Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Kembali Menghantui
Catherine merasa hidupnya semakin tenang selama semuanya berubah. Meskipun Jenny sudah pindah ke SMA yang berbeda, mereka tetap menjaga komunikasi. Catherine pun lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, menikmati perkembangan dirinya yang semakin baik, baik fisik maupun mental. Namun, ada satu hal yang mengusik pikirannya: Akbar.
Sejak putus dengan Theresia, Akbar mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Meskipun hubungan mereka tidak seperti dulu, Catherine merasakan ada sesuatu yang aneh setiap kali mereka bertemu. Akbar mulai lebih sering menyapanya, dan percakapan mereka terasa lebih intim. Terkadang, Catherine merasa bahwa Akbar mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Namun, dia masih bingung. Apakah ini perasaannya saja, atau memang ada sesuatu yang lebih?
Satu hari, saat mereka duduk berdua di kantin, Theresia muncul dengan langkah cepat. Tanpa basa-basi, dia langsung menghampiri mereka dengan tatapan tajam, langsung ke arah Catherine. "Kenapa sih, kamu masih deket-deket sama dia?" tanyanya dengan suara datar tapi penuh kebencian.
Catherine yang sudah cukup kesal dengan sikap Theresia, merasa emosi mulai mendidih. Dia sudah cukup lama sabar, tetapi kali ini dia tidak akan diam saja. "Lo pikir gue takut sama lo? Udah berapa kali Lo ganggu-ganggu ketenangan gue, Theresia? Gue capek, ngerti gak?" jawab Catherine dengan nada galak, matanya menatap tajam. "Sekarang lo mau apa lagi? Jangan pikir gue bakal diem aja."
Theresia hanya menatapnya dengan senyum sinis. "Jangan banyak gaya, Cat. Lo gak bakal pernah diterima di dunia gue," sindir Theresia, meskipun di matanya ada rasa cemas yang tak bisa disembunyikan.
Catherine menatap Theresia dengan mata tajam, perasaan kesal yang telah lama dipendam akhirnya meledak. "Lo pikir gue mau berteman sama orang kayak lo? Gue gak pernah minta perhatian dari orang yang cuma bisa nyindir orang lain buat ngerasa lebih baik," ujar Catherine dengan nada tajam. "Sekarang lo lihat, kan? Gak ada yang peduli sama lo, kan? Itu akibat dari sikap lo yang selalu cari-cari masalah."
Theresia terdiam, wajahnya sedikit memerah karena kata-kata tajam dari Catherine. "Lo pikir lo siapa?" jawab Theresia, mencoba menutupi rasa cemas yang mulai terasa.
Catherine hanya mengangkat bahu, lalu menatapnya dengan rasa kecewa yang mendalam. "Gue cuma gak mau terlibat sama orang yang gak punya hati, itu aja. Jadi, gak usah repot-repot deh nyoba ganggu hidup gue."
Akbar yang mendengarnya langsung tersenyum tipis, tampaknya sedikit geli melihat Theresia yang masih belum bisa move on. Dia menatap Theresia dengan tegas. "Theresia, cukup. Jangan ganggu dia lagi. Kamu udah cukup nyakitin dia selama ini. Sekarang saatnya berhenti."
Theresia terdiam. Dia menatap Akbar dengan muka merah karena marah. "Kamu... Kamu nggak seperti dulu," gumamnya dengan nada penuh amarah, tapi tidak bisa berkata lebih banyak. Dia pun berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Akbar dan Catherine di meja kantin.
Catherine menatap Akbar dengan perasaan campur aduk. "Kamu tidak perlu membela aku, Akbar. Aku bisa urus itu sendiri," ujarnya dengan nada agak keras, walaupun dalam hati sedikit terharu. Sejak dulu, Akbar memang selalu terlihat cuek dan gak peduli, tapi kali ini dia membela Catherine dengan serius.
Akbar hanya mengangguk pelan. "Aku nggak peduli sama apa kata Theresia, Catherine. Kamu nggak pantas diperlakukan kayak gitu, dan aku nggak akan biarin dia ganggu kamu lagi."
Catherine terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kamu ngomong kayak gitu, aku jadi ngerasa kamu mulai ngerti aku, Akbar. Aku pikir, kamu itu cuma bisa main-main doang." Dia memutar bola matanya. "Tapi, yaudah deh, makasih."
Akbar tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku cuma nggak suka dia ngeganggu Kamu. Kamu udah berubah banyak, Catherine. Kamu udah nggak jadi orang yang gampang diinjek-injek lagi. Aku bangga sama kamu."
Catherine merasa ada sedikit kehangatan yang datang dari kata-kata Akbar. "Ya, perubahan itu gak gampang, Akbar. Aku harus belajar berani dan jaga diri aku sendiri. Theresia itu, udah lama banget ngehina aku. Aku capek, bener-bener capek. Aku udah pernah jadi orang yang lemah, dan Aku nggak mau balik lagi ke situ."
Setelah percakapan itu, Catherine merasakan perasaan campur aduk di dalam dirinya. Meskipun dia tidak ingin terlalu bergantung pada Akbar, ada rasa terima kasih yang tulus untuk dukungannya. Theresia, yang dulu selalu menjadi musuh bebuyutannya, kini mulai merasa kehilangan teman-temannya. Geng-nya mulai menjauh, dan banyak yang mulai berpihak pada Catherine, karena mereka sadar bahwa Theresia selalu menyakiti orang lain.
Akbar menatap Catherine, dan meskipun dia merasa ada sesuatu yang aneh di antara mereka, dia tahu bahwa tidak mudah bagi Catherine untuk membuka hati lagi. Dia hanya berharap, seiring waktu, Catherine akan menemukan kedamaian yang dia cari dan mulai mempercayai orang lain lagi—termasuk dirinya.
...Perubahan yang Terjadi...
Akbar mulai muncul lebih sering di sekitar Catherine. Meskipun tidak lagi ada hubungan renggang seperti sebelumnya, masa SMP. Sikapnya yang tiba-tiba perhatian membuat Catherine merasa sedikit cemas. Dia tidak tahu apakah Akbar hanya ingin berteman, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikapnya yang lebih intens. Setiap kali Akbar mendekat, Catherine merasa sedikit gugup, terutama karena dia merasa lebih nyaman sekarang bersama Naufal, sahabat yang selalu ada untuknya.
Naufal selalu mendukung Catherine dalam setiap langkahnya, dan mereka berdua menghabiskan banyak waktu bersama, saling berbagi cerita tentang masa depan dan keinginan masing-masing. Catherine merasa lebih tenang dan aman saat berada di dekat Naufal. Namun, Akbar, dengan sikap yang semakin sering menghampirinya, membuatnya merasa bingung dan tidak nyaman.
Amel, yang awalnya bukan teman dekat Catherine, mulai ikut campur dalam situasi ini. Meski dia tidak terlalu dekat dengan Catherine, dia tak bisa menahan diri untuk tidak ikut mengejek Theresia, yang mulai menjadi target bullying teman-teman sekolah setelah putus dengan Akbar. Theresia yang dulu begitu percaya diri kini terlihat semakin terpuruk. Amel, yang sering terlihat di sekitar kelompok yang mengolok-olok, tidak ragu untuk berpartisipasi dalam menghina Theresia.
"Suka banget ya Akbar ngelakuin ini sama Theresia. Sekarang dia yang jadi bahan lelucon!" cemooh Amel sambil tertawa bersama teman-temannya.
Catherine yang mendengar hal ini hanya bisa terdiam. Dia merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut, meskipun Theresia pernah memperlakukan dia dengan buruk. Tetapi, melihat teman-temannya ikut merendahkan orang lain membuatnya merasa tidak enak. Dia tahu bahwa meskipun Theresia mungkin tidak sepenuhnya baik, hal ini tidak seharusnya terjadi.
Naufal yang berada di samping Catherine mengamati perubahan sikap teman-temannya, terutama Amel. Dia tidak suka melihat orang-orang di sekitarnya ikut dalam aksi bullying, terutama terhadap seseorang yang sedang terpuruk. "Mungkin kita harus menghentikan ini," kata Naufal dengan serius.
Catherine menatapnya dan mengangguk. "Aku juga nggak suka lihat orang lain dihina kayak gitu. Theresia mungkin nggak sebaik itu, tapi nggak seharusnya kita ikut-ikutan ngebuli."
Walaupun Catherine merasa sedikit cemas dengan sikap Akbar, dia lebih memilih untuk tetap fokus pada dirinya sendiri dan teman-temannya yang benar-benar mendukungnya. Dengan Naufal di sampingnya, dia merasa lebih kuat dan lebih percaya diri. Dia tahu bahwa apapun yang terjadi dengan Akbar, dia tidak akan membiarkan hal itu mengganggu perjalanan hidupnya.
Namun, di balik keteguhan hatinya, ada sedikit ketakutan yang muncul. Apakah Akbar beneran mulai memiliki perasaan padanya? Catherine masih bingung dengan perasaan itu, karena dia tidak ingin kembali ke hubungan yang sama, apalagi melihat bagaimana Akbar perlahan mulai menarik perhatian dengan sikapnya yang semakin intens.
Sementara itu, Theresia terus menjadi bahan ejekan di sekolah. Namun, Catherine dan Naufal memutuskan untuk menjaga jarak dari gosip tersebut dan fokus pada hal-hal yang lebih penting—yaitu menjalani hidup dengan lebih baik dan menghindari ikut campur dalam masalah yang tidak membawa dampak positif.
...Pertemuan Tak Terduga...
Hari-hari berlalu dengan Catherine yang semakin nyaman dengan dirinya. Dia menghabiskan waktu bersama Naufal, teman dekatnya, tanpa beban. Naufal selalu mendukungnya, dan kedekatan mereka membuat Catherine merasa lebih kuat. Tapi, terkadang, dia merasa ada sesuatu yang aneh setiap kali Akbar muncul di sekitarnya. Akbar, yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, sering terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Catherine, meski tidak ingin terlalu berpikir tentangnya, merasakan perubahan dalam sikap Akbar.
"Kenapa ya, aku merasa dia semakin sering deketin aku?" pikir Catherine dalam hati. "Apakah dia mulai berubah, atau aku yang salah paham?"
Catherine memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, namun entah kenapa, dia merasa sedikit cemas setiap kali Akbar ada di dekatnya. Terutama ketika Naufal juga berada di sana, karena Naufal selalu menjadi orang yang melindungi dan memberikan rasa aman. Catherine merasa aneh dan canggung jika ada ketegangan antara Akbar dan Naufal.
Di sisi lain, Theresia—yang sudah putus dengan Akbar—ternyata tidak mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah itu. Beberapa teman sekelas mulai membully Theresia, dan Catherine tahu bahwa hal itu tidak adil. Meskipun Theresia tidak pernah benar-benar menjadi teman dekatnya, hati Catherine tergerak ketika dia melihat Theresia diolok-olok oleh beberapa orang.
"Kenapa ya, mereka bisa sebegitunya sama Theresia?" gumam Catherine dalam hati saat melihat teman-temannya, termasuk Adam dan Surya, yang ikut dalam kerumunan tersebut. Mereka memanggil Theresia dengan nama-nama yang tidak sopan, menertawakan dan mempermalukannya di depan banyak orang.
Naufal yang berdiri di samping Catherine menatap kejadian itu dengan tatapan tajam. "Gak ngerti lagi, sih. Kenapa mereka harus kayak gitu?" kata Naufal dengan suara kesal.
Catherine hanya mengangguk pelan, tetapi hatinya terasa berat. Di satu sisi, dia tidak ingin terlibat dengan Theresia lagi, tetapi di sisi lain, dia merasa kasihan melihatnya diperlakukan seperti itu.
"Ngapain sih, lo pada kayak gitu sama Theresia?" kata Catherine tiba-tiba, suara tegasnya terdengar. "Apa lo nggak bisa berhenti nge-bully orang?"
Adam dan Surya berhenti sejenak, tampak kaget mendengar suara Catherine. Mereka terdiam, dan suasana seketika menjadi canggung. Theresia yang semula menunduk, kini menatap Catherine dengan sedikit harapan.
"Udah, Catherine. Gak usah repot-repot. Gue gak butuh pertolongan dari lo," jawab Theresia dengan nada datar. Namun, Catherine tahu ada sedikit kelembutan di balik perkataannya, meskipun Theresia berusaha untuk menutupi rasa malunya.
Catherine menatap Theresia sejenak, mencoba membaca ekspresinya. "Gak masalah, Theresia. Tapi lo nggak perlu dibully kayak gini. Semua orang pantas dihargai," jawabnya, sebelum melangkah pergi bersama Naufal.
Naufal yang berjalan di sampingnya hanya bisa menghela napas. "Kamu emang baik banget, Cat. Tapi kadang aku nggak ngerti kenapa kamu masih peduli sama Theresia."
Catherine tersenyum tipis. "Aku nggak tahu juga, Nauf. Mungkin karena, walaupun dia gak baik ke aku, aku tetap nggak mau lihat orang lain menderita."
Mereka melanjutkan langkah mereka, meninggalkan Theresia yang masih berdiri terdiam, tetapi kali ini, dia tidak lagi dipermalukan oleh orang-orang di sekitar mereka.
Seiring berjalannya waktu, Catherine semakin mengerti bahwa tidak semua perasaan bisa diukur dengan apa yang orang lihat dari luar. Mungkin hubungan dengan Theresia sudah berakhir, tapi dia merasa bahwa memberi pertolongan—meskipun untuk orang yang tidak sepenuhnya dia sukai—adalah hal yang benar untuk dilakukan.
...****************...
Catherine merasa ketegangan mulai membebani dirinya. Semenjak penderitaan yang berkepanjangan berakhir, dia merasa ada sesuatu yang berubah, terutama setelah Akbar mulai sering mendekatinya lagi. Ada sesuatu dalam cara Akbar memperhatikannya yang membuatnya sedikit cemas, namun dia berusaha untuk tidak terlalu berpikir buruk.
Selama ini, Akbar yang dulu sempat menjauhkan diri, kini mulai memperlihatkan minat lebih. Mungkin, pikir Catherine, itu karena dia sudah berubah, sudah lebih percaya diri dan kuat. Namun, perasaan itu membuatnya bingung. Apakah Akbar memang mulai tertarik padanya? Atau akankah hubungan mereka kembali seperti dulu, dengan segala kebingungannya?
Satu-satunya orang yang selalu ada untuk Catherine saat dia merasa terpojok adalah Naufal (SMA). Naufal yang selalu mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi, sahabat yang selalu bisa membuatnya tertawa, dan paling penting, Naufal yang bisa membuatnya merasa tenang. Namun, akhir-akhir ini, Catherine merasa sedikit cemas dengan perasaan Akbar yang mulai tampak lebih intens. Dia merasa ketakutan, terutama ketika Akbar semakin sering menghubunginya, bertanya tentang kesehariannya, atau sekadar menyapa saat mereka bertemu di sekolah.
Suatu hari, saat mereka sedang berjalan bersama Naufal menuju kelas, Catherine melihat Akbar di kejauhan, menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Itu membuatnya merasa tidak nyaman. Naufal yang melihat reaksi Catherine segera menyadari ada yang tidak beres.
"Ada apa, Cat? Kok kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu banget?" tanya Naufal, mengamati wajah Catherine yang mulai cemas.
Catherine menghela napas dan memutar tubuhnya, berusaha untuk tidak menatap Akbar. "Aku nggak tahu. Kayaknya Akbar mulai... ada sesuatu yang beda. Aku jadi takut."
Naufal mengerutkan dahi. "Takut kenapa?"
Catherine ragu sejenak. "Takut kalau dia udah mulai suka sama aku. Aku nggak tahu harus gimana."
Naufal tersenyum sedikit dan melangkah lebih dekat. "Cat, kamu nggak perlu khawatir. Kalau dia benar-benar tertarik, dia harus bisa menghargai kamu. Dan kamu udah punya aku, kan? Aku bakal bantu kamu untuk apa pun."
Catherine merasa sedikit lega mendengar kata-kata Naufal. Meski dia merasa bingung dan cemas, dia tahu dia tidak sendirian. Naufal selalu ada di sisinya, mendukungnya apapun yang terjadi.
Di sisi lain, Theresia semakin merasa kesulitan dengan perlakuan teman-teman sekelasnya. Sejak putus dari Akbar, dia menjadi sasaran bully-an. Teman-teman di sekolah mulai menggoda dan menghina dia, menyebut-nyebut tentang hubungan yang gagal dan segala hal yang berkaitan dengan masa lalunya bersama Akbar. Mereka sering mengolok-olok Theresia dengan komentar pedas, seperti "Akbar nggak mau sama kamu, ya?" atau "Emang kamu nggak sadar, Theresia? Kamu cuma pilihan kedua buat dia."
Theresia merasa semakin terpuruk, namun dia mencoba untuk tetap kuat. Meskipun dia sering menangis di balik pintu, dia berusaha menutupi rasa sakitnya dengan senyum palsu. Setiap kali dia mendengar ejekan dari teman-temannya, hatinya semakin terasa sesak, dan dia mulai merasa terasingkan dari lingkungannya. Tak ada lagi teman yang membelanya, dan dia merasa kesepian.
Catherine yang melihat hal ini mulai merasa kasihan pada Theresia, meskipun hubungan mereka berdua tidak lagi seperti dulu. Dia tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu, dan meskipun Theresia dulu sering berbuat buruk kepadanya, Catherine merasa dia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.
Dengan hati-hati, Catherine mendekati Theresia di lorong sekolah, saat Theresia sedang duduk sendiri di bangku. "Theresia," panggil Catherine pelan.
Theresia menoleh dengan ragu, lalu mendengus. "Apa lagi yang mau kamu bilang, Catherine?"
Catherine menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. "Aku cuma mau bilang, nggak baik buat kamu dibiarkan sendirian gini. Kamu nggak pantas dihina terus."
Theresia terdiam sejenak, tatapannya kosong, namun ada sedikit kehangatan dalam matanya. "Aku nggak butuh belas kasihan, Catherine," ujarnya pelan.
Catherine menatapnya dengan lembut. "Aku nggak kasih belas kasihan, Theresia. Aku cuma... peduli."
Dengan kata-kata itu, Catherine meninggalkan Theresia sendirian di lorong, namun dalam hatinya, dia merasa sedikit lebih baik. Terkadang, meskipun orang tidak bisa mengubah segalanya, sebuah kata penghiburan bisa membantu meringankan beban.
Setelah perpisahan yang cukup lama, Theresia akhirnya merasa tertekan dengan segala perasaan yang dipendam. Selama beberapa minggu terakhir, dia telah melihat perubahan yang signifikan dalam diri Akbar. Akbar yang dulu tampak tergantung padanya kini mulai menunjukkan sikap yang berbeda—lebih fokus, lebih serius, dan jauh lebih tenang. Bahkan, dia sering terlihat berbicara dan tertawa bersama Catherine, yang dulu dia anggap hanya sebagai gadis yang lemah dan tergantung pada orang lain.
...****************...
Theresia tidak bisa menahan diri. Setelah berhari-hari memendam perasaan, dia memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Akbar. Dengan tangan gemetar, dia mengetikkan kata-kata di layar ponselnya.
"Apa kabar? Lama nggak ngobrol. Gimana semuanya?" tulis Theresia.
Tak lama setelah pesan itu terkirim, Akbar membalasnya. "Oh, hai. Aku baik-baik aja, Ter. Lagi sibuk aja belakangan ini. Kamu gimana?"
Theresia tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya. Meskipun dia berusaha terlihat santai, dia tahu dalam hatinya bahwa perasaan lama itu belum sepenuhnya hilang. "Aku baik, cuma... agak kangen ngobrol sama kamu."
Mereka berdua sempat terdiam dalam waktu yang cukup lama. Theresia merasa sedikit takut dan cemas, takut jika perasaan lama itu kembali bangkit, tapi dia juga merasa aneh saat mengabaikan Akbar begitu saja.
Akhirnya, Akbar membalas lagi, kali ini dengan kalimat yang lebih ringan. "Aku juga nggak nyangka bakal lama nggak ngobrol. Tapi sekarang aku lebih fokus sama hal-hal yang lebih penting. Mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol lagi kalau ada waktu."
Theresia membaca pesan itu berulang kali. Ia merasa sakit hati, tapi juga cemas. Rasanya seperti sudah terlambat untuk mencoba mendekatkan diri lagi, apalagi dengan kondisi yang sudah jauh berbeda. Akbar, yang dulu sangat bergantung padanya, kini tampaknya lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama Catherine, yang dia rasa lebih bisa membuatnya berkembang.
Tanpa bisa menahan diri, Theresia mengirimkan pesan terakhir. "Aku cuma mau bilang, aku minta maaf kalau selama ini nggak baik sama kamu."
Akbar terkejut membaca pesan itu, dan meskipun ia merasa ada sedikit rasa kecewa di dalam dirinya, dia memutuskan untuk tetap menghadapinya dengan kepala dingin. "It’s okay, Ter. Aku juga punya banyak hal yang perlu dipelajari. Kita semua berubah seiring waktu."
Setelah itu, percakapan mereka berakhir dengan jeda yang panjang. Theresia merasa bingung. Apakah ini berarti bahwa Akbar sudah benar-benar move on dari masa lalu mereka? Dan apakah dia juga harus melepaskan semua perasaan itu demi melihat Akbar bahagia dengan jalannya sendiri?
a few minutes later......
Catherine mulai merasakan ada sesuatu yang aneh sejak beberapa hari terakhir. Akbar yang dulunya hanya sebatas teman—yang pernah meminta maaf dan mengakui kekurangannya—kini mulai lebih sering mendekatinya. Awalnya Catherine merasa tenang karena dia sudah bisa menjaga jarak dengan Akbar. Tapi lama-kelamaan, kehadiran Akbar yang tiba-tiba semakin sering mengirim pesan membuatnya merasa bingung.
Suatu sore, setelah paduan suara, Catherine sedang duduk di taman sambil bermain ponselnya. Akbar tiba-tiba mengirim pesan lagi, dan kali ini, Catherine merasa tidak seperti biasanya. Akbar menceritakan sesuatu yang cukup mengejutkan.
“Catherine, aku nggak tahu kenapa aku merasa harus bilang ini ke kamu. Aku sempat chat sama Theresia beberapa waktu lalu, dan dia masih berusaha untuk bikin aku kembali ke dia. Tapi entah kenapa, sejak kita mulai ngobrol lagi, aku merasa lebih nyaman sama kamu.”
Catherine terkejut membaca pesan itu. Dia membaca berulang kali untuk memastikan apa yang baru saja dia baca. Akbar, yang dulu tampak begitu bingung dan tidak tahu apa yang dia inginkan, sekarang mengungkapkan bahwa dia punya perasaan yang berbeda padanya.
Akbar melanjutkan, “Aku nggak tahu kalau ini bisa terjadi, tapi aku rasa aku mulai punya perasaan sama kamu, Cat.”
Catherine tak bisa langsung membalas. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa sedikit bingung dan bahkan takut. Apakah ini benar? Apakah ini hanya perasaan sementara, atau ada sesuatu yang lebih serius di baliknya? Di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa tersentuh. Mungkin ini adalah kesempatan baru untuk melihat hubungan mereka dengan cara yang berbeda, tapi dia tak ingin terburu-buru membuat keputusan.
Selama beberapa detik yang terasa sangat lama, Catherine berpikir keras. Dia sadar, meskipun hubungan dengan Akbar sudah jauh lebih baik sekarang, perasaan yang muncul tiba-tiba ini terasa cukup membingungkan. Sebagai sahabat yang selalu mendukungnya, Naufal selalu ada untuk mendengarkan setiap kali Catherine merasa bingung. Jadi, Catherine memutuskan untuk menghubungi Naufal. Dia merasa Naufal akan memberi pandangan yang objektif dan bijaksana.
"Nauf, ada yang aku perlu omongin," kata Catherine saat mengirim pesan kepada Naufal. "Akbar tiba-tiba bilang kalau dia punya perasaan sama aku. Aku nggak tahu harus gimana."
Naufal cepat merespons, "Wow, serius? Gimana perasaan kamu?"
Catherine menatap ponselnya sejenak, merenung. "Aku juga nggak tahu, Na. Aku takut kalau ini cuma perasaan sementara, atau cuma karena dia merasa kehilangan setelah putus sama Theresia."
Naufal membalas, “Paham, Cat. Ini emang bukan hal yang gampang. Kamu harus lebih fokus sama perasaan kamu sendiri dulu. Jangan sampai kamu terjebak sama perasaan orang lain yang nggak jelas. Kalau memang dia serius, pasti dia akan lebih terbuka ke kamu.”
Catherine mengangguk, meskipun Naufal tidak bisa melihatnya. Dia merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan sahabatnya. Namun, pertanyaan besar masih tetap ada dalam hatinya: apakah dia siap membuka hatinya untuk Akbar lagi ? Apa yang harus dia lakukan dengan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka?