Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Di Bawah Tekanan
Hari itu, suasana kantor terasa berbeda. Langit di luar mendung, seakan menyiratkan sesuatu yang berat akan terjadi. Di ruang kerjanya, Adara sibuk menyelesaikan beberapa tugas yang tertunda. Berkas-berkas yang menumpuk di mejanya menuntut perhatian, namun pikirannya terusik oleh bayangan yang lebih besar—perintah langsung dari Arga Pratama, bos besarnya, yang selalu datang tanpa peringatan.
"Adara, saya butuh laporan perkembangan proyek dalam satu jam," suara tegas Arga dari interkom menyentaknya. Adara, yang sedang sibuk dengan laporan keuangan, terkejut mendengar nada suaranya yang kaku. Tidak ada basa-basi, tidak ada jeda untuk berdiskusi. Semua harus selesai dalam waktu yang nyaris mustahil.
Satu jam? Bagaimana bisa dia menyelesaikan laporan yang rumit dalam waktu secepat itu?
Adara menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa dengan tuntutan tinggi dari Arga. Setiap tugas yang diberikan selalu harus dikerjakan dengan cepat, tepat, dan tanpa kesalahan. Namun, kali ini rasanya beban yang dipikulnya terlalu berat. Setiap kali dia merasa sudah memenuhi harapan, Arga selalu menambahkan satu lagi tanggung jawab baru yang membuatnya merasa tercekik. Dia bekerja keras untuk menjaga reputasi dan posisinya, tapi sering kali, tekanan itu membuatnya merasa nyaris tak bernafas.
Waktu terus berjalan, dan detik-detik terasa semakin menyesakkan. Adara melirik jam dinding, hanya tersisa 45 menit. Di layar komputernya, tabel-tabel statistik proyek masih setengah selesai. Matanya mulai terasa panas, tapi dia tahu, tidak ada waktu untuk mengeluh atau berhenti. Dia mengumpulkan seluruh energinya, berusaha fokus.
Namun, semakin dia mencoba berkonsentrasi, semakin pikirannya melayang ke arah sosok Arga. Pria itu memang luar biasa cerdas dan kompeten, tetapi karismanya yang memikat sering kali berubah menjadi momok yang menakutkan. Adara sudah menyaksikan beberapa rekan kerjanya menyerah di bawah tekanan Arga yang tanpa kompromi. Tapi dia tak ingin menjadi salah satu dari mereka.
“Adara, kamu bisa melakukan ini. Fokus,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan kegugupannya. Tangan-tangannya kembali mengetik dengan cepat, berusaha mengejar waktu.
Setelah 30 menit berlalu, Adara sudah menyelesaikan sebagian besar laporannya, tetapi masih ada beberapa poin penting yang perlu diverifikasi ulang. Ketika dia mengalihkan pandangannya ke dokumen pendukung yang tergeletak di meja, jantungnya berdegup kencang. Ada satu data yang hilang. Tidak mungkin! Data tersebut sangat krusial untuk analisis akhir. Tanpa itu, laporannya akan cacat dan bisa menimbulkan masalah besar dalam pengambilan keputusan proyek.
Tangan Adara gemetar saat dia mulai mencari dokumen yang hilang. Dia membolak-balik berkas-berkas di mejanya dengan panik, tapi data tersebut tidak ditemukan. "Tidak mungkin," bisiknya dengan panik. Bagaimana bisa ini terjadi? Padahal tadi pagi dia yakin semua dokumen sudah lengkap.
Waktu terus berlalu. Tersisa 15 menit, dan belum ada tanda-tanda data yang hilang itu muncul. Kegugupan di hatinya semakin memuncak. Jika laporan ini terlambat atau tidak sempurna, reputasinya akan hancur. Apalagi, Arga terkenal dengan ketidaksabarannya terhadap kesalahan sekecil apa pun.
Merasa tidak ada jalan keluar, Adara memutuskan untuk mendatangi ruangan Arga. Ia tahu bahwa ini adalah pilihan berisiko, mengingat bagaimana Arga bereaksi terhadap gangguan di tengah jam sibuknya, tapi dia juga tidak punya pilihan lain. Lebih baik jujur daripada mencoba menyelesaikan laporan dengan data yang tidak lengkap, pikirnya.
Dengan langkah cepat namun ragu, Adara menuju ke ruangan Arga. Pintu ruangannya tertutup rapat, seperti biasa. Dia berdiri di depan pintu itu selama beberapa detik, mencoba mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya mengetuk pelan.
“Masuk,” jawab suara berat dari dalam. Suaranya terdengar tenang, tapi ada ketegangan tersembunyi di baliknya.
Adara membuka pintu dengan hati-hati. Arga sedang duduk di balik meja besar dengan laptop di depannya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Ada apa?" tanyanya singkat, tanpa melihat ke arah Adara.
Adara merasa tenggorokannya mengering. “Pak Arga, saya sedang menyelesaikan laporan proyek, tapi ada satu data yang hilang. Saya butuh waktu tambahan untuk mencari datanya atau mungkin Anda memiliki salinan cadangannya.”
Baru kali ini Arga mendongak. Tatapannya tajam, seolah-olah dia sedang menilai seberapa besar kesalahan yang telah terjadi. "Data apa yang hilang?" tanyanya dengan nada yang mulai terdengar tidak sabar.
“Data perkembangan terakhir dari subkontraktor untuk proyek cabang Surabaya,” jawab Adara dengan suara bergetar.
Arga menghela napas panjang, jelas kecewa. Dia berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan menuju jendela besar di ruangannya. "Adara, saya sudah menekankan berulang kali bahwa setiap laporan harus lengkap dan tepat waktu. Tidak ada ruang untuk kesalahan."
“Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana data itu bisa hilang. Saya sudah memeriksa semuanya pagi ini,” jawab Adara dengan suara pelan, mencoba membela diri, meski dia tahu bahwa Arga tidak menyukai alasan.
Arga diam sejenak, lalu berbalik menghadap Adara. "Apakah kamu yakin data itu hilang, atau kamu hanya panik karena tekanan?"
Pertanyaan itu menusuk Adara. Dia memang sedang berada di bawah tekanan besar, tapi dia tahu ada sesuatu yang salah. Data tersebut memang benar-benar hilang. Namun, ucapan Arga seolah-olah menyiratkan bahwa dia tidak cukup kompeten untuk menangani situasi seperti ini.
"Saya yakin, Pak. Saya akan mencarinya lagi. Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa laporan ini mungkin akan terlambat sedikit, tapi saya akan segera menyelesaikannya begitu datanya ditemukan."
Arga mendekati mejanya, meletakkan tangannya di atas meja dengan tegas. "Adara, saya memercayakan tugas ini padamu karena saya yakin kamu mampu. Tapi jika kamu gagal kali ini, saya akan mempertimbangkan ulang kepercayaan itu."
Kata-kata Arga terasa seperti palu yang menghantam keras di kepala Adara. Dia berusaha tetap tegar di hadapan bosnya, meskipun perutnya terasa mual. "Saya mengerti, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda," jawabnya, berusaha terdengar kuat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arga kembali duduk di kursinya dan melanjutkan pekerjaannya, seolah percakapan barusan tidak pernah terjadi. Adara pun tahu, itu adalah sinyal bahwa dia harus segera pergi.
Dengan langkah berat, Adara kembali ke mejanya. Dia merasa terbebani lebih dari sebelumnya, tetapi juga tahu bahwa tidak ada waktu untuk merasa kasihan pada diri sendiri. Dia harus segera menemukan data yang hilang dan menyelesaikan laporan tersebut, apa pun yang terjadi.
Setelah beberapa saat, dia akhirnya menemukan data tersebut terselip di antara tumpukan dokumen lain yang tidak terorganisir. Dengan rasa lega bercampur amarah pada dirinya sendiri, Adara langsung melanjutkan pekerjaannya. Dia tahu, kesalahan kecil seperti ini tidak boleh terjadi lagi.
Waktu berjalan cepat, dan tepat di menit terakhir, Adara berhasil menyelesaikan laporan tersebut. Dia mengirimkannya ke email Arga, lalu duduk kembali dengan napas tertahan. Tekanan hari ini membuatnya merasa nyaris hancur, tapi dia tahu ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar di masa depan.
Arga mungkin tidak akan memuji, bahkan mungkin tidak akan mengakui usahanya. Tapi bagi Adara, yang terpenting adalah dia mampu bertahan. Untuk hari ini, setidaknya.