Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
Hari-hari di rumah semakin berwarna bagi Zidan dan Zahra, terutama sejak kehadiran buah hati mereka, Zafran. Kehidupan mereka kini terasa lebih lengkap dan penuh arti. Setiap langkah kecil Zafran, setiap senyum manisnya, dan setiap tangisan malam yang terkadang membangunkan mereka menjadi momen yang tak ternilai harganya. Kehadiran Zafran memberi banyak pelajaran baru bagi mereka, terutama dalam hal merawat anak, yang ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan.
Zahra seorang istri sekaligus ibu muda itu, semakin merasakan peran barunya sebagai seorang ibu. Zafran yang masih bayi, meskipun tidak terlalu banyak membutuhkan perawatan yang rumit, tetap saja membuatnya harus selalu waspada dan siap siaga. Namun, Zahra merasa bersyukur karena Zidan selalu ada untuknya, memberi dukungan dan cinta yang tiada henti.
Suatu malam, setelah Zafran terlelap tidur, Zidan dan Zahra duduk bersama di ruang tamu. Zafran yang biasanya tidur nyenyak kini terbangun beberapa kali di malam hari, membuat Zahra sedikit kelelahan. Zidan menyadari hal itu dan memutuskan untuk berbicara dengan Zahra.
“Sayang, kamu kelihatan capek banget. Zafran semalam begadang, ya?” tanya Zidan sambil meraih tangan Zahra dan mengusap lembut.
Zahra menghela napas, merasa sedikit kelelahan. “Iya, mas. Semalam Zafran bangun berkali-kali, minta susu. Aku jadi nggak bisa tidur nyenyak, dan aku tidak mau mengganggu waktu tidur mas. Mas pasti juga capek seharian mengurus pesantren”
Zidan tersenyum penuh pengertian. “Kamu sudah berusaha yang terbaik, Sayang. Mas tahu merawat anak kecil itu nggak gampang. Tapi kamu nggak sendirian. Mas ada di sini untuk membantu, kok. Jangan sungkan sama suami kamu ini.”
Zahra menatap Zidan dengan penuh rasa terima kasih. “Terimakasih, mas. Aku benar-benar bersyukur punya kamu. Mas selalu tahu bagaimana cara membuat aku merasa tenang.”
Zidan menatap Zahra dengan lembut, memegang tangannya erat. “Kamu luar biasa, Sayang. Kamu ibu yang hebat. Zafran beruntung punya ibu sepertimu.”
Zahra tersenyum malu, namun hatinya terasa hangat mendengar pujian Zidan. Mereka berdua duduk sebentar menikmati kebersamaan dalam keheningan malam. Zafran yang masih tidur di sebelah mereka memberi kedamaian tersendiri. Meskipun mereka kelelahan, kedekatan hati mereka tetap menjadi sumber kekuatan.
Keesokan harinya, Zidan dan Zahra memutuskan untuk berbicara lebih serius mengenai bagaimana merawat Zafran dengan lebih baik. Mereka duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh hangat.
“Sayang, kita harus mulai buat jadwal rutinitas buat Zafran. Aku tahu Zafran masih bayi, tapi mungkin dengan jadwal yang teratur, dia akan merasa lebih nyaman dan kita juga bisa lebih teratur,” saran Zahra.
Zidan mengangguk setuju. “Iya, Sayang. Aku pikir itu ide yang bagus. Kita harus menjaga keseimbangan antara memberi perhatian kepada Zafran dan tetap menjaga waktu untuk diri kita berdua.”
Zahra mengangguk dengan serius. “Aku juga ingin mengajarkan Zafran nilai-nilai yang baik sejak dini, mas. Seperti yang selalu kamu bilang, kita harus menjadi teladan yang baik untuknya.”
Zidan tersenyum. “Kamu benar, Sayang. Kita harus memberikan yang terbaik untuknya. Aku percaya kalau kita saling mendukung, kita bisa melakukan ini dengan baik.”
Mereka pun mulai merancang rutinitas harian untuk Zafran. Salah satu hal yang mereka prioritaskan adalah memberinya perhatian penuh di saat makan dan tidur, serta menjaga waktu bermain yang cukup untuk merangsang perkembangan motorik dan sosialnya. Meskipun Zafran masih bayi, Zidan dan Zahra merasa bahwa memberi stimulasi sejak dini sangat penting.
Zahra memang rutin memberi ASI kepada Zafran, memastikan bahwa dia mendapatkan gizi terbaik. Zidan, yang selalu sibuk dengan pekerjaan di pesantren, juga berusaha meluangkan waktu untuk bermain dengan Zafran, meskipun hanya beberapa menit di setiap kesempatan.
Salah satu kegiatan yang paling dinanti oleh Zidan adalah waktu bermain dengan Zafran. Walaupun Zafran masih sangat kecil, Zidan senang mengajaknya bercanda dan melihat reaksi lucunya. Zahra terkadang mengamati dari kejauhan, merasa tersentuh melihat suaminya begitu penyayang terhadap anak mereka.
Di pagi hari, setelah salat subuh berjamaah, Zidan dan Zahra biasanya duduk di ruang keluarga, mengobrol ringan sambil merawat Zafran yang terbangun. Zahra memberinya susu, sementara Zidan mengusap kepala Zafran dengan lembut. “Kamu pasti jadi anak yang pintar dan baik hati, ya, Nak. Doa Ayah selalu menyertaimu.”
Zafran, dengan mata yang mulai berbinar, menggenggam jari Zidan dengan erat. Zahra tersenyum melihat interaksi antara suami dan anaknya. “Mas, aku benar-benar merasa beruntung punya kamu. Kamu itu Ayah yang hebat, pasti Zafran akan tumbuh menjadi anak yang luar biasa.”
Zidan tersenyum dan memeluk Zahra. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua, Sayang.”
Hari-hari berlalu begitu cepat. Zafran tumbuh semakin besar, dan Zidan serta Zahra semakin belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mereka memutuskan untuk melibatkan keluarga besar dalam proses merawat Zafran, karena mereka tahu bahwa dukungan keluarga sangat penting.
Suatu hari, Ummi Halimah, ibu mertua Zahra, datang berkunjung ke rumah mereka. Ia menyaksikan bagaimana Zidan dan Zahra merawat Zafran dengan penuh perhatian. Zahra tampak sangat telaten memberinya makanan, sedangkan Zidan sibuk mengajak Zafran bermain.
“Masya Allah, kalian berdua luar biasa. Zafran terlihat sangat bahagia,” kata Ummi Halimah sambil tersenyum melihat anak dan menantunya.
Zahra tersenyum malu. “Kami cuma berusaha memberi yang terbaik, Ummi.”
Zidan menambahkan, “Kami masih belajar, Ummi. Ada banyak hal yang harus kami pelajari, tapi kami akan terus berusaha.”
Ummi Halimah memandang keduanya dengan penuh kasih. “Kalian sudah melakukan yang terbaik, dan itu sudah cukup. Jangan pernah ragu untuk meminta bantuan jika membutuhkan sesuatu. Kami selalu ada untuk kalian.”
Kata-kata Ummi Halimah sangat menyentuh hati Zidan dan Zahra. Mereka menyadari bahwa menjadi orang tua bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan seorang diri. Dukungan dari keluarga sangat berarti bagi mereka.
Hari-hari pun berlalu dengan penuh kebahagiaan dan pelajaran berharga. Zidan dan Zahra semakin merasa kuat sebagai pasangan dan orang tua. Mereka menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan, cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewatinya. Adam adalah hadiah terindah dalam hidup mereka, dan mereka akan terus merawatnya dengan penuh kasih sayang, demi masa depan yang cerah.
Dengan cinta yang mereka miliki, Zidan dan Zahra percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Mereka siap menempuh perjalanan hidup ini bersama, membesarkan Zafran dengan penuh kebahagiaan dan harapan.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??