat malam ini. Di sini gak ada penginapan atau hotel.”
“Ma, tapi kalau Pak Rt datang—“
“Tenang, biar diurus papamu. Sekarang, suruh Nak Argha ke kamar tamu, maaf ya, rumahnya kecil, gak besar kaya rumahnya kamu di kota,” ucap Susi dengan cengengesan.
“Tidak masalah, Tante. Oh, ya. Sebentar saya ambil baju ganti di bagasi, sekalian oleh-olehnya. Sampai lupa.” Argha menggerayangi tengkuknya. Ini gara-gara Inara sejak tadi membuatnya gagal fokus dan membuatnya takut.
“Ha? Ada oleh-oleh juga ya ternyata? Hehehehe. Pa, itu bantuin calon menantunya biar Nara mandi dulu,” titah Susi mendorong punggung suaminya.
Pak Amar sendiri sebenarnya malu. Namun, bagaimana lagi, setelan Susi memang sudah seperti itu sejak lama.
“Iya. Ayo!”
Inara pergi ke kamarnya. Ia menutup pintu dengan cepat, lalu berlari menuju ranjang yang ia rindukan. “Woah … rasanya kangen banget sama kamar ini. Pingin tidur sampai siang, jadi gak mikirin kerjaan lagi.”
Bukannya mandi, Inara malah merebahkan tubuhnya di ranjang, memeluk boneka babi kesayangannya itu, sesekali menoel hidungnya. “Hey, apa kamu jadi korbannya Nadira? Sekarang aman kan kamu, dia ada di kost-an.”
Nadira adalah adik Inara. Gadis itu berusia 21 tahun. Masih kuliah dan setahun lagi akan lulus. Sejak dulu, Nadira dan Inara jarang sekali akur, mereka sering bertengkar, namun sesungguhnya kakak beradik itu saling menyayangi satu sama lain.
Inara tidak pernah terbuka masalah percintaannya pada sang adik, mengingat adiknya itu lebih bokem darinya.
“Astaga! Aku belum kabarin Mili dan Reyhan! Mending gue mandi dulu, habis ini minta nomor ponsel Mili dan Reyhan.”
Inara berlari menuju ke kamar mamanya. Dan seperti biasa, Susi mendelik karena Inara masih mengenakan pakaian yang sama.
“Kamu belum—“
“Tenang mamaku yang cantik. Aku ke sini mau minta nomor ponselnya Mili dan Reyhan.”
Susi menghela napas dengan kasar. Ia meraih ponsel yang ada di meja rias. Lantas, memberikannya pada Inara. “Nih. Habis ini mandi!”
Inara mengangkat kedua jarinya, membentuk huruf O. “Siap, Ndan!”
Usai menyalin nomor ponsel Milea dan Reyhan, Inara menyerahkan ponsel mamanya. “Makasih, Ma. Nara mau ke kamar dulu. Selamat malam!”
Susi hanya geleng-geleng kepala. Heran dengan kelakuan putrinya itu. “Dasar anak itu.”
Inara melakukan panggilan video call. Jujur, ia terlihat gugup. Ia yakin, kedua sahabatnya ini pasti akan mengomel.
Pertama, ia memanggil Reyhan. Cukup lama, pria itu tak menjawab. Hingga sekarang ia melihat Reyhan yang sedang duduk di tepi ranjang, menunjukkan wajah bantalnya.
“Ternyata kamu, Inara. Kupikir siapa? Kamu pakai nomor baru?” tanya Reyhan di seberang sana.
Inara manggut-manggut, ia menggeser tubuhnya, memperlihatkan view di belakangnya dengan cengiran.
“Wah, kamu sudah di rumah? Kenapa tidak mengabari kami?” sembur Reyhan.
“Tenang, Rey. Aku akan jelasin, tapi aku mau sambungin ini ke Mili dulu,, supaya gak capek jelasin lagi.” Inara menegakkan duduknya, Reyhan manggut-manggut, meski setengah mati menahan rasa penasarannya itu.
Tak lama, Milea juga mengangkat panggilan video call dari Inara. Ekspresinya ama saja seperti Reyhan. Bahkan jauh lebih parah.
“Jelasin sama aku, Nara! Apa yang terjadi? Kenapa kamu menghilang kaya ditelan bumi?” Milea menyerbu. Bahkan ia kecewa pada Inara, ketika ia sakit, gadis itu sama sekali tak datang menjemputnya.
“Maaf, Mil. Aku memang sedang disandera sama Mas Argha. Aku—“
“Wait! Kamu bilang apa? Mas?” Milea memotong ucapan Inara.
Inara mengangguk dengan cengiran khasnya. Ia tak bisa menyembunyikan ini lebih lama, kalau tidak Milea dan Reyhan akan kembali mengamuk. “Kami akan menikah. Aku tidak bisa menghubungi kalian, karena ponselku hilang waktu pingsan.”
“Ya Tuhan … Nar. Sumpah, aku tidak tahu harus bagaimana, kamu sama sekali tidak cerita apapun. Mengenai putusnya kamu sama Pak Artha, lah ini malah kamu mau nikah sama Pak Argha, gimana ceritanya?” Milea memijat kepalanya. Ia paling bawel di sini. Sementara Reyhan hanya diam, mencoba mendengarkan penjelasan Inara dengan baik.
Suasana menjadi melow, saat Inara menceritakan kronologi yang ia alami, dari melihat cumbuan Artha, sampai ia terserempet dan berakhir kakinya keseleo. Inara bahkan sampai menitikan air mata. Mengenang rasa sakit yang Artha torehkan.
“Ya ampun, Nar. Kok aku jadi ikutan sedih gitu? Terus keputusan apa itu? Kenapa kamu menyetujui perjanjian dengan Pak Argha, Nar? Balas dendam bukanlah solusi yang baik. Pernikahan bukan sebuah permainan.” Milea tahu betul bagaimana keluarga Winata itu. Mereka konglomerat, sementara Inara hanya rakyat kecil yang bisa saja ditindas dan dicurangi. Parahnya dimanfaatkan. Milea tak mau itu terjadi pada Inara.
“Gak ada pilihan lain, dari pada keluargaku menahan malu juga. Kamu tahu, kan mama seperti apa?” Inara menyeka jejak air matanya menggunakan telapak tangan.
“Nara, harusnya kamu cerita ini dulu sama kami,” sahut Reyhan. “Pak Argha, kami mendengar berita mengenai Pak Argha. Nara, jujur, kami tidak mau kamu terluka.”
Inara menundukkan kepala. Ia juga tak tahu, bagaimana kehidupannya nanti. Benarkah keputusan yang ia ambil sudah benar?
“Maaf,” cicit Inara.
“Nasi sudah menjadi bubur. Kamu juga gak mungkin juga langsung main bilang batal begitu saja. Pak Argha pasti tidak akan melepaskan kamu. Aku berharap, Dewi Fortuna terus ada pada diri kamu. Semoga saja, Pak Argha tidak seperti yang diberitakan, dan semoga saja dia tidak sebrengsek Artha,” ucap Milea dengan sendu.
“Sebenarnya … aku juga gak yakin, kalau Pak Argha seperti apa yang diberitakan,” ucap Inara kemudian. Dan kini wajah Milea yang terlihat penasaran.
“Jadi ….”
Inara mengingat atas ciuman itu. Ia yakin, ada sesuatu yang bereaksi. Tanpa Argha tahu, milik pria itu menyentuhnya. Ia bisa merasakan betapa kerasnya itu. Lantas, Inara menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran kotornya.
“Nara, apa yang terjadi? Apa kalian—“
“Mil, Rey, mama memanggilku. Sepertinya Mas Argha butuh sesuatu. Udah dulu ya,” potong Inara beralibi.
“Ha? Jadi Pak Argha ada di ….” Belum selesai Mili berucap, Inara menutup sambungan video callnya.
Bahkan Inara sampai membuang ponselnya ke ranjang, mengurut dadanya yang berdebar. “Ya Tuhan … apa yang sedang aku pikirkan tadi?”