Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Steven Markus
Dihyan kembali memperhatikan meja abu di ruangan tengah. Tindakannya kemudian seperti tak terkoordinasi. Seperti ada ketertarikan tertentu yang digerakkan oleh kekuatan asing yang membuatnya mendekati meja abu.
Mungkin itu sebabnya kata “tertarik” merujuk pada kata “tarik”, dimana Dihyan sungguh “ditarik” oleh suatu hal yang tidak dapat ia jelaskan dengan benar.
Perlahan Dihyan mendekati meja abu, memindai detil dan memeriksanya. Ia tidak punya alasan. Tidak ada rasa takut sebenarnya, meski meja abu bisa saja terlihat mengerikan bagi yang tidak terbiasa. Apalagi meja abu orang Tionghoa terkenal sebagai bagian dalam unsur-unsur film dan kisah-kisah horor.
Bau hio alias dupa meruap ke udara, menggelitiki rongga hidung serta penciumannya. Sepasang matanya masih terus berputar-putar, merabai dan menggapai setiap sudut meja abu atau sekelilingnya, sampai akhirnya pandangannya terpentok pada satu benda kecil tergeletak di atas lantai papan, tepat di bawah meja abu.
Dihyan berjongkok, memungut benda itu. Sebuah bungkusan kecil dari kain berwarna merah terang. Benda itu hanya sedikit lebih besar dari ibu jarinya.
Dihyan berdiri dan menimbang-nimbang beratnya, meraba isi di dalam kantung bungkusan itu. Ia masih belum bisa menebak isinya. Namun, dari beratnya, mungkin sekali berisi lempengan logam, atau paling tidak kayu keras.
Dihyan menduga benda itu jatuh dari meja abu. Terlalu banyak barang-barang aneh yang ada di meja abu yang tak ia tahu apa. Benda yang ia temukan itu membuatnya menjadi penasaran. Ia bisa tinggal buka kantung mini itu dengan melepaskan simpul tali berwarna kuning keemasannya dengan mudah.
“Kowe ngopo e, Yan? Lagi ngapain sih disitu?”
Suara Centhini mengagetkan Dihyan. Mendadak ia menjadi panik. Ada semacam kesadaran yang muncul tiba-tiba. Ia seperti menjadi sosok pencuri yang ketahuan basah.
Benda kecil itu langsung ia masukkan ke sakunya.
“Eh, Mbak. Ngagetin aja,” ujar Dihyan. Jantungnya berdetak cepat, darahnya berdesir laju seperti kuda yang sedang berpacu.
“Ih, kamu kenapa sih, kayak maling ketangkep aja,” ujar Centhini.
“Apaan sih, Mbak.” Dihyan mencoba menutupi rasa paniknya dengan mengalihkan pandangannya dan pura-pura mengeluh.
“Kamu itu, nggak mandi apa? Udah malam ini.”
Dihyan menghela nafas lega. Centhini tidak menyinggung-nyinggung hal apapun yang berhubungan dengan tindakannya berdiri dengan cara yang aneh di depan meja abu.
“Iya, iya. Aku mandi sekarang.”
Centhini memicingkan matanya, kemudiang menggeleng ketika akhirnya melihat Dihyan berangkat untuk mandi.
Dihyan maraih handuk dan langsung buru-buru meluncur ke belakang. Ia sangat penasaran dengan benda dalam bungkus yang sekarang berada di dalam saku celananya.
Dihyan tersentak untuk kedua kalinya di dalam beberapa menit ini saja.
Jantungnya serasa naik ke tenggorokan.
Ada sosok yang muncul tiba-tiba di sudut matanya.
Dihyan berada di dapur. Semua orang masih berkumpul di ruangan depan.
Dihyan sadar bahwa ia tidak akan mendapatkan kamar mandi di dapur. Kamar mandi sekaligus toilet itu ada di bagian belakang rumah, terpisah dari bangunan. Ia harus keluar dari pintu dapur dan berjalan melewati halaman belakang untuk sampai ke rumah mandi tersebut.
Dihyan perlahan memalingkan wajahnya untuk melihat satu sosok misterius yang muncul di sudut matanya, juga berada di sudut ruangan yang merupakan dapur tersebut.
Sosok laki-laki itu sedang menatapnya.
Ada senyum yang lebih rupa seringai aneh terlukis di wajahnya yang kepalanya sedikit dimiringkan.
“Asuk mau mandi ya?”
Nama remaja laki-laki itu Steven Markus.
Ia sudah dikenalkan dari awal oleh Martha sebagai anak laki-lakinya.
Dihyan mempertanyakan diri sendiri mengapa ia tidak sadar bahwa anak itu ada. Mengapa keberadaan Steven dan suami Martha seperti angin lalu saja baginya. Padahal mereka sudah diperkenalkan sedari awal. Bahkan Steven dan ayahnya juga berbincang-bincang cukup intens dengan Centhini, Benjamin dan Maryam.
Sekali lagi, mungkin karena Dihyan tidak terlalu tertarik dengan rumah ini dan urusannya semua berhubungan dengan Centhini belaka.
Dihyan mundur dan mencengkram tepian dinding. Jantungnya sungguh hampir copot.
“Hei, Steven. Aku pikir siapa,” ujar Dihyan. Ia masih mencoba untuk menetralkan sembari menyembunyikan keterkejutannya.
“Kalau mau mandi, itu tombolnya ditekan, Suk. Air baru bisa jalan kalau pencet tombol itu,” ujar Steven. Ia menunjuk ke arah satu saklar di samping pintu keluar dapur.
“Oh, iya, iya. Makasih ya Steven.”
Steven mengangguk. Kepalanya masih sedikit mering ke satu sisi, bahkan senyumnya – seringai – masih mengembang.
Steven mengangguk. Tanpa memalingkan pandangan ke arah Dihyan.
Sialan, aneh sekali anak itu, pikir Dihyan.
Steven Markus adalah anak laki-laki remaja yang mungkin masih berusia sekolah. Anak itu kurus, tetapi Dihyan sempat melihat lengan dan kakinya yang sedikit berotot liat. Steven mirip sekali dengan sang ayah. Bahkan, hampir tidak mendapatkan sisi wajah maupun fisik dari ibunya, Martha. Bahkan untuk orang Tionghoa, kulit Steven termasuk gelap.
Dihyan berjalan pelan, kemudian meneklan saklar.
Ia menganggukkan kepalanya kepada Steven – yang masih dengan posisi serupa, termasuk wajah, seringai dan tatapannya itu – kemudian membuka pintu dapur dan bergegas ke kamar mandi.
Ada dua bohlam lampu bersinar kekuningan. Satu tepat di belakang rumah, dua di kamar mandi kayu tersebut. Sisanya, dunia gelap.
Dihyan berjalan setengah berlari. Ia menyesal tidak mandi terlebih dahulu tadi, mengakibatkan ia bertemu Steven yang aneh di dapur, dan terpaksa berlari-lari untuk ingin sekadar mandi.
Namun, rasa penasarannya terhadap benda di dalam bungkus kecil berwarna merah dan bertali kuning keemasan itu, saat ini telah mengalahkan segalanya.
Itulah hal pertama yang dilakukan Dihyan setelah sampai di kamar mandi.
Setelah menutup pintu kayu kamar mandi dan meyakinkan bahwa tidak bakal ada orang yang bisa membukanya, ia meraih kantung merah itu, melepaskan simpul talinya dan merogoh ke dalamnya.
“Keris Semar?” gumamnya sembari mengerutkan kening.
Sebagai orang yang diasuh dalam latar belakang tradisi dan budaya Jawa, sedikit banyak Dihyan tahu apa itu keris Semar. Benda yang ia pegang ini memang berukuran sedikit lebih lebar saja dari ibu jarinya. Sebuah keris mini dari logam kuningan, tetapi berbentuk seperti karakter pewayangan bernama Semar. Bila biasanya keris adalah senjata berbilah melekuk-lekuk, maka keris semar ini menggunakan bentuk perut tokoh Semar yang buncit sebagai lengkungan bilahnya dan rambut kuncungnya yang lancip sebagai ujung keris.
Yang membuat Dihyan mengerutkan kening adalah karena setahu dirinya, keris Semar kuncung atau juga sering disebut keris Semar mesem ini ditatahkan rajah aksara berbahasa Arab, sedangkan keris yang ia pegang tersebut malah dituliskan aksara berbahasa China.
Kebingungan Dihyan semakin menjadi karena fakta bahwa ia mendapatkannya di bawah meja abu di dalam sebuah rumah milik keluarga Tionghoa.
Apa hubungannya keris Semar kuncung dengan budaya China?
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh