Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Ingin berbalik pun rasanya percuma karena kedatangan mereka disadari oleh orang-orang di sana. Yang Ara lakukan hanyalah berdoa pada Tuhan, meminta perlindungan-Nya. Ara tak mau sakit hati karena ucapan keluarga Gevan lagi.
"Gevan, ayo sini-sini. Dia calon istri kamu, kan?" celetuk tantenya Gevan.
Gevan mengangguk, dia menoleh ke belakang, menyuruh Ara menampakkan diri, karena sedari tadi gadis itu bersembunyi di belakang punggungnya.
Karena tak ingin semakin malu, Ara pun menampakkan dirinya dan menunduk untuk menyapa semua orang.
"Aduh, aduh, sopannya..." ucap bibinya Gevan yang tadi menyapa. Namanya Tya. Tante Tya.
Gevan mengajak Ara duduk di kursi yang kosong. Mereka duduk bersebelahan, di samping Ara ada seorang gadis yang sepertinya sudah kuliah.
"Terimakasih sudah datang," ucap Kakek pada Ara.
Ara tersenyum canggung. "Sama-sama, Kek," jawabnya.
Mom Bella mendengus tak suka.
Di sana ada paman dan bibi Gevan, juga sepupunya. Sangat banyak, kursi yang ada di meja makan bahkan terisi penuh dan tak tersisa.
Ara merasa kecil berada di keluarga besar tersebut. Meskipun ada Gevan di sampingnya, tak membuat hati Ara tenang. Terlebih dia menyadari sepasang mata yang menatapnya tak suka.
"Sebelum makan malam di mulai. Gevan mau memperkenalkan calon istrinya. Dan mereka akan bertunangan lusa," ucap Kakek membuat semua orang diam menyimak.
Pria tua itu menatap ke arah cucunya agar memperkenalkan Ara.
"Perkenalkan dia calon istriku, namanya Arabella. Aku harap kalian semua bisa menerimanya dengan baik, tanpa terpaksa," ucap Gevan begitu lantang, namun raut wajahnya tetap datar.
Di bawah meja, tangannya menggenggam erat tangan Ara yang gemetar dan dingin.
Ara tersenyum kepada semua orang. Senyum yang terkesan canggung dan ragu. Berada di situasi ini, membuat Ara takut, takut terkena panik yang berlebihan.
Semuanya kecuali Mom Bella membalas senyuman Ara. Dan hal itu membuat hati Ara sedikit tenang. Setidaknya ada yang lain jika Mom Bella tak menyukainya.
"Kok gak langsung nikah aja, sih? Padahal cocok!" ucap gadis yang duduk di samping Ara, hingga membuat Ara menoleh ke arahnya.
"Semuanya butuh proses. Setelah mereka bertunangan, Kakek akan langsung mencari tanggal untuk pernikahan mereka," sahut Kakek.
"Nah, bagus, Kek! Aku setuju!" ucap gadis tadi. Namanya Tari. Gadis yang baru saja memasuki jenjang perkuliahan. Beda satu tahun dengan Ara.
"Kita doakan hubungan Gevan dan Ara langgeng, ya," ucap Kakek sambil tersenyum. Semuanya mengangguk, terkecuali Mom Bella tentunya.
"Kalau begitu, ayo kita mulai makan malamnya. Ara, jangan sungkan dengan kami, ya," ucap Kakek.
Ara mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Kek. Terimakasih," katanya.
Semua orang mengambil piringnya masing-masing dan mulai mengisinya dengan lauk pauk. Ara hanya diam saja. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Sedangkan Gevan langsung bergerak mengambilkan makanan untuk sang calon istri. Dia paham dengan perasaan Ara, pasti gadis itu canggung dan tak terbiasa. Terlebih, Ara tidak pernah makan bersama banyak orang di meja makan seperti sekarang ini.
"Mau rendang?" bisik Gevan di telinga Ara membuat si gadis sedikit tersentak.
Ara mengangguk saja. Dan memperhatikan Gevan yang mengambilkan makanan untuknya.
"Mengambil makan sendiri saja tidak bisa," gumam Mom Bella, namun Abel masih bisa mendengarkannya karena jarak duduk mereka tidak jauh. Begitupun Gevan.
Ara yang merasa tersindir pun segera bergerak mengambil piring milik Gevan dan mengisinya dengan makanan.
"Kak Gevan mau ini?" tawar Ara sambil menunjuk sop ayam membuat semua orang di sana menatapnya.
Apa yang salah? Pikir Ara.
"Boleh," jawab Gevan. Dia meletakkan piring Ara di depan gadis itu, dan membiarkan Ara mengambilkan makanan untuknya.
Jadi, mereka seperti timbal balik. Gevan mengambilkan makanan untuk Ara dan Ara mengambilkan makanan untuk Gevan.
Bibir Mom Bella mencebik melihat interaksi keduanya. Berbeda dengan yang lain malah tersenyum. Termasuk Dad Vilton yang juga ikut tersenyum, meskipun hanya senyum tipis, tapi dia bersyukur karena sikap anaknya ada perubahan.
Ara selesai mengambilkan makanan untuk Gevan, dia meletakkan piring tersebut di hadapan pria itu. Selesai semuanya, mereka pun menikmati makanan yang ada. Kadang-kadang ada obrolan kecil juga agar tidak terlalu sepi.
Hingga beberapa menit kemudian, semuanya sudah selesai makan malam. Dan kini mereka berkumpul di ruang keluarga. Hanya sekedar berkumpul saja. Tari langsung duduk di sebelah Ara untuk mengakrabkan diri.
"Kamu masih sekolah?" tanya Tari penasaran.
Ara mengangguk. Dia rasa, Tari tidak terlalu kaku dan mudah bergaul.
"Masih, Kak," jawab Ara.
"Oh ya? Kelas berapa?" tanya Tari lagi.
"Kelas 12."
"Ohhh... Bentar lagi lulus, dong? Kamu nanti kuliah, gak? Kalau kuliah, mau di universitas mana?"
Ara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bahkan dia tak memikirkan hal itu. Karena hidup Ara hanyalah tentang kebebasan, dia tak berpikir ingin kuliah atau tidak.
"B-belum tau, Kak," jawab Ara sekenanya.
Tari mengangguk paham. Sudah biasa jika ada orang yang belum memikirkan kuliah meskipun sudah hampir lulus SMA. Tari bisa memakluminya.
"By the way, jangan panggil aku 'Kak' ya. Panggil nama aja. Namaku Tari," ucap Tari.
Ara mengangguk paham. "Iya, Tari."
Senyum Tari semakin lebar. Jika seperti ini, hubungan mereka akan semakin dekat, mungkin bisa menjadi bestie.
"Aku minta nomor kamu, dong," ucap Tari, dia menyodorkan ponselnya menyuruh Ara untuk mencatat nomornya di sana.
Dengan senang hati Ara menerimanya. Selama ini dia tidak punya teman akrab, jadi Ara dengan senang hati menerima Tari.
"Makasih. Mulai sekarang kita teman. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku, oke?" ucap Tari.
Ara mengangguk cepat. Dia membalas senyuman Tari.
"Ngomong-ngomong, kamu masuk jurusan apa?" tanya Ara penasaran. Siapa tau dia tertarik mengambil jurusan yang sama dengan Tari. Itupun kalau dia kuliah.
"Psikologi," jawab Tari. Senyumnya tak luntur sedikitpun.
Mendengar jawaban itu, senyum lebar Ara perlahan luntur. Namun, dia tetap tersenyum meskipun terlihat gugup.
"Wow, hebat. Semoga kamu bisa jadi psikolog beneran suatu saat nanti," ucap Ara.
"Makasih, Ara," ucap Tari.
Interaksi keduanya tak luput dari penglihatan Gevan. Pria itu berkumpul dengan Daddy, Kakek serta para omnya. Entahlah, Gevan merasa, segala pergerakan Ara harus dalam pengawasannya.
"Gevan, kamu sudah dapat restu dari orang tuanya, Ara?" tanya Kakek.
"Aku masih berusaha menghubungi beliau," jawab Gevan.
Kakek mengangguk paham. "Lebih cepat lebih baik, Gevan. Semoga kamu mendapatkan restunya," ujar Kakek. Gevan menganggukkan kepalanya.
"Apa gadis itu tinggal sendirian?" tanya Dad Vilton tiba-tiba.
Gevan menatap sang Daddy agak lama sebelum menganggukkan kepalanya. Tentu dia tau koneksi Dad Vilton lebih besar dari pada dirinya.
Jadi, bisa dipastikan bahwa Dad Vilton lebih tau tentang Ara dibandingkan Gevan sendiri.
***
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘