Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Step Closer
Kimber dan Levin menoleh bersamaan pada sumber suara. “Maaf mengganggu waktunya sebentar,” kata orang itu lagi. Dia adalah salah satu pelayan toko yang melayani mereka beberapa saat yang lalu. Makanya Kimber dan Levin langsung menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan bagi orang itu lantaran telah menginterupsi waktu mereka. “Boleh tidak kalau saya mengambil foto kalian berdua?” ujar si pelayan yang langsung mengundang tatapan bingung keduanya.
“Kenapa memangnya?” Levin adalah orang yang menimpali pertanyaan orang itu sementara Kimber terdiam memperhatikan interaksi diantara keduanya.
“Ah, itu… begini sebetulnya karena toko kami masih baru, jadi kami ingin mengambil foto pelanggan-pelanggan yang sudah datang dan mencicipi hidangan kami untuk di upload di sosial media kami sebagai media promosi, sekaligus memajangnya di dinding café, kami. Jadi bolehkah saya mengambil foto kalian berdua?” jelas si pelayan dengan lugas.
Levin langsung menatap wajah Kimber sebagai gantinya. “Bagaimana, Kimber?” tanya Levin.
“Oh, dan kalian juga akan mendapatkan hasil fotonya sebagai kenang-kenangan dari kami sekaligus mendapatkan voucher diskon 30% untuk pembelian berikutnya,” tambah pelayan tersebut untuk lebih meyakinkan keduanya.
Kimber sesaat melirik pada Levin, karena sebelumnya pemuda itu meminta jawaban darinya makanya dia langsung menganggukan kepala pada sang pelayan. “Baiklah.”
“Terima kasih,” ujar pelayan tersebut dengan ekspresi muka sumringah. Dia langsung menunjukan kamera digital yang sebelumnya dia tenteng di tangan.
Beberapa jepretan di ambil. Dan setelahnya Levin dan Kimber kembali bercengkrama seperti biasa dengan obrolan biasa seputar keseharian mereka dan sesekali menyinggung soal Edzhar dan Dizza.
Setelah isi mangkuk mereka telah habis, akhirnya kedua orang itu memutuskan untuk keluar dari caffe. Begitu mereka melewati kasir, saat itu si pelayan yang tadi mengambil foto mereka berdua menghentikan langkah keduanya. “Tunggu sebentar!” katanya yang tentu membuat Levin dan Kimber langsung berhenti dan melirik pada si pelayan dan mendekat ke meja kasir.
“Ini hasil foto tadi, sesuai dengan janji,” kata si pelayan.
Dia menyerahkan selembar foto tersebut kepada Kimber. Di foto tersebut terlihat Levin dan Kimber duduk berhadapan dengan meja berisi dua mangkuk es krim diantara mereka. Levin tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya dengan jari-jari membentuk tanda ‘metal’ sedangkan Kimber tersenyum kecil menghadap ke kamera.
“Ah iya, terima kasih,” ujar Kimber seraya memandangi hasil foto tersebut dengan kedua mata yang berbinar. “Levin,” panggil gadis itu.
“Ya?”
“Foto ini boleh aku yang simpan?” kata Kimber seraya menatap Levin dengan tatapan memohon. Membuat pemuda itu refleks saja menganggukan kepala sebagai tanda bahwa dia mengiyakan permintaan gadis itu. Meskipun sedari awal dia memang tidak pernah berniat untuk mengatakan kata tidak.
“Anda menyukainya? Syukurlah,” kata si pelayan yang masih menyimak pembicaraan antara Kimber dan Levin. Keduanya pun melirik dan menganggukan kepala. “Terima kasih sudah mengunjungi café kami, lain kali datang lagi kemari ya untuk kencan yang kedua,” ujar si pelayan tersebut sambi tersenyum manis.
“Eh? Tapi kami bukan—”
“Iya,” potong Levin cepat menyahuti Kimber sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Membuat Kimber menatap lelaki itu yang langsung mengalihkan pandangannya saat mendapati Kimber menatapnya.
Senyum kecil terbentuk di bibir Kimber begitu mereka keluar dari café. Dia pun mengalihkan pandangan matanya untuk menatap pada foto mereka berdua yang masih ada ditangannya. Tapi sialnya begitu mereka sudah berjalan agak jauh dari café, hujan malah turun deras.
“Oh tidak, hujan!”
***
“Hujan,” gumam Dizza seraya menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia tadi mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang habis. Tapi sialnya dia malah lupa bawa payung. Sehingga pada akhirnya dia hanya bisa menatap setiap bulir air yang turun dari langit dengan ekspresi gusar. “Menyebalkan, mana aku lupa bawa payung lagi.”
Dizza melirik ke arah arloji yang ada di tangan kirinya. Nyaris sudah mau senja. Padahal dia berniat untuk pulang lebih awal dan memasak makanan favoritnya. Tapi gara-gara cuaca, sepertinya keinginan Dizza harus ditangguhkan dulu.
“Ck, bagaimana aku bisa pulang kalau begini?” gumam gadis itu lalu meraih ponsel yang ada di kantong celananya. Ada satu ide terbesit di benaknya. “Apa minta jemput si Levin saja ya?” katanya bicara sendiri, tetapi setelah mengatakan hal itu dia langsung mengernyitkan dahi. “Tidak, aku tidak boleh mengganggu Levin dan Kimber. Aku bisa pulang sendiri, hanya perlu hujan-hujanan sedikit sampai ke halte bus lalu menunggu disana beberapa saat. Tidak masalah. Ya, begitu sajalah,” ujarnya lagi lalu memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
Dizza pun mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari menembus hujan.
“Dizza, sedang apa disini?”
Sebuah suara menghentikan pergerakan Dizza. Gadis itu segera menoleh untuk mencari tahu siapa yang mengajaknya bicara. Dizza terdiam saat matanya menemukan seorang laki-laki berdiri beberapa langkah darinya.
“Kau tidak bawa payung, ya?” kata orang itu lagi.
“Edzhar!” kata Dizza dengan sumringah. Lalu menganggukan kepala. “Ya, aku tidak bawa payung.”
“Lalu posisi ini, jangan-jangan kau berencana berlari menembus hujan karena tidak bawa payung?” kata Edzhar lagi sambil memperhatikan penampilan Dizza dari atas ke bawah. Lalu pandangan matanya terhenti pada barang bawaan Dizza di tangan kanannya.
“Tadinya begitu,” sahut Dizza lagi.
“Kau bisa sakit nanti,” balas Edzhar lagi. “Nih, pakai payungku saja,” kata Edzhar yang tiba-tiba saja sudah menyodorkan payung berwarna hitam yang sedang dia pakai kepada Dizza.
“Eh, lalu kau?”
“Aku bisa berlari,” timpalnya.
“Tapi kan—”
“Pakai saja, aku tidak apa-apa. Aku kan laki-laki. Hujan sedikit tidak akan membuatku tumbang lagipula lariku cepat,” jelasnya.
“Tidak mau!” kata Dizza sambil menggenggam tangan pria itu dengan erat. Membuat Edzhar tidak sempat menghindar darinya sama sekali. “Kau lupa ya? dulu kau melakukan hal yang sama. Mengakunya tidak mudah ditumbangkan tahunya pas esok hari kau malah tidak masuk karena masuk angin,” ujar Dizza.
Ya, itu pernah terjadi dulu sekali. Hari yang bisa dibilang sebagai hari perkenalan pertamanya dengan seorang Edzhar. Hari dimana dia juga untuk pertama kalinya jatuh hati terhadap kebaikan Edzhar.
Pemuda itu langsung terkekeh. “Kau mengingat itu?”
“Kau pikir aku sudah pikun sampai lupa?”
“Bisa saja kan.”
“Sudahlah, payungnya kita pakai bersama saja sekarang,” kata Dizza yang langsung memposisikan dirinya disisi Edzhar.
“Eh?”
“Rumahmu kan dekat sini.”
Edzhar tersenyum simpul. “Ya.”
“Kalau begitu, kau bisa menjamu aku dirumahmu dengan air teh hangat disana. Aku juga tidak mau harus hujan-hujanan sampai rumah dengan payung ini, nanti aku sakit.”
“Bilang saja kau ingin main ke rumahku.”
Dizza terkekeh memamerkan deretan giginya yang putih. “Bisa dibilang begitu. Sekalian aku mau coba resep baru, kau jadi kelinci percobaanku ya. Kita makan bersama di rumahmu,” kata gadis itu sambil memamerkan kantong belanjaannya.
“Baiklah kalau begitu,” timpal Edzhar sambil tersenyum simpul.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱