Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Di lantai tertinggi gedung Sinar Grup, suasana terasa mulai memanas. Kabar mengenai kecelakaan Johan dan kondisi komanya membuat banyak spekulasi di kalangan para petinggi perusahaan. Di salah satu ruang direksi, para anggota dewan direksi yang mendukung Teddy berkumpul dengan raut wajah serius.
Pria paruh baya bernama Budi Wirawan, salah satu dewan direktur yang paling vokal mendukung Teddy, tengah berbicara dengan dua koleganya. Rizal dan Arman, keduanya juga merupakan pendukung setia Teddy, mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menatap pintu, seakan khawatir ada yang mendengar percakapan mereka.
"Situasi ini semakin tidak menentu," ujar Budi dengan nada rendah, sambil menyilangkan tangannya di dada. "Ronny pasti akan memanfaatkan keadaan Johan saat ini untuk mengambil alih perusahaan. Kita tahu ambisinya—dia tidak akan segan-segan menyingkirkan Teddy jika perlu."
Rizal, seorang pria berkacamata dengan pandangan tajam, mengangguk setuju. "Aku juga khawatir. Ronny sudah lama menunjukkan gelagat ingin menguasai perusahaan ini sepenuhnya. Jika Johan tidak segera pulih, tidak akan ada yang bisa menghentikannya."
Arman, yang lebih pendiam namun penuh perhitungan, menimpali, "Ronny sudah memiliki cukup pengaruh di dalam dewan. Beberapa anggota sudah condong ke arahnya. Kita harus memastikan jika Teddy yang akan mengambil alih perusahaan, dan lebih penting lagi, posisi kita di dalam perusahaan tidak tergoyahkan."
Budi mengetuk meja dengan jemarinya, berpikir keras. "Kita harus merencanakan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Jika Ronny mengambil alih, bukan hanya Teddy yang tersingkir—kita semua juga akan kehilangan tempat di sini."
Mereka bertiga saling bertukar pandangan khawatir. Sinar Grup, perusahaan yang dulu tampak kokoh dan tak tergoyahkan di bawah kepemimpinan Johan, kini mulai memasuki perang suksesi. Terlalu banyak ambisi, terlalu banyak kepentingan pribadi yang bermain.
"Kita harus bertindak cepat," ujar Budi akhirnya. "Jika tidak, semuanya bisa berakhir di tangan Ronny"
***
Rizal menyandarkan tubuhnya ke kursi, melirik sekilas ke arah Budi dan Arman sebelum melanjutkan pembicaraannya. Wajahnya serius saat mengingat kembali peristiwa beberapa tahun silam yang telah mengubah kehidupan Teddy.
“Kalian masih ingat, kan, kecelakaan yang menimpa Teddy beberapa tahun lalu? Waktu itu, mobilnya tiba-tiba tergelincir di jalan tol saat dia sedang dalam perjalanan menuju rapat direksi. Kecelakaan itu yang membuatnya lumpuh hingga sekarang. Tapi dari hari pertama, aku merasa ada yang janggal dengan kecelakaan itu. Rem mobilnya dikatakan rusak, tapi Teddy selalu memastikan mobilnya dalam kondisi prima. Aku bertanya-tanya, apakah itu benar-benar kecelakaan biasa?"
Arman yang sedari tadi duduk diam dengan kedua tangannya terlipat, mendengarkan dengan seksama, kini mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukan hanya kecelakaan Teddy," katanya dengan nada rendah. "Ingat Mitha? Beberapa bulan setelah itu, di pesta peringatan pendirian perusahaan, lampu gantung besar di ballroom hampir saja jatuh tepat di atasnya. Untungnya dia bergerak beberapa detik sebelum itu terjadi."
Budi mengangguk, matanya menyipit seolah-olah mencoba menghubungkan semua titik. "Ya, aku ingat. Kejadian itu hampir saja terlupakan, dianggap sebagai kecelakaan panggung. Tapi... dua insiden seperti itu, terlalu kebetulan kalau kau bertanya padaku."
Rizal mengusap dagunya, tampak berpikir keras. "Itu bukan kecelakaan biasa, Arman. Aku semakin yakin. Terlalu banyak insiden yang terjadi di sekitar keluarga Johan dalam beberapa tahun terakhir. Dan Ronny… dia selalu ada di tengah semua itu. Kita tahu betapa ambisiusnya dia. Teddy lumpuh, Mitha hampir saja terluka... Seolah-olah ada yang mencoba menyingkirkan semua saingan potensialnya."
Arman menyipitkan matanya, penuh kewaspadaan. "Jadi menurutmu, Ronny ada di balik kecelakaan itu?"
Budi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap kedua rekannya. "Jika Ronny memang berani melakukan hal seperti itu, apa yang membuat kita berpikir dia tidak akan berbuat lebih jauh lagi? Terutama sekarang, ketika Johan koma dan posisi Teddy melemah. Kita harus siap. Jangan sampai kita lengah, atau mungkin kita yang akan jadi target berikutnya."
"Meskipun Mitha bukan anak kandung Johan, tapi jelas - jelas Johan memberikan hak bagi Mitha untuk menerima sebagian saham perusahaan nantinya. Mungkin kita bisa membawa pendukung Mitha ke sisi kita untuk melawan kubu Ronny" lanjut Budi lagi.
Rizal mengangguk pelan. "Kita harus melindungi Teddy dan Mitha. Sebelum Ronny menguasai Sinar Grup sepenuhnya, kita perlu bukti kalau dia terlibat. Itu satu-satunya cara menghentikannya."
Ketiganya sepakat bahwa mereka tak bisa mengabaikan ancaman yang semakin nyata dari Ronny. Di bawah bayang-bayang ambisi yang tak terbendung, nasib Sinar Grup benar - benar dipertaruhkan disini.
***
Di ruangan lain, suasana terasa lebih hangat, penuh dengan tawa dan percakapan yang riuh. Di tengah keramaian itu, Ronny duduk dengan posisi yang dominan, wajahnya memancarkan kepuasan dan keangkuhan. Ia terlihat menikmati pujian dan sorakan dari para dewan direksi yang mendukungnya.
Seorang dewan direksi yang duduk di sebelahnya, bernama Adrian, tersenyum lebar sambil mengangkat gelasnya, memberikan isyarat untuk bersulang. "Selamat, Ronny. Tampaknya jalanmu sudah terbuka lebar untuk menjadi penerus Sinar Grup. Tak lama lagi, perusahaan ini akan benar-benar berada di bawah kendalimu."
Ronny tersenyum penuh kemenangan, pandangannya melingkupi ruangan seakan mempertegas kekuasaannya. "Ini baru permulaan, pak Adrian. Aku belum resmi mengambil alih, tapi semuanya sudah menuju ke arah itu. Kalian tahu bahwa dengan ayah koma, dan Teddy yang lumpuh, tak ada lagi yang bisa menghalangiku."
Adrian tertawa kecil, lalu menepuk bahu Ronny dengan percaya diri. "Tentu saja, Ronny. Kami semua ada di belakangmu. Dewan direksi mendukung penuh kepemimpinanmu. Kamu adalah satu-satunya yang pantas melanjutkan perusahaan keluarga ini."
Seorang lagi dari dewan direksi, Anton, menambahkan dengan anggukan setuju. "Dengan Teddy yang sudah tidak punya kekuatan, Mitha yang jauh di Amerika, siapa lagi yang bisa menyaingimu? Tak ada. Ini saatmu, Ronny. Semua akan berada di genggaman tanganmu sekarang"
Ronny menegakkan punggungnya, tatapannya semakin tajam. "Aku sudah lama menunggu momen ini. Dan sekarang, waktunya sudah tiba."
Kehadiran Ronny di ruangan itu bukan lagi sebagai pewaris yang menunggu giliran, melainkan sebagai seseorang yang telah menyiapkan langkah besar menuju puncak. Sementara para pendukungnya tertawa dan bersorak, Ronny sudah merencanakan langkah-langkah berikutnya untuk mengambil alih Sinar Grup sepenuhnya, tanpa memedulikan siapa yang mungkin hancur di sepanjang jalan.
***
Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Mitha melangkah keluar dari pintu kedatangan, menarik kopernya dengan langkah lambat meski di wajahnya masih terlihat sedikit lelah setelah perjalanan panjang dari New York. Suasana bandara yang sibuk dengan hiruk-pikuk orang-orang berlalu lalang, kontras dengan perasaan campur aduk yang menghantui Mitha.
Setelah memastikan semuanya beres, dia mengeluarkan ponsel dan segera menelpon Teddy.
"Ted, aku baru sampai di Jakarta," suara Mitha terdengar sedikit serak, namun tegas. "Aku akan menginap di hotel dekat sini dulu. Kamu bisa datang besok? Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
Di ujung sana, Teddy terdengar lega. "Syukurlah, Mitha. Terima kasih sudah datang. Aku akan ke sana besok pagi. Kita bisa bicara lebih tenang."
Mitha mengangguk walau tahu Teddy tak bisa melihatnya. "Baiklah, sampai besok."
Menutup telepon, Mitha menarik napas panjang. Rasa rindu dan kerinduan kembali teraduk dengan kecemasan. Kembalinya ke Indonesia bukanlah tanpa beban—dari hubungan buruknya dengan Ronny hingga masalah keluarga yang sepertinya semakin kacau sejak Johan jatuh koma. Tapi Mitha tahu, dia tidak bisa lagi menutup mata, berpura-pura tidak ada yang terjadi di keluarga yang sudah membesarkannya.
Sekali lagi, Mitha menghela nafas panjang, "Mungkin aku akan menyesali keputusanku hari ini" lirihnya.
Menggeret kopernya menuju taksi, Mitha meninggalkan hiruk pikuk bandara, menuju ke sebuah hotel ternama di pusat kota.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina