Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meski Agustus di Belanda dan Indonesia tak lagi sama 3
Aku adalah orang yang terlalu jatuh cinta. Dan, orang yang terlalu jatuh cinta akan menjadi terlalu takut kehilangan.
Berhari-hari berlalu dengan segala kecemasanku. Akhirnya hari itu datang juga. Kau dan aku diwisuda. Ini pencapaian yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Jujur saja, aku menjadi semangat menyelesaikan kuliahku hanya karena ingin selalu dekat denganmu. Meski mata kuliahku sudah lama selesai. Namun, sungguh saat mengerjakan tugas akhir aku sama sekali tidak bersemangat. Bertemu denganmu dan menjadi kekasihmulah alasan mengapa aku rela mengorbankan jam tidurku untuk mengerjakan tugas akhir yang akhirnya selesai juga.
Dan hari itu hari wisuda kita adalah hari yang membahagiakan sekaligus puncak ketakutanku.
"Kau tidak senang?" kau menatap mataku.
"Senang. Aku menjawab dengan senyuman. Kau tahu itu senyum yang dipaksakan.
"Kau masih takut aku jauh darimu?"
Sungguh, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mungkin memintamu membatalkan impianmu. Hal yang aku tahu kau kejar dengan sepenuh hatimu. Usahamu untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri bukanlah hal yang mudah. Aku tahu, kau rela menabung semenjak kau masih SMA, juga belajar bahasa asing sendiri. Karena kau tidak rela uang tabunganmu dihabiskan untuk les, kau belajar dari internet. Dan aku tahu, betapa kerasnya kau mengusahakan semua itu. Tidak adil bila hanya karena keinginanku bersamamu. Lantas aku memintamu membatalkan impianmu.
Apa pun yang bisa aku berikan tidak akan pernah mampu menggantikan impianmu. Bahkan cintaku tidak akan cukup jika dibanding impianmu. Lantas masihkah aku punya alasan untuk menahanmu tetap di sini bersamaku? Pada titik ini aku paham. Terkadang mencintai tidak lebih dari usaha merelakan orang yang kita cintai pergi -kembali atau tidak dia nanti.
"Tidak. Aku tidak takut kau jauh. Aku hanya takut, nanti saat kau kembali. Kita bukan pasangan yang seimbang lagi."
"Kenapa bicara seperti itu?" Kau mengerutkan keningmu. Terlihat kesal dengan apa yang barusan kukatakan.
"Aku takut udara di sana akan mengubahmu. Aku takut senja di sana tidak lagi membuatmu suka menatap langit sore di sini. Aku juga takut saat kau kembali kita bukan orang yang memercayai hal yang sama lagi."
"Agustian. Apa bedanya Agustus di luar negeri dengan Agustus di Indonesia. Selain musim dan kebiasaan orang-orangnya? Untuk urusan hati, untuk urusan perasaan, Agustus di luar negeri dan di sini akan sama saja. Jadi, kau tidak perlu meragukan perasaanku."
Aku berusaha tenang. Meski sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar tenang. Bahkan sebulan setelah kepergianmu melanjutkan cita-citamu, aku masih dilanda ketakutan. Meski kau masih sempat berkabar denganku. Meyakinkan semuanya masih baik-baik saja. Meyakinkan semua masih milikku. Dan, memintaku untuk tetap menjaga apa yang pernah sama-sama kita perjuangkan.
Sejak kepergianmu, aku berusaha menyibukkan diriku. Melamar pekerjaan. Fokus pada apa yang aku jalani. Semakin hari aku menyadari, semakin aku takut kehilanganmu. Pada saat yang sama, aku memang harus belajar untuk kehilangan. Itulah sebabnya, aku memilih bekerja.
Memilih memenuhi hari-hariku dengan hal-hal yang membuatku lelah. Hal-hal yang membuat pikiranku penuh.
Dan kehilangan itu seolah menjadi nyata. Tanpa kita sadari, lama sudah kita tak saling berkabar. Benar saja, apa yang aku takutkan selama ini terjadi. Kau mulai sibuk dengan apa yang kau jalani di sana.
Dan, mungkin saja kau sudah melupakanku. Aku merasa ada yang hilang dalam diriku. Namun saat yang sama, ada sesuatu yang tetap terasa ada. Entahlah, aku hanya masih meyakini kau tetap milikku meski berbulan sudah kita tak berkabar.
Barangkali itulah saat terberat dalam menjalani hubungan. Hal terberat dalam menjaga hati. Saat semua terasa tidak jelas. Saat aku seharusnya bisa memulai hidup yang baru dengan orang yang baru. Namun aku tidak memilihnya. Aku tetap menjalani semuanya sendiri. Sebab, pada akhirnya yang aku percaya. Kembali atau tidak engkau, aku tetap saja lelaki yang terlalu cinta kepadamu. Dan aku paham, menunggu tak selalu untuk menemukan kedatangan. Terkadang menunggu adalah usaha untuk menemukan kehilangan.
Namun, bukankah selama ini aku percaya dengan apa yang kau katakan. "Bukankah semua yang mencintai akan kembali pulang pada orang yang dia cintai? Sejauh apa pun ia pergi, ia pasti akan kembali." Walaupun akhirnya kau tidak pernah kembali. Bukankah cinta memang harus selalu menjaga apa yang ia miliki. Aku masih memilikimu -setidaknya, harapan tentangmu. Aku masih menjaga semuanya. Meski aku juga sadar, pada akhirnya setiap yang kita cintai akan hilang dan dihilangkan.
Setahun lebih berlalu. Aku berusaha sibuk dengan hidup yang baru, tetapi tetap dengan perasaan yang sama. Kau masih tak ada kabar. Terakhir, kau mengabariku tiga bulan lalu. Kau mengirimkanku email tentang kabarmu. Pesan yang menguatkan sekaligus melemahkan. Namun, aku tahu, kau butuh seseorang yang benar-benar kuat. Tidak hanya mencintaimu, tetapi juga menunggumu.
Dear, Agustian
Agustus di Belanda masih sama dengan Agustus di Indonesia. Begitupun November di Belanda masih sama dengan November di Indonesia. Namun, aku tidak tahu kapan bisa kembali pulang. Jika kau masih percaya pada apa yang kita pernah percaya, jagalah semuanya dengan baik-baik. Namun, jika kau lelah dan merasa semuanya sudah tidak perlu kau pertahankan Lepaskanlah. Aku tahu, membuat seseorang menunggu bukanlah cara mencintai yang baik. Namun sungguh, aku ingin mencintaimu dengan baik, meski bukan dengan cara terbaik. Aku hanya tidak ingin kau menyesal. Jika nanti aku tidak pernah kembali. Jangan pernah memaksakan diri menunggu. Membaca emailmu adalah hari paling melelahkan dalam hidupku. Sehari aku tidak mau kemana-mana. Aku tidak pergi bekerja. Aku hanya ingin menikmati udara sore di taman belakang kampus. Melakukan hal yang pernah kita lakukan. Meski aku melakukannya sendiri.
Hingga akhirnya, aku memilih untuk tetap menanti. Seperti kau yang melanjutkan cita-citamu. Seperti kau yang mengejar impianmu. Aku juga akan tetap melakukan apa yang sudah aku lakukan sebelumnya. Ini memang tak akan mudah. Namun, akhirnya aku benar-benar percaya. Jika nanti kau memang tak pernah kembali. Bukan berarti kau tidak mencintaiku.
Hari itu aku membalas emailmu.
Dear, Alisa
Aku masih percaya pada apa pun yang pernah kita percaya. Meski nanti Agustus di Belanda tak lagi sama dengan Agustus di Indonesia. Meski nanti November di Belanda tak lagi sama dengan November di Indonesia.