Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendatangi Masa Lalu (1)
Setelah acara pernikahan yang diadakan tiga bulan lalu, hari ini, aku bersama suamiku sedang mengikuti acara reuni sekolah yang diadakan pada malam hari.
Namun, ini bukanlah acara reuni tempat aku sekolah dulu, melainkan tempat suamiku menuntut ilmu semasa SMA.
Pemandangan sekolah ini tampak tidak asing di dalam ingatanku. Kenapa? Yup, karena dulu, secara tidak sengaja aku pernah mengikuti acara festival di sini, berkat teman lamaku, Sofia.
'Apa kabar ya, dia sekarang? Kuharap, kami tidak usah bertemu,' doaku dalam hati dengan bersungguh-sungguh.
Acara malam ini benar-benar telah dipersiapkan dengan baik. Lapangan sekolah yang luas ini, dimanfaatkan sebagai tempat reuni diadakan.
Meriah sekali. Suasana dan bangunan di sini juga terlihat tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku lihat dulu. Yang berubah itu adalah aku.
Lihat, perkataanku bertahun-tahun yang lalu akhirnya jadi kenyataan. Sekarang, aku telah menjadi bagian dari manusia elit itu.
'Haha!'
"Kenapa senyum?" tanya mas Arwan, ketika mendapatiku menyunggingkan sebuah senyuman, sebab keasikan berkhayal.
Wajah khawatir mas Arwan, entah kenapa membuatku sedikit tersinggung. 'Aku sehat, kok!' teriakku dalam hati.
"Ah, nggak pa-pa. Sekolahnya bagus," jawabku seadanya, setelah berhasil menetralkan emosi.
'Ingat! Aku adalah wanita yang sudah menikah.' Aku terus mengingatkan diriku sendiri.
Aku sadar, bahwa memang aku masih memiliki emosi yang tidak stabil. Itulah mengapa, awalnya aku belum ada keinginan untuk menikah. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Seorang pria telah berhasil menemukan tulang rusuknya.
"Wan, Arwan! Sini!" Seorang pria terdengar berteriak dari kejauhan, memanggil nama suamiku.
"Ayo, kita ke depan sana," ajak mas Arwan padaku.
Aku pun menurut dan segera berjalan mengikuti langkah mas Arwan yang lebar, menghampiri teman lamanya.
Tak kusangka, acara ini dihadiri oleh banyak orang. Mungkin, ada beberapa angkatan yang ikut hadir di sini.
"Hey, pengantin baru dateng rupanya. Sorry, kemaren aku nggak sempat hadir karna lagi meeting di luar kota." Orang yang memanggil tadi, langsung menyapa mas Arwan dengan ramah.
"Nggak pa-pa," jawab mas Arwan singkat.
"Oh, iya, lupa belom kasih salam. Selamat malam, saya Hendra, teman sekelas Arwan dulu," ucapnya padaku.
"Iya, selamat malam," jawabku singkat.
"Wah, mereka nyiapin ginian juga?" Mas arwan bertanya, setelah menatap layar LCD di depan sana, yang terus menampilkan beberapa foto siswa-siswi berseragam sekolah.
Benar-benar acara reuni yang sesungguhnya. Acara reuni memang dipenuhi hal-hal yang memicu nostalgia.
Para tamu yang hadir, terlihat sedang mengobrol dan sesekali tertawa sembari memandangi layar LCD. Mereka semua adalah korban nostalgia dari acara ini.
'Kasihan.'
"Iya. Nggak tau siapa yang nyiapin. Mungkin, anak OSIS dulu yang masih nyimpen dokumentasi," jawab teman mas Arwan yang bernama Hendra.
Mas Arwan kemudian mengajakku duduk di kursi yang telah ditata memutari sebuah meja bundar.
Setiap meja memang dikelilingi beberapa kursi berwarna putih. Makanan yang dipersiapkan di atas meja juga sangat beragam dan terlihat menggiurkan.
"Maaf, aku ketemu temen dulu, ya? Kamu nunggu di sini, nggak pa-pa?" Mas Arwan pamit kepadaku sebelum pergi. Ternyata, dia hanya mengantarkan untuk duduk.
Agak berlebihan memang. Aku bukan anak kecil. Apa dia khawatir jika aku tersesat?
Tak kusangka, aku telah menikahi seorang pria yang cukup protektif.
'Menarik.'
Suamiku ini memang selalu terbiasa untuk pamit dan melapor. Aku senang dengan sikapnya itu. Aku pun, juga selalu bilang padanya terlebih dahulu, jika hendak bepergian. Memang seharusnya begitu, kan?
Aku tersenyum lembut. "Iya. Pergi aja, tapi jangan lama-lama." Setelah mendengar jawabanku, mas Arwan pun segera beranjak pergi entah ke mana. Aku tadi lupa bertanya.
Karena aku bukanlah alumni dari sekolah ini, tentu saja aku tidak memiliki kenalan, sehingga akhirnya merasa terasingkan.
'Bosan.'
Seharusnya, tadi aku mengekor mas Arwan saja.
Aku pun, mencoba beberapa kudapan yang telah disajikan di atas meja bundar di hadapanku.
'Enak!'
Semua makanan ini ternyata bukan kaleng-kaleng. Bukan hanya dari penampilan saja, rasanya pun juga berkelas.
Saat ini, aku sedang asik makan sambil ikut menonton layar LCD yang terus menyala sejak tadi. Aku sedang berusaha menemukan foto suamiku saat masih SMA.
Nihil. Dari tadi, layar di depanku hanya menampilkan wajah-wajah yang terlihat asing bagiku.
Mas Arwan bilang, dulunya dia adalah seorang ketua OSIS. Apa sesibuk itu, sampai tidak terbidik oleh lensa kamera?
"Wah! Itu bukannya istri kamu, Wan?" Suara keras dari arah samping, membuatku terkejut.
Suamiku ternyata sedang ngobrol dengan temannya yang bernama Hendra tadi, tak jauh dari tempat dudukku saat ini. Kukira, mas Arwan pergi jauh.
Aku baru tahu, Si Hendra itu ternyata keras sekali suaranya. Padahal, mas Arwan hanya berdiri tepat di sebelahnya. Aku khawatir jika sepulang dari sini, suamiku harus mengunjungi dokter THT.
'Hah, isi dunia ada-ada saja.'
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kelakuan teman mas Arwan. Dan gerakan kepalaku seketika terhenti, di saat aku menatap layar LCD yang menampilkan sosok diriku, terlihat sedang memakan beberapa kue, ketika dahulu sekolah ini mengadakan acara festival.
Aku sama sekali tidak sadar kalau kejadian di masa lalu itu ternyata telah terabadikan dalam sebuah foto.
Gawat. Bagaimana kalau mas Arwan berpikir macam-macam?
Aku pun, refleks menutupi sebagian wajahku dengan telapak tangan.
Tapi sayang, beberapa teman mas Arwan ternyata masih bisa mengenali wajahku saat ini.
Orang-orang jadi menatap ke arahku. Aku memang senang dengan perhatian, tapi bukan yang seperti ini.
Bagaimana mereka bisa tahu, kalau siswi yang terpampang di layar itu adalah diriku?
'Memalukan!'
Seumur hidup, aku tidak akan mengatakan pada mas Arwan, kalau saat itu aku sedang mencari keuntungan sendiri dengan menyantap makanan gratis, dan enggan untuk membelinya dengan uang.
Pikiranku jadi sibuk sendiri saat ini.
"Wah, jadi waktu itu, Arwan lagi disamperin sama ceweknya? Selama ini kita semua nggak ada yang sadar, loh! Ck ck ck! nggak nyangka, ketua OSIS kita ternyata diem-diem udah pacaran dari jaman sekolah. Berarti, kamu sama istrimu udah pacaran berapa tahun?" Mulut teman mas Arwan itu sepertinya sedang bocor. Dia berceloteh sendiri dan tidak ada habisnya. Membuatku gemas saja.
"Sayangnya, waktu itu kami adalah dua orang yang masih asing," jawab mas Arwan santai sembari menatap ke arahku yang sedang duduk.
Aku melirik sekilas ke arah mas Arwan. Kami seakan sedang berbicara lewat tatapan.
'Maaf, Mas Arwan. Istrimu ini memang memiliki aib masa lalu yang sedikit memalukan. Tapi tenang, aku bukanlah kriminal.' Pikiranku melantur ke mana-mana.
"Lah! Terus, istrimu waktu itu kenapa bisa ada di sekolah kita?" Hendra kembali bertanya sambil melihat orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, seakan hendak mencari jawaban.
Hendra itu sepertinya suka sekali mengurusi kehidupan orang. Namun sayang, tidak ada satu orang pun yang bisa menjawab pertanyaan darinya. Dan suasana, seketika terasa hening untuk sesaat, sebelum ada suara dari seseorang yang menjawab pertanyaan Hendra barusan.
"Ah, waktu itu, dia datang bersama saya." Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar di tengah kerumunan orang-orang yang berkumpul di acara ini. Dan kemunculannya yang tiba-tiba itu, berhasil membuatku terkejut.
'Wanita itu, adalah Sofia?'
Aku membuka mataku lebar-lebar, karena takut salah lihat. Dan benar, dia memang Sofia.
'Loh, bukankah Sofia dulu satu sekolah denganku? Kenapa bisa ada di sini?'
Dan pertanyaanku akhirnya terjawab sudah, ketika seorang pria ikut berjalan di samping Sofia.
'Oh, mereka berdua masih langgeng, ternyata. Kalau tidak salah, namanya Adi.'
Pria itu, dulunya adalah kekasih Sofia sejak SMA. Ah, entahlah, sudah berapa lama mereka pacaran. Aku tidak tahu. Sejak SMP, atau SD, aku juga tidak peduli karena bukan urusanku.
Sebenarnya, aku merasa sedikit kesal begitu melihat wajah Sofia. Namun, aku harus tetap tenang dan menahan emosi. Karena sekarang, aku adalah seorang wanita yang sudah menikah. Apalagi, dengan seseorang yang nama baiknya juga berada di tanganku.
'Oke, tarik napas, lalu buang.' Aku berusaha menenangkan diriku sendiri saat ini.
Aku menajamkan penglihatanku, memperhatikan outfit yang dikenakan oleh Sofia dan suaminya.
Sekarang, aku benar-benar berada di kelas yang berbeda dengan mereka.
Dari kejauhan, aku masih bisa melihat jas yang dikenakan oleh suami Sofia, terlihat memiliki jahitan yang kurang rapi. Dan lagi, bibirku menyeringai tanpa sadar, ketika melihat garis lipatan pada lengan jas yang Adi kenakan.
Cara Sofia menyetrika baju sama sekali tidak berubah sampai sekarang. Melihat bentuk lipatan itu, dia pasti membalik baju sebelum menyetrika, karena khawatir warnanya akan memudar.
Ternyata, bukan hanya kelas yang berbeda, tetapi statusku dengan Sofia pun, juga sangat jauh berbeda.
Di rumah, aku adalah seorang istri, bukan pembantu.
'Lihat Sofia! Sekarang, siapa yang jadi gembel?' ujarku dalam hati sambil menyeringai lebar.
Perkataan yang dulunya Sofia lontarkan padaku, masih terdengar sangat jelas dan terus terngiang dalam kepalaku.
Itulah mengapa, ada yang bilang bahwa perkataan adalah doa. Oleh karena itu, kata 'gembel' dari Sofia, telah memantul pada dirinya sendiri.
Ada peribahasa yang mengatakan, bahwa lisan itu dapat menembus, apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum.
Tentu saja, karena perkataan yang tidak disaring itu dapat membuat hati orang serasa ditusuk. Dan tingkat kedalamannya tidak diketahui, kecuali oleh sang korban sendiri, yang telah mendengar ucapan tajam tersebut.
Sofia terlihat berjalan menghampiriku, lalu duduk di kursi yang berada tepat di sebelahku.
"Apa kabar?" tanyanya, diiringi dengan senyuman lebar ke arahku.
"Sangat baik," jawabku dengan menunjukkan senyuman yang sedikit terpaksa.
"Oh, aku juga baik."
'Padahal aku tidak tanya,' batinku.
"Omong-omong, kamu kok, nggak ngundang aku ke pernikahanmu?"
"Sendirinya juga nggak ngundang," jawabku cepat.
"Ah, iya. Itu, karna pernikahanku cuma dihadiri sama keluarga deket aja. Sorry." Setelah Sofia mengatakan itu, terjadi keheningan sesaat.
Aku juga tak mengatakan apapun karena sedang asik memakan kue manis yang disuguhkan di atas meja.
"Nggak nyangka, sekarang kamu udah jadi nyonya besar, ya? Kata suamiku, Arwan itu penerus keluarga Beentang, kan?" Sofia kembali membuka percakapan denganku.
"Yah, begitulah," jawabku seadanya, setelah menjeda acara makanku.
"Tapi, waktu itu kamu bener-bener nggak kenal sama suamimu? Apa kalian berdua mulai kenalan pas acara festival itu?" tanya Sofia dengan raut wajah terlihat penasaran.
Aku segera menyanggah, setelah menelan kue yang sedang kumakan.
"Nggak. Nggak ada cerita begitu. Ini yang dinamakan jodoh sudah ada yang mengatur," jelasku pada Sofia, agar dia tidak mengira bahwa aku adalah orang yang suka pacaran macam dirinya.
Aku baru sadar, kalau bisa jadi, dulu aku sempat berpapasan dengan mas Arwan.
Ah, kurasa aku ingat. Saat diadakan acara festival di sekolah ini, mas Arwan adalah seorang siswa yang dulunya ditemui oleh Jaka, teman sekelasku.
... ...
...~...
Bersambung.....