Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9: No Pain No Gain
Wira melangkah keluar dari gubuk, berdiri di tengah hutan dengan udara pagi yang dingin menusuk kulit. Ia menarik napas panjang, mengamati sekeliling untuk memastikan keberadaannya di pinggir sungai yang semalam menjadi jalur pelariannya. Sesekali, pikirannya melayang ke teman-temannya di markas. Mereka pasti sedang mencarinya sekarang. Di dalam hatinya, ia juga bertanya-tanya apakah Ruo yang mengejarnya benar-benar sudah mati, karena kemarin ia hanya menembak otaknya, bukan menghancurkan kepala sepenuhnya.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, kakek itu muncul dari belakang gubuk. Tanpa sepatah kata, kakek menyerahkan sebuah kapak besar kepada Wira dengan ekspresi datar dan penuh wibawa.
“Kau bilang mau jadi kuat, bukan? Nah, tebang pohon itu dan potong-potong jadi kayu bakar,” perintah kakek dengan suara berat.
Wira menerima kapak itu dengan tatapan penuh semangat. Senyum licik terukir di wajahnya, salah paham dengan maksud si kakek. “Ah, jadi hari ini kita latihan bertarung, ya, Kek? Bersiaplah, jangan sampai tulang punggungmu patah saat menghadapiku.”
Kakek itu menatapnya dingin, lalu mendengus dengan nada mengejek. “Bocah sombong. Aku cuma butuh kayu bakar, bukan latihan bertarung dengan bocah ingusan.”
Wira terdiam, merasakan sedikit malu tapi tak mau mengakui kesalahpahamannya. “Tentu saja... pasti seperti ini. Mirip di film the karate boy,” gumamnya sambil tersenyum miring, namun akhirnya mengangguk patuh dan melangkah menuju pohon yang ditunjuk oleh kakek itu.
Sementara Wira mulai mengayunkan kapak, kakek berjalan santai ke arah sungai. Di pinggir sungai, kakek menyiapkan alat pancingnya dan mulai memancing dengan ekspresi serius dan fokus. Sesekali, ia melirik Wira yang terlihat berjuang memotong kayu.
Wira awalnya berpikir tugas ini mudah, tapi kapak yang diberikan kakek ternyata sangat berat. Setiap ayunan kapak terasa seperti beban yang menekan otot-otot tangannya, membuatnya menyadari bahwa ini tidak sesederhana yang ia duga. Wira merasa ini adalah latihan ketahanan fisik yang sengaja dirancang oleh kakek untuknya, dan ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu.
“Lumayan... ini bisa jadi latihan untuk mengalahkan Ruo,” gumam Wira sambil menyeka keringat dari dahinya.
Tanpa menghiraukan keluh kesah Wira, kakek tetap tenang di pinggir sungai, memancing ikan dengan ekspresi garang dan tak peduli. Sementara Wira masih memutar otaknya, mengira tugas ini adalah bagian dari latihan, kakek hanya membutuhkan kayu bakar untuk gubuknya.
Di dalam mobil Bima & Flora
Di dalam mobil, Bima dan Flora duduk bersebelahan, berkendara menuju rumah sakit dengan pikiran masing-masing. Di tengah perjalanan, Bima yang memegang kemudi melirik sekilas ke arah Flora, lalu bertanya dengan nada hati-hati, “Flora, apa kamu benar-benar mempercayai Wira sepenuhnya?”Tanpa ragu sedikit pun, Flora tersenyum tipis dan mengangguk. “Ya, aku percaya pada Wira sepenuhnya, Bima. Dia adalah orang yang rela berkorban untuk kita semua. Dia hangat dan baik. Dia nggak ragu menolong siapa pun yang membutuhkan, bahkan ketika itu membahayakan dirinya sendiri.”
Bima terdiam, hanya mengangguk kecil sambil menatap jalan di depannya. “Begitu ya,” gumamnya, namun dalam hatinya muncul perasaan ragu. Bima setuju bahwa Wira rela berkorban untuk orang lain, ia sudah melihatnya berkali-kali. Namun, di dalam dirinya, ia juga mengingat momen-momen ketika ia menyaksikan kebrutalan Wira dalam membunuh tanpa ampun, sisi gelap yang mungkin Flora belum pernah lihat. Bima bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang belum mereka pahami sepenuhnya tentang Wira.
Beberapa puluh menit kemudian, mereka tiba di pinggir jalan di dekat rumah sakit. Bima mengangkat teropongnya, mengamati situasi dari kejauhan. Di lorong-lorong luar rumah sakit, ia melihat satu sosok Ruo yang masih berjaga di sana, dengan tatapan kosong namun penuh kewaspadaan.
Bima menurunkan teropongnya dan berpaling pada Flora. “Sepertinya kita nggak bisa masuk ke rumah sakit sekarang untuk mencari Wira. Di sana masih ada Ruo yang berjaga. Dan kita nggak punya tabung kriogenik lagi; semuanya sudah diledakkan di ruang radiologi kemarin.”
Flora menghela napas, memahami situasi yang dihadapi mereka. Ia tahu bahwa tanpa senjata pembeku, menghadapi Ruo adalah risiko besar. “Baiklah, jadi kita harus menunggu sampai bom pembeku buatan Rizki siap, ya?” jawabnya tenang. “Kalau begitu, kita fokus cari makanan saja, Bim. Setidaknya kita nggak pulang dengan tangan kosong.”
Bima mengangguk setuju, lalu menyalakan mesin mobil kembali. Meski hatinya masih memikirkan Wira, ia tahu bahwa saat ini yang bisa mereka lakukan hanyalah bersiap sebaik mungkin dan menjaga agar yang lain tetap selamat.
Di Gubuk kakek.
Wira menyeka peluh dari dahinya dan melihat ke arah kakek yang sedang duduk santai di pinggir sungai, memancing dengan tenang sambil memanggang ikan di api kecil. Dengan langkah penuh percaya diri, Wira mendekati kakek itu dan berkata, “Kakek tua, kau tidak perlu malu-malu untuk mengatakan kalau ini bagian dari latihanku. Jujur saja padaku! Hahaha, ternyata kakek iblis ini cukup pemalu.”
Kakek itu menatap Wira dengan ekspresi kebingungan yang nyata. “Apa maksudmu? Aku belum melatihmu, bocah. Aku hanya butuh kayu untuk memasak ikan ini.”
Wira tertawa kecil, mengira kakek sedang bercanda. “Ahahaha! Tua dan pemalu itu nggak cocok untukmu, Kek.”
Kakek menghela napas panjang sambil memutar matanya, lalu menjawab dengan nada tegas, “Dasar bocah. Kalau tidak percaya, terserah.”
Keduanya terdiam sejenak. Wira menatap kakek itu, menunggu tanda bahwa ini hanyalah latihan terselubung. Tapi senyumnya perlahan memudar saat melihat keseriusan di wajah kakek.
“Kau serius, Kek?” tanya Wira, dengan nada agak jengkel.
Kakek menatapnya dengan datar dan mengangguk sekali. “Ya, aku serius.”
“Kau… tidak bercanda?” ulang Wira lagi, merasa tak percaya.
“Sudah kubilang, aku serius.” Kakek itu menjawab dengan singkat dan tegas.
Wira merasa sedikit tertipu dan kesal, menyadari bahwa ia benar-benar hanya disuruh menebang kayu untuk persediaan api unggun kakek. Tanpa berkata apa-apa lagi, Wira berbalik, berjalan pergi dengan langkah cepat, mencoba menghilangkan kekesalannya.
Ia berjalan ke tengah hutan, membiarkan suara burung dan desiran angin meredakan emosinya. Dalam benaknya, ia berpikir keras. Jika ia ingin belajar sesuatu dari kakek yang keras kepala ini, ia harus mencari cara yang lebih baik untuk membuatnya bersedia mengajari. Wira merenung, berpikir tentang cara yang bisa menyentuh kakek di tingkat emosional yang paling dalam, atau setidaknya membuatnya mau mengakui kemampuan Wira.
“Bagaimana caranya aku bisa menarik perhatian orang tua keras kepala ini…” gumam Wira. “Dia mungkin sosok yang keras, tapi pasti ada satu hal yang bisa menyentuhnya.”
Dengan tekad baru, Wira terus berjalan, berpikir tentang cara terbaik untuk menaklukkan hati kakek itu.
Wira berjalan menyusuri hutan sendirian, tanpa membawa apa pun yang bisa membantunya bertahan. Dalam benaknya, ia merasa yakin—atau setidaknya, memasang taruhan besar. Ia terus berjalan hingga menemukan sebuah gua besar dan duduk di mulut gua itu, bersiul dengan santai, seakan menunggu sesuatu yang tak pasti.
Wira duduk lama di sana, mengamati sekitar, sesekali menendang kerikil kecil dan tersenyum sendiri. Beberapa saat kemudian, suasana hutan terasa berbeda. Seekor beruang grizzly besar muncul dari balik semak-semak dan menatap Wira dengan mata yang tajam dan lapar. Tubuh beruang itu jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, dan geramannya terdengar mengancam.
Dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar panik, Wira berteriak, "Tolong!" Suaranya menggema di hutan, namun hanya diiringi oleh langkah berat beruang yang semakin mendekat. Wira bangkit dan mulai berlari sekuat tenaga, napasnya memburu, berpacu dengan naluri bertahan hidup. Sesekali ia menoleh, memastikan beruang itu masih mengejarnya, hingga akhirnya ia terjatuh, tersandung akar pohon besar. Wajahnya terbentur tanah dan sebuah ranting tajam menggores pipinya hingga berdarah.
Beruang itu semakin dekat, geramannya makin nyaring. Wira terbaring di tanah, napasnya tersengal dan dadanya berdegup kencang. Rasa takut mulai menguasai dirinya, dan di dalam hati, ia berpikir, "Apakah aku kalah taruhan?"
Tepat saat beruang itu siap menerkam, sebuah tembakan nyaring menggema di hutan, menghantam kepala beruang itu dengan tepat. Wira menoleh dan melihat sosok si kakek berdiri dengan senapan di tangan, wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun sorot matanya tajam. Kakek itu tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menatap Wira yang berbaring kelelahan di tanah.
Dengan senyum kecil yang samar, Wira terbaring dalam diam, mengatur napasnya yang masih tersengal, sambil merasa puas bahwa taruhan besar ini telah terbayar.
Malam itu, kakek tua duduk di dekat perapian dengan buku di tangannya, menikmati keheningan yang hanya diisi suara api yang berderak lembut. Sesekali, ia menyeruput kopi hitam yang panas, membiarkan kehangatannya menyebar di dalam tubuh. Di seberangnya, Wira duduk memperhatikan dengan seksama, merasakan waktu yang berjalan lambat dalam hening.
Setelah beberapa saat, Wira memecah keheningan. “Tembakanmu lumayan juga, Kek. Presisi dan kuat,” katanya dengan nada kagum yang tersirat.
Kakek itu tetap diam, hanya menyeruput kopi lagi tanpa mengangkat pandangannya dari buku. Dalam hatinya, Wira sedikit gemas menghadapi orang tua yang begitu keras kepala. Namun, di sisi lain, Wira menyadari bahwa di balik sikap dinginnya, kakek ini memiliki rasa tanggung jawab dan perhatian yang besar. Buktinya, ia langsung datang menolong saat Wira dalam bahaya di hutan.
Setelah sejenak berpikir, Wira berkata, “Kek, sungguh, aku perlu kekuatan lebih. Ajari aku.”
Kakek itu menutup bukunya dan menatap Wira dengan sorot mata penuh tanya. “Aku masih ragu untuk mengajarimu, bocah. Kau bilang butuh kekuatan, tapi untuk apa sebenarnya kekuatan itu?”
Wira terdiam, memikirkan jawabannya. Ia menyadari bahwa jika ia mengungkapkan niatnya yang sesungguhnya, untuk menghancurkan Gougorr itu mungkin akan memicu respons negatif dari kakek yang tampaknya sangat memegang prinsip. Wira tahu ia harus lebih berhati-hati. Maka, ia menarik napas dan berkata dengan nada yang tenang namun penuh tekad.
“Mungkin aku bukan orang yang kuat, Kek, tapi aku ingin menjadi manusia. Ruo datang dan merampas identitas kita, mengambil semuanya dari kita. Aku nggak bisa terima itu. Mungkin manusia punya kekurangan, kadang membuat kerusakan, tapi tetap saja ada manusia yang menebarkan kebaikan, yang menciptakan kisah-kisah indah, memainkan melodi yang menawan, dan menjaga senyuman. Semua itu adalah keindahan yang lahir dari perasaan. Mana mungkin aku akan diam saja?”
Kakek itu memandang Wira dengan lebih serius, meski tidak berkata apa-apa.
“Aku ingin menjadi manusia yang bisa menjaga keindahan itu, Kek. Dan untuk menjaganya, aku butuh kekuatan. Ruo mungkin lebih kuat dari manusia, tapi manusia lebih indah, bukan?” Wira berhenti sejenak, lalu menghela napas sambil memasang ekspresi tak berharap. “Tapi, ya, nggak apa-apa kalau kau nggak mau mengajariku, Kek. Aku akan tetap mencari cara agar bisa menjadi lebih kuat, kekuatan untuk menjaga keindahan.”
Selesai berbicara, Wira berbaring di tempatnya, menutup matanya seakan bersiap tidur, tanpa menunggu respons dari kakek itu. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa mungkin kakek akan mengabaikan permintaannya. Tapi kemudian, suara kakek terdengar, memecah keheningan.
“Besok pagi, sebelum matahari terbit, lepas bajumu dan berenanglah di sungai selama satu jam. Akan kulatih kau menjadi prajurit yang tangguh.”
Wira tersenyum kecil, namun tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Dalam hati, ia berkata, “Nice.”
Pagi itu, Wira bangun dan, sesuai perintah kakek, langsung menuju sungai tanpa mengenakan baju. Dingin menusuk tubuhnya, dan matahari bahkan belum muncul di ufuk timur. Dengan gigih, ia menahan rasa dingin yang mematuk tulang dan mulai berenang, menyesuaikan tubuhnya dengan latihan yang ditentukan oleh kakek.
Selesai berenang, kakek sudah menunggunya di tepi sungai dengan sebuah senjata sniper di tangannya. Kakek menyerahkan senjata itu pada Wira dan menyuruhnya untuk mengangkat dan membidik. Wira berusaha mengangkatnya, tapi tubuhnya yang tidak terlalu besar membuatnya sedikit kesulitan menyeimbangkan senjata berat tersebut.
Kakek mengamati Wira sejenak dan berkata, “Seperti dugaanku, senjata ini terlalu besar untuk anak SMP. Ini hanya akan menguras stamina dan tenagamu. Senjata ini jelas nggak cocok untukmu.”
Wira mendengus dan menjawab dengan sinis, “Selain bidikanmu yang tajam, ternyata mulutmu juga tajam, ya, Raja Iblis.”
Kakek hanya mendengus, tapi dalam hatinya ia mulai kebingungan. Melihat Wira yang tidak cocok dengan sniper maupun senjata jarak dekat membuatnya bertanya-tanya apa potensi bocah ini sebenarnya. Maka, ia menanyakan hal lain. “Bocah, saat menghadapi musuh, apa yang biasa kau lakukan?”
“Gampang, aku mengejeknya!” jawab Wira dengan santai.
Kakek menggelengkan kepala, hampir tak percaya. “Kalau begitu, kau salah mencari pengajar namanya.”
“Yah, maksudku aku sengaja mengejek mereka supaya terpancing dan jatuh dalam jebakanku,” tambah Wira dengan senyum tipis.
Kakek terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Wira, dan tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Ia menyeringai kecil, seolah baru saja menemukan metode yang pas untuk anak ini.
“Baiklah,” kata kakek, menepuk bahu Wira dengan penuh keyakinan. “Sepertinya aku tahu latihan yang cocok untukmu. Mulai sekarang, pagi hari kau harus berenang dan melatih fisikmu. Meskipun tubuhmu pendek, kau tetap akan kulatih bela diri dasar. Siang harinya, kau akan masuk ke hutan untuk berburu, dan malamnya, kita akan bicara strategi dan taktik pasukan khusus.”
Wira mengangguk, merasa bahwa ini adalah langkah besar untuknya. Tanpa membuang waktu, ia bersiap menjalani agenda latihan intensif yang telah disusun oleh kakek, menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk memperkuat dirinya dalam segala aspek.