NovelToon NovelToon
Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Musim_Salju

Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.

Yuk ikuti cerita selanjutnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Patah dan Dilema

Matahari mulai merangkak naik, menyinari pelataran pesantren Al-Falah. Para santri sibuk dengan kegiatan pagi, sebagian membersihkan halaman, sebagian lagi membantu di dapur. Gus Zidan berdiri di beranda rumahnya, menyaksikan semua itu dengan mata yang menerawang.

Di kejauhan, ia melihat Zahra sedang menyapu halaman bersama beberapa santriwati lainnya. Gerakannya luwes dan anggun, seolah pekerjaan itu bukan beban sama sekali. Satu-dua kali Zahra tertawa kecil mendengar candaan temannya, tetapi segera kembali fokus pada tugasnya. Zidan mengalihkan pandangannya dengan cepat, takut jika terlalu lama memandang, hatinya akan semakin rapuh.

“Zidan!”

Suara itu membuatnya tersentak. Ibunya, Nyai Halimah, sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan lembut. “Apa yang kau pikirkan, Nak?”

“Tidak apa-apa, Ummi,” jawab Zidan sambil memaksakan senyum.

Nyai Halimah menatap putranya dengan penuh kasih. Sebagai ibu, ia tahu ada sesuatu yang membebani Zidan. Namun, ia memilih untuk tidak langsung bertanya. “Ummi dengar dari abimu, keluarga Kiai Mahfud ingin kita segera membicarakan pernikahanmu dengan Ning Maya. Kau sudah siap, kan?”

Pertanyaan itu menghantam Zidan seperti petir di siang bolong. Ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Insya Allah, Ummi. Tapi… mungkin lebih baik kalau kita menunggu sedikit lagi. Saya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik.”

Nyai Halimah mengerutkan kening, tetapi tidak mendesak lebih jauh. “Kalau begitu, bicarakan baik-baik dengan abimu. Jangan biarkan waktu terlalu lama, Nak. Kehormatan keluarga kita juga bergantung pada keputusan ini.”

Zidan mengangguk lemah. Ia tahu ibunya benar, tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa hatinya berada di tempat lain?

Di sisi lain pesantren, Zahra sedang mengerjakan hafalan Al-Qurannya di sudut taman. Tempat itu adalah favoritnya, sepi dan tenang. Namun, hari ini pikirannya sedikit terusik.

Bayangan wajah Gus Zidan muncul di benaknya. Selama ini Zahra selalu berusaha menjaga pandangannya, seperti yang diajarkan dalam agama, tetapi ada sesuatu tentang Zidan yang sulit diabaikan. Cara Zidan berbicara, caranya memimpin, semuanya membuat Zahra merasa… nyaman, meskipun ia sendiri tidak mengerti kenapa.

“Zahra?”

Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Nisa, salah satu teman dekatnya, berdiri di belakangnya dengan senyum lebar.

“Kamu melamun, ya?” goda Nisa sambil duduk di sampingnya.

“Enggak, kok,” Zahra mencoba tersenyum.

“Jangan bohong. Aku tahu kamu pasti kepikiran sesuatu. Atau… seseorang?” Nisa mengangkat alis dengan penuh arti.

Zahra menggeleng cepat. “Nisa, aku ke sini untuk belajar. Aku enggak mau pikiranku terganggu hal-hal lain.”

Nisa tertawa kecil. “Santai saja, Zahra. Tapi kalau suatu hari kamu butuh cerita, aku ada di sini.”

Zahra mengangguk, tetapi dalam hatinya ada pergulatan yang sulit dijelaskan.

Hari itu, di ruang utama pesantren, Kiai Idris memanggil Zidan untuk berbicara. Ruangan itu hangat, dindingnya dihiasi rak-rak penuh kitab kuning. Di sudut, sebuah foto keluarga besar terpajang, mengingatkan Zidan pada tanggung jawab yang ia pikul.

“Zidan, Abi ingin kita membahas sesuatu yang penting,” ujar Kiai Idris setelah mempersilakan putranya duduk.

Zidan merasakan hawa serius di ruangan itu. “Apa, Abi?”

Kiai Idris menarik napas dalam. “Kiai Mahfud menghubungi Abi tadi pagi. Mereka ingin mempercepat proses pernikahanmu dengan nak Maya. Menurut mereka, semakin cepat, semakin baik.”

Dunia Zidan terasa berputar. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu.

“Zidan, Abi tahu ini mungkin bukan hal yang mudah bagimu. Tapi pernikahan ini bukan hanya soal kamu dan nak Maya. Ini soal menjaga hubungan baik antara dua keluarga besar, dan juga kelangsungan pesantren kita.”

“Tapi, Abi…” kata-kata Zidan terhenti. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa hatinya mulai condong pada orang lain?

“Tidak ada tapi, Nak,” potong Kiai Idris dengan suara lembut tapi tegas. “Abi ingin kamu merenungkan ini baik-baik. Jika ada keberatan, katakan sekarang. Abi tidak ingin kamu menikah tanpa keikhlasan.”

Zidan hanya bisa diam. Ia ingin berbicara, tetapi ketakutan dan rasa hormat pada ayahnya membuatnya bungkam.

Malam itu, Zidan kembali ke kamarnya dengan hati yang berat. Ia tahu, waktu tidak akan menunggunya. Keputusan harus dibuat, tetapi ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak memiliki jalan keluar.

Ketika ia sedang termenung, pintu kamar diketuk. “Zidan, boleh masuk?”

Itu suara Vicky, sahabatnya sejak kecil yang juga salah satu ustadz di pesantren ini. Tanpa menunggu jawaban, Vicky masuk dengan membawa dua cangkir teh.

“Kamu kelihatan kusut, Dan. Apa yang terjadi?” tanya Vicky sambil duduk di kursi dekat jendela.

Zidan menghela napas. “Aku enggak tahu harus mulai dari mana, Vick.”

“Coba mulai dari yang paling sederhana. Apa yang mengganggu pikiranmu?”

Zidan terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku… aku rasa aku mulai menyukai seseorang.”

Vicky mengerutkan kening. “Dan kamu merasa itu masalah?”

Zidan mengangguk. “Karena orang itu bukan Ning Maya.”

Hening sesaat. Vicky menatap Zidan dengan penuh pengertian. “Dan orang itu adalah Zahra, kan?”

Zidan terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”

“Aku sahabatmu, Dan. Aku tahu dari cara kamu diam-diam memperhatikannya. Tapi aku enggak akan menghakimi. Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

Zidan menatap Vicky dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku enggak tahu, Vick. Aku hanya tahu aku terikat pada Ning Maya karena tradisi, tetapi hatiku ada pada Zahra. Apa yang harus aku lakukan?”

Vicky menepuk pundak Zidan. “Kamu harus bicara, Dan. Dengan abimu, dengan Maya, bahkan mungkin dengan Zahra. Kamu enggak bisa membiarkan ini mengendap terlalu lama. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap.”

Zidan hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan.

Di asrama, Zahra sedang menulis surat untuk keluarganya. Ia bercerita tentang pesantren, tentang kegiatannya, tetapi ada satu nama yang tidak sengaja terlintas di pikirannya, Gus Zidan.

Ia berhenti menulis, lalu menatap langit-langit. “Ya Allah, jika perasaan ini adalah cobaan, kuatkan hatiku. Jangan biarkan aku jatuh pada sesuatu yang tidak Kau ridhai.”

Namun, doa itu tidak menghapuskan rasa yang mulai tumbuh. Zahra hanya bisa berharap, jika memang ada takdir untuknya, Allah akan menunjukkannya dengan cara yang terbaik.

Bab kedua ini membawa pembaca semakin dekat pada konflik batin yang dialami Zidan dan Zahra. Di tengah tuntutan tradisi dan tanggung jawab, keduanya harus menemukan jalan untuk memahami hati masing-masing. Akankah mereka memilih cinta, atau justru menyerah pada keadaan? Mari ikuti perjalanan mereka yang penuh liku.

To Be Continued...

1
Berlian Bakkarang
nyai siti istri seorang kiyai tp bermulut pedas krn menghina zahra katax orang muskin segala
Nanik Arifin
waoow, dalam pesantren ternyata seperti dunia bisnis. ada lobi", ada persekongkolan, ada perebutan kedudukan, intimidasi/tekanan dll
Nanik Arifin
kog jadi ada nama Kyai Ridwan sebagai ortu Ning Maya ? Kyai Mahfud apanya Ning Maya ?
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
Nanik Arifin
seorang Ning ( putri kyai ) melakukan intimidasi demi seorang lali" atau bahkan demi sebuah keangkuhan, bahwa dirinya putri seorang kyai. waoow....
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??
Musim_Salju: benar banget kak, adab lebih tinggi dari pada ilmu, dan minusnya sekarang banyak yang tidak memperhatikan adab itu sendiri
Musim_Salju: Dunia sekarang banyak yang seperti itu kak, hanya saja tertutup dengan kebaikan yang dilakukan di depan banyak orang. Pengalaman pribadi saya sebagai seorang pendidik, sikit menyikut dan menjatuhkan saja ada
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!