Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Humairaku
Gus Zam memperhatikan Hanung yang sedang membuka hijabnya. Sejauh ini, hanya Bu Nyai, Ning Alifah dan Ning Zelfa yang menurutnya cantik saat melepas hijab dan semakin cantik saat berhijab. Tetapi menyaksikan istri yang baru beberapa jam ia nikahi membuka hijab di hadapannya, membuat Gus Zam terpaku.
"MasyaAllah.."
"Kenapa Gus? Eh, Mas!"
"Aku seperti melihat bidadari."
"Memangnya Mas sudah pernah bertemu bidadari?"
"Ini ketemu, bidadari surgaku." Hanung tersipu dengan pujian Gus Zam.
Ia pun beranjak untuk menggantung hijabnya. Gus Zam yang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur hanya memperhatikan gerakan Hanung. Tak lama setelah Hanung menggantung hijabnya, suara adzan dzuhur berkumandang. Ia pun mengajak Gus Zam untuk sholat.
Keduanya melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Jika kemarin mereka menjaga jarak, kini Hanung menempelkan sajadah nya dengan sajadah Gus Zam. Dalam hati keduanya ada gelenyar hangat yang menjalar. Selesai sholat, Hanung meraih tangan Gus Zam untuk menciumnya. Ini adalah kali kedua Hanung melakukannya hari ini.
Pertama kalinya, yaitu setelah akad nikah. Dan ini juga kali kedua Gus Zam mendaratkan kecupan di kening seperti yang ia lakukan setelah akad. Keduanya diam cukup lama, meresapi kebersamaan mereka.
"Kenapa Hanung menerimaku sebagai suami?" Pikiran Gus Zam lolos begitu saja.
"Karena Allah."
"Apa yang membuat Hanung yakin?"
"Entahlah, Mas. Sejak Bu Nyai melamar, aku sudah melakukan beberapa kali istikharah untuk menyakinkan jawabanku. Tetapi kemudian aku bertemu denganmu dan mendengar cerita tentangmu, aku melakukannya lagi. Dan hasilnya aku ada disini." Gus Zam menatap dalam Hanung.
"Apakah kamu ragu saat mendengar ceritaku?" Hanung mengangguk jujur.
"Apakah kamu takut saat melihatku pertama kali?"
"Memang ada rasa takut saat itu. Tetapi rasa takut menyinggung daripada takut dengan sikap kamu, Mas."
Gus Zam mengernyitkan alis. Pertemuan mereka pertama kali bukan saat melamar, tetapi Gus Zam hanya diam. Mungkin Hanung tidak sadar orang yang ia tabrak kala itu adalah Gus Zam.
"Istirahatlah.." Hanung mengangguk patuh.
Setelah memastikan Hanung tertidur pulas, Gus Zam perlahan keluar dari kamar dan menunggu Pak Kyai di meja makan.
"Kenapa kamu disini? Mana Hanung?" tanya Pak Kyai yang baru saja kembali dari masjid.
"Abi.. Bagaimana caranya agar Zam bisa membahagiakan Hanung?" bukannya menjawab, Gus Zam justru melemparkan pertanyaan.
"Lakukan saja mengikuti kata hatimu! Walaupun Abi mengajarkan, kalau kamu hanya melakukannya tanpa hati sama saja dengan hambar."
"Zam tidak tahu."
"Jalani saja, Nak. Pernikahan kalian baru dimulai, seiring berjalannya waktu kamu akan tahu. Yang pasti, perlakukan lah istrimu dengan lembut dan jangan menyakitinya."
"Zam menyakiti Hanung, Abi."
"Maksud kamu?" Pak Kyai terkejut, beliau berdoa semoga Hanung tidak lari dihari pertamanya menikah.
"Tadi Zam mencengkeram tangan Hanung."
"Kapan?"
"Saat Ibu Hanung meminta Zam untuk menceraikannya."
"Oh." Pak Kyai bernafas lega karena ketakutan beliau tidak akan terjadi.
"Tak apa, itu karena kamu melakukannya tanpa sadar."
"Bukankah kata Abi aku tidak boleh menyakitinya?" Gus Zam menatap tajam kearah Pak Kyai.
"Bukan yang seperti itu. Maksud Abi, seperti kamu sengaja memukul Hanung, menyakiti hatinya dengan berkata kasar atau memperlakukannya dengan kasar." Pak Kyai lupa jika anaknya sama sekali tidak memiliki pengalaman berhubungan dengan orang.
Gus Zam mengangguk. Ia kemudian memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan dan senyuman yang diberikan Hanung. Semua itu menandakan dirinya telah memperlakukan Hanung dengan baik. Kemudian pikirannya berganti dengan perpisahan yang akan mereka hadapi.
"Abi, apa maksud Abi dengan memantaskan satu sama lain saat bertemu nanti?" Pak Kyai nampak berpikir, tetapi kemudian beliau ingat dengan kata-kata nya sendiri.
"Apa kamu merasa sudah pantas untuk Hanung sekarang ini?" tanya Pak Kyai setelah meminum kopinya.
"Belum."
"Maka dari itu, saat kalian berpisah nanti kalian akan saling memantaskan diri. Dengan berkomunikasi jarak jauh, saat bertemu nanti kalian adalah versi baru dari kalian yang sekarang."
Walaupun Pak Kyai mengatakannya untuk menenangkan Gus Zam, beliau tidak yakin dengan standar memantaskan diri Hanung dan Gus Zam. Beliau hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk menantu dan anaknya.
"Apakah Abi menginginkan cucu?"
"Uhuk.. uhuk.." Pak Kyai tersedak kopi mendengar pertanyaan Gus Zam.
"Rasa ingin ada, tetapi tidak perlu buru-buru. Semua itu sudah ada jatahnya karena anak adalah rezeki dari Allah. Kalian saling mengenal saja dulu dan.." Gus Zam menantikan kelanjutan kalimat Pak Kyai.
"Sembuhkan dulu mentalmu, Nak." kata Pak Kyai kemudian dengan suara lirih.
"Jika mentalmu masih labil seperti sekarang, memiliki anak hanya akan membuat kamu semakin depresi. Yang mana akan semakin membuat Hanung menderita. Maka dari itu, siapkanlah jiwa dan ragamu sebelum kamu memutuskan untuk memiliki keturunan. Hanung akan mengerti kondisi ini." imbuh Pak Kyai hati-hati.
"Abi benar. Zam masih belum siap." Pak Kyai lega, Gus Zam bisa menerima perkataannya.
Gus Zam pun pamit untuk kembali ke kamar takut Hanung terbangun dan mencarinya. Pak Kyai menganggukkan kepala dan kembali menikmati kopi beliau yang sudah dingin.
Saat Gus Zam masuk kedalam kamar, Hanung masih terlelap. Setelah melepaskan kemeja, Gus Zam mensejajarkan tubuhnya disamping Hanung yang memiringkan tubuh kearahnya.
Sudah lama Gus Zam mengenal Hanung. Hanung yang sering berkunjung saat Ibu Jam mengikuti kajian adalah gadis yang bebas. Ia tak akan jenak mengikuti kajian, sehingga meninggalkan masjid dan bermain dengan kucing atau duduk membaca. Terkadang jika Ning Zelfa senggang, keduanya akan bermain kejar-kejaran bersama diusia mereka yang sudah 15 tahun. Gus Zam akan memperhatikan mereka dari balik jendela kamarnya.
"Hanung.. Kamu seperti bintang yang sudah ku gapai tetapi susah untuk ku bawa." gumam Gus Zam.
"Dibawa kemana?" tanya Hanung tiba-tiba dengan suara parau.
"Ka-kamu sudah bangun?"
"Baru saja. Mas mau kemana?" tanya Hanung yang melihat Gus Zam siap berdiri.
"Tidak kemana-mana." Hanung pun menarik tangan Gus Zam dan membuat mereka kembali sejajar.
"Pertanyaan ku belum dijawab!"
"Tidak ada yang dibawa kemana-mana." jawab Gus Zam asal.
"Mas ada ponsel?" Gus Zam mengangguk.
Hanung beranjak dari tidurnya dan mengambil ponselnya. Kemudian ia meminta Gus Zam memasukkan nomor ponselnya. Setelah mendapatkannya, Hanung menyimpannya dengan nama "Mas Zam" dan melakukan panggilan.
Ponsel Gus Zam yang disimpan di laci pun berdering. Gus Zam mengambilnya dan Hanung memutuskan panggilan. Gus Zam menyimpan nomornya dengan nama "Humairaku".
"Kenapa Humaira, Mas?"
"Nama kesayangan yang Nabi Muhammad berikan untuk istrinya, Aisyah."
"Yang itu aku tahu, Mas. Pertanyaannya, kenapa Humaira?"
"Aku merasa cocok saja. Saat kamu tersenyum dan tersipu, wajahmu akan kemerahan." jawab Gus Zam jujur yang membuat Hanung tertawa.
Melihat Hanung tertawa, membuat Gus Zam semakin ingin menstabilkan mentalnya agar bisa mengikuti setiap emosi yang Hanung rasakan.