Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: "Jejak Embun di Hutan"
Pagi yang cerah membawa semilir angin sejuk di Desa Senja. Matahari baru saja naik di ufuk timur, menyinari pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan desa. Raehan sudah bersiap untuk beraktivitas pagi itu, mengenakan pakaian olahraga dan sepatu lari kesayangannya. Sementara itu, Leonel masih setengah mengantuk di meja makan, menyesap segelas susu hangat dengan pandangan kosong.
"Leonel, ayo kita jogging pagi ini," ajak Raehan, suaranya penuh semangat.
Leonel mengerutkan dahi. "Jogging? Di desa? Nggak ah, aku nggak terbiasa. Lagian... ngapain sih harus pagi-pagi keluar?"
Raehan tersenyum, memandangi adiknya yang selalu mencari alasan untuk menolak. "Ayolah, Leonel. Desa ini punya pemandangan yang nggak bisa kamu temukan di kota. Aku mau ajak kamu ke tempat yang spesial, ke hutan dan air terjun favoritku. Kamu pasti suka."
Leonel memandang Raehan dengan ragu, tapi saat melihat mata kakaknya yang bersinar antusias, dia menghela napas panjang. "Baiklah... aku ikut, tapi kamu yang tanggung jawab kalau aku kedinginan."
Mereka pun berangkat, berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang masih sepi. Langkah mereka ringan di atas jalan tanah yang lembap setelah hujan semalam. Suara burung-burung menyapa mereka dari kejauhan, dan aroma dedaunan basah mengisi udara pagi yang segar. Raehan terus berjalan di depan, sesekali melirik ke belakang memastikan Leonel tidak tertinggal.
Sesampainya di tepi hutan, Raehan menunjuk sebuah jalan setapak yang tersembunyi di antara pepohonan tinggi. "Kita masuk ke sini, Leonel. Air terjunnya nggak jauh, kok."
Leonel menelan ludah, melihat rimbunan pohon di depannya. "Kita masuk ke hutan ini? Serius?"
Raehan tertawa kecil, lalu menggandeng tangan Leonel, meyakinkannya. "Jangan khawatir. Aku sudah sering ke sini, jalannya aman."
Akhirnya, mereka berdua melangkah masuk ke dalam hutan. Cahaya matahari menerobos celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan lembut di tanah yang ditutupi oleh lumut hijau. Suara air yang gemericik mulai terdengar, menandakan bahwa air terjun sudah dekat. Semakin mereka melangkah, semakin jelas pemandangan itu terlihat.
Saat mereka keluar dari rimbunnya pepohonan, air terjun yang indah menyambut mereka. Aliran air jernih itu turun deras dari tebing tinggi, membentuk kolam alami di bawahnya. Kabut tipis dan embun yang menggantung di udara menciptakan suasana magis di sekitar tempat itu. Cahaya matahari pagi memantul dari tetesan air, menciptakan kilauan yang memukau.
Leonel tertegun, pandangannya terpaku pada pemandangan luar biasa di depannya. "Ini... indah sekali."
Raehan tersenyum, puas melihat reaksi Leonel. "Iya, kan? Ini tempat favoritku sejak kecil. Ayo, kita ke sana."
Raehan menarik tangan Leonel menuju tepian kolam. Beberapa anak-anak desa seusia mereka sudah berkumpul di sana, sebagian sedang bermain air, sebagian lagi duduk di bebatuan sambil tertawa. Leonel menatap mereka sejenak, merasa sedikit canggung. Ketika beberapa dari mereka memanggil Leonel untuk bergabung, dia menggeleng pelan.
"Nggak, aku nggak mau basah," kata Leonel pelan.
Namun, Raehan tidak begitu saja menyerah. "Ayo, Leonel. Kapan lagi kita bisa mandi di air terjun seindah ini? Nggak usah takut, aku di sini."
Raehan kemudian menggandeng tangan Leonel lagi, kali ini dengan lembut menariknya mendekati air. Leonel ragu-ragu, tapi ia merasa tenang karena ada Raehan di sisinya. Perlahan, kakinya menyentuh air yang dingin. Sensasi dingin itu membuatnya menggigil sebentar, tapi Raehan terus meyakinkannya dengan senyum hangat.
Sementara itu, beberapa gadis desa yang melihat keakraban Raehan dan Leonel saling berbisik, merasa iri. Mereka tahu bahwa Leonel adalah adik kesayangan Raehan, dan perhatian Raehan yang tulus kepada adiknya membuat mereka kagum. Meski demikian, suasana di sekitar tetap hangat, dipenuhi canda tawa.
Setelah cukup lama bermain air, Raehan akhirnya mengajak Leonel untuk pulang. "Udah cukup, Leonel. Kalau terlalu lama, nanti kita kedinginan."
Leonel mengangguk setuju, dan mereka mulai melangkah kembali ke tepi. Namun, tiba-tiba, kaki Leonel terpeleset di atas bebatuan yang licin. Dalam sekejap, tubuhnya jatuh ke arah air, tapi sebelum ia benar-benar terjatuh, Raehan dengan sigap menangkapnya.
Mata Raehan terbelalak melihat wajah Leonel yang begitu dekat dengannya. Wajah adiknya tampak berbeda, lebih cantik, imut, dan manis dalam cahaya pagi yang lembut. Untuk pertama kalinya, Raehan memperhatikan betapa Leonel terlihat begitu mempesona ketika rambutnya yang basah menyibak dari wajahnya, memperlihatkan mata besar yang selalu tertutupi poni.
Raehan menahan napas, merasakan sesuatu yang asing di hatinya. Jantungnya berdetak kencang, seolah waktu berhenti sesaat. Apakah selama ini aku hanya melihat Leonel seperti seorang adik kecil? pikirnya, terkejut dengan pemikiran yang melintas di kepalanya.
Namun, sebelum perasaan itu semakin jauh, suara salah satu anak desa memanggil mereka. "Hei, Raehan! Leonel! Jangan lupa ambil pakaian kalian!"
Suara itu membuyarkan lamunan Raehan. Ia segera sadar, menarik napas panjang, lalu membantu Leonel berdiri. "Ayo, kita ambil pakaian kita dan pulang," ujarnya, suaranya sedikit gemetar.
Leonel menatap Raehan dengan bingung, tak menyadari apa yang sedang terjadi dalam pikiran kakaknya. "Kamu kenapa, Raehan?"
Raehan tersenyum canggung, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Nggak apa-apa. Ayo, aku gendong kamu, biar cepat pulang."
Tanpa menunggu jawaban, Raehan mengangkat Leonel dan menggendongnya di punggung. Leonel tertawa kecil, merasa sedikit malu, tapi ia membiarkan Raehan membawanya keluar dari sana. Mereka berjalan berdua menuju desa, meninggalkan air terjun yang masih mengalir deras di belakang mereka, sementara perasaan aneh terus berputar di dalam hati Raehan.