Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Pov Yura..
Setelah debaran di jantungku sedikit agak normal, ku buka kembali pintu kamar.
Jelas sudah tidak ada mas Juna di sana ketika pintu terbuka, dia pasti sudah turun.
Padahal tidak ada kabar apapun baik mengenai kabar mas Juna, maupun kepulangannya, tapi tetiba dia ada di rumah.
Dan astaghfirullah, penampilannya benar-benar menakutkan. Pantas saja tidak ada wanita yang pernah di bawa untuk di perkenalkan pada papa, mamah. Mungkin karena wajahnya seram, jadi perempuan manapun akan mikir dua kali untuk mendekatinya.
Meski karirnya mentereng dan tubuhnya atletis, tetap saja rupawannya juga menjadi pertimbangan seorang wanita memilih suami.
Nggak awut-awutan macam mas Juna. Rambut sebahu, di tambah bulu-bulu halus di wajahnya. Ish-ish terkesan pria jahat. Orang mungkin tidak akan percaya kalau dirinya seorang dokter.
Pelan, ku ayunkan kaki menuruni anak tangga, ku arahkan langkahku menuju dapur.
Di sana sudah ada papa dan mas Juna sedang duduk di kursi makan sembari mengobrol. Ada mama yang tengah memasak.
"Selamat pagi, pah?" Sapaku.
"Pagi, nak!"
Papah dan mas Juna melirikku sekilas, aku sendiri langsung menghampiri mama.
"Pagi mah!"
"Selamat pagi, sudah bangun?" Tanya mama tetap fokus mengaduk sayur di wajan panas.
"Sudah, maaf baru turun"
"Nggak apa-apa sayang. Kamu kan capek"
"Aku bantu ya, mah"
"Iya, tolong ambilkan piring, nak! Ini sayurnya sudah matang" Aku langsung melakukan perintah mama.
"Ini, mah" Kataku beberapa detik kemudian.
"Makasih" Mama menerima piring dariku untuk menyajikan oseng bayam yang sudah matang.
"Tolong taruh di meja makan ya, sekalian itu balado telur juga"
"Iya mah"
Selain membawa oseng bayam, aku juga membawa masakan lain untuk ku letakkan di atas meja.
Samar ku dengar obrolan mas Juna dengan papah entah mengenai apa.
"Papa tahu dari mana?" Tanya mas Juna.
"Ustad Zaki sendiri yang bilang, katanya hampir setiap hari kamu telfon beliau"
"Ada bilang aku telfon buat apa, pah?"
"Enggak. Memangnya kepentingan apa? Sampai nggak telfon mama, malah telfon ustad Zaki"
"Ada lah pah" Tangan mas Juna membantuku menggeser piring-piring supaya tak menuh-menuhin meja. Tumben juga dia menuangkan air putih ke gelas-gelas yang sudah ku tata.
"Hmm, main rahasia. Apa mau minta di cariin perempuan buat di ajak ta'aruf?" Lanjut papa bertanya. Dan aku juga jadi kepo kenapa mas Juna sering telfon ustad Zaki pas tugas di Papua.
"Enggak, pah"
"Siapa yang mau ta'aruf?" Itu suara mama yang tiba-tiba ikut nimbrung, beliau berjalan menghampiri meja makan sambil membawa sop ikan kesukaan mas Juna. "Yura mau ta'aruf lagi?" lanjutnya bertanya sambil memindai wajahku.
"Bukan, mah" Jawabku singkat. Padahal aku sudah mengirim CV juga ke pria bernama Hasan. Tapi tak ada yang tahu kecuali ummah Khadijah, sebab pria itu adalah anak dari teman ummah dari Bandung.
"Nggak ada yang ta'aruf, mah" Balas mas Juna.
"Papah setuju nggak, kalau Juna nikah sama Yura?"
"Kok Yura, mah?" Protesku seakan tak terima.
"Papa sangat-sangat setuju. Selama ini papah kan nggak pernah meluk putri papah, nanti kalau nikah sama Juna kan jadi di bolehin meluk"
"Tuh kan Ra, papa juga setuju" Mamah menarik kursi lalu duduk. "Kalian ini bukan mahram, jadi nggak apa-apa kalau nikah"
"Walaupun bukan mahram masa nikah sama kakak sendiri. Kayak nggak ada laki-laki lain saja" Sergahku keberatan.
"Ya kan biar papa bisa meluk kamu. Papa tuh pengin tahu gimana rasanya di peluk sama anak perempuannya" Balas mama, menyidukkan nasi di piring papa.
"Kan sudah pernah meluk mbak Tita sama mbak Dini"
"Beda, sayang"
"Sudahlah, mah. Jangan paksa Yura, nanti kalau ada jodoh, Yura nggak akan bisa menolak. Kan sudah ketetapan Allah"
Entah dalam rangka apa mas Juna ngomong seperti itu.
Tunggu dulu!! Sedari tadi sikapnya itu benar-benar lembut. Tidak mencerminkan pria arogan seperti sebelumnya.
Apakah ada malaikat baik hati yang merasukinya??
Menarik napas panjang aku mendudukkan diriku di kursi sebelah mama. Ku raih piring lalu menyiduk nasi untukku.
Sialnya, sayur bayam kesukaanku malah ada di depan mas Juna.
"Sini aku ambilin" Ucap mas Juna ketika aku kesulitan mengambil sayur favoritku.
"Makasih" Kataku kikuk.
"Sama-sama" Pria itu tersenyum, memantik ritme jantungku kembali tak normal.
"Hari ini rencana di rumah saja kan, Jun?" Mama menyerukkan suaranya setelah hening beberapa saat.
"Mau ke rumah Gerry habis ini, mah"
"Mau ngapain? Baru pulang sudah mau main?"
"Mau ambil Iguana yang aku titipkan ke dia"
"Kenapa di ambil, sudah bagus di sana aja"
"Kan itu punya aku, mah"
"Ya udah kasihkan ke Gerry aja"
"Ya jangan dong mah"
"Bisa membahayakan nanti Jun, udah di sana aja"
"Membahayakan gimana? Kan di kandangin"
"Di rumah kan suka ada si kembar sama Tara, nanti kalau kandangnya di mainin terus hewannya lepas, kamu mau tanggung jawab?"
"Ya kan kandangnya di kunci"
"Ya kalau lagi apes, kamu kelupaan ngunci, gimana coba?"
"Nggak akan mah"
"Kamu ngeyelan, Jun"
Aku dan papah hanya diam menyimak, tetap fokus menikmati sarapan tanpa berani menyela perdebatan ibu dan anak ini.
"Oh ya Ra, itu mobil kamu mau di bawa?" Mas Juna bertanya padaku usai dia tak menyahut mamahnya.
"Enggak"
Aku sedikit was-was sebenarnya, takut dia iri karena mobil itu pemberian papa. Tapi ternyata tidak, mas Juna sama sekali tidak keberatan dengan mobil itu.
"Boleh aku pinjam? Kata papa mobilku agak rewel soalnya. Lama nganggur dan jarang di pakai jadi nggak enak di naikin?"
"Di bawa saja, itu mobil dari papa, siapa saja bisa pakai, nggak perlu izin juga"
"Ya jangan dong, Ra. Itu mobil kan khusus buat kamu, sudah jadi milikmu, ya harus izin"
"Silakan di bawa, aku nggak kemana-mana hari ini" Kataku lagi. Kebetulan memang hari ini aku mau istirahat di rumah, besok baru pergi ke rumah ummah untuk menemui Hasan.
"Makasih ya" Ucap mas Juna. Terdengar tulus di telingaku. Benar-benar membuatku heran. Kesambet malaikat, jadi baik begini?
****
Sorenya, aku yang sedang menyiram tanaman, mendengar suara deru mobil dari balik pintu gerbang.
Dari suaranya jelas sekali kalau itu mobilku, dan bisa ku tebak pasti mas Juna yang pulang.
Setelah pintu gerbang terbuka sepenuhnya, ternyata bukan hanya mas Juna yang datang, mobil mas Angga ada di belakang mobil yang mas Juna bawa.
"Anty!!" Seru Naura dan Nukha secara bersamaan begitu mobil mas Angga memasuki halaman rumah.
"Hai, sayang!" Aku membalas lambaian tangan dari si kembar.
Mas Angga dan mbak Tita turun.
Mas Angga membukakan pintu untuk anak-anaknya, sedangkan mbak Tita langsung berjalan ke arahku.
"Assalamu'alaikum, Ra"
"Wa'alaikumsalam, mbak" Seperti biasa ku cium punggung tangannya.
"Mama di rumah?"
"Ada mbak, di dalam. Tadi katanya mau asharan"
"Aku masuk dulu ya Ra"
"Iya, mbak"
Mas Angga serta anak-anaknya menyusul masuk setelah sebelumnya menyalamiku.
Beberapa saat kemudian, mas Juna juga melangkah hendak memasuki rumah. Tapi saat langkahnya berada di hadapanku, pria itu berhenti, kemudian berkata.
"Mobilmu kapan di service, Ra?"
"Sekitar tiga bulan yang lalu, mas" Ku lirik mas Juna yang membawa kandang berisi hewan peliharaannya.
"Cukup lama, pantas saja remnya agak sedikit dalam"
"Memang harusnya bulan ini service" Pungkasku tanpa membalas tatapan mas Juna.
"Sudah aku service tadi. Nggak cuma remnya di perbaiki, olinya juga tadi di ganti, jadi sudah enakan sekarang. Kamu bisa aman"
"Makasih, mas"
"Sama-sama" Sahut mas Juna, ada senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya, Ra. Kamu hati-hati ya bawa mobilnya, jangan kebut-kebutan, harus fokus ke jalanan"
Aku terhenyak mendengar pesannya.
"Jangan main hp juga kalau pas lagi nyetir. Pokoknya selalu hati-hati, ya!" Lanjutnya kemudian masuk meninggalkanku yang masih bergeming karena tak percaya dengan sikap lembutnya.
Aku mendesah lirih, mematikan kran air karena aktivitas menyiram tanaman sudah selesai.
Ku rapikan kembali slang air yang baru selesai ku pakai, setelah semuanya beres aku memasuki rumah hendak ke dapur untuk bantu mama memasak makan malam.
Ada banyak menu yang akan kami masak, sebab mas Angga dan mas Rezki mau makan malam di sini.
Karena ingin mengganti bajuku yang sedikit basah, aku pun pergi ke kamar terlebih dulu.
Begitu masuk, ku tutup pintu kamar dan melangkah menuju ranjang.
Alangkah kagetnya ketika salah satu kakiku menginjak ekor Iguana sepanjang kira-kira tiga puluh centi.
Aku terpeleset, tak sengaja tanganku menyambar gelas di atas nakas hingga gelas itu jatuh pecah, dan tanganku secara reflek mendarat di atas pecahan gelas. Tak hanya itu, kepalaku juga membentur sisi tempat tidur sampai ku rasa langit-langit kamarku seperti berputar-putar.
Aku merintih kesakitan, berusaha mengeluarkan suaraku sekeras mungkin untuk meminta tolong.
Bersambung.
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya