Mengisahkan hubungan percintaan antara Amira dengan pengusaha terkenal bernama Romeo
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mike Killah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Amira
Amira tiba di Jakarta dengan perasaan campur aduk. Rasa sedih masih menyelimuti hatinya, tetapi ada juga rasa lega karena bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga.
Dia langsung naik bus menuju rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Saat sampai di depan rumah, Amira tak melihat seorang pun. Rumah itu sepi. Dia memanggil Kak Melissa, "Kak Melissa, Kak...," tetapi tak ada jawaban.
Tiba-tiba, Mak Siti, tetangganya, memanggil Amira. "Amira, nak...," sapa Mak Siti.
Amira mendekat dan bertanya, "Mak Siti, Kak Melissa dan semua orang mana? Kok gak ada di rumah?"
Mak Siti menghela napas, matanya berkaca-kaca. "Amira, semua orang sedang di tanah perkuburan sekarang. Mereka sedang mengebumikan ayahmu." Mak Siti memeluk Amira erat. "Kamu perlu sabar ya, Amira."
"Kenapa mereka gak tunggu aku?" tanya Amira, suaranya bergetar. "Aku gak sempat melihat muka ayahku untuk terakhir kalinya."
Mak Siti hanya menggelengkan kepala, tak tahu harus berkata apa.
Mak Siti mengantar Amira ke tanah perkuburan. Di sana, Amira melihat banyak orang sedang mendoakan ayahnya yang sedang dikebumikan. Amira langsung berlari ke sana. Semua orang terkejut melihat Amira datang.
"Amira...!" bisik Melissa, matanya berkaca-kaca.
Amira langsung merebahkan badannya ke tanah perkuburan ayahnya, menggenggam tanah erat-erat. Tanah itu telah dibaling Amira ke tepi karena dia tak percaya ayahnya telah meninggal.
"Ayah...ayah...kenapa ayah tinggalkan aku...aku tak boleh hidup tanpa ayah...duniaku gelap tanpa ayah," teriak Amira, suaranya bercampur isak tangis.
Mak Sarah, ibu tiri Amira, bermonolog dalam hati, "Aku harus menunjukkan kepada orang ramai bahwa aku prihatin terhadap Amira."
Sebenarnya, Mak Sarah menyimpan rahasia buruk. Dia lah yang menyebabkan kematian ayah Amira.
Mak Sarah teringat kembali kejadian itu. Saat Melissa dan semua orang tak ada di rumah, Mak Sarah bertengkar dengan ayah Amira. Ayah Amira ingin menyerahkan semua harta warisan kepada Amira jika dia meninggal. Mak Sarah marah dan tak sengaja mendorong ayah Amira hingga jatuh dari tangga. Ayah Amira pun meninggal.
Mak Sarah memberi alasan kepada semua orang bahwa suaminya meninggal jatuh sendiri.
Di tanah perkuburan, Mak Sarah ketakutan dan trauma. Dia telah menjadi pembunuh. Dia takut kebusukannya itu diketahui dan dia tak mau mengdekam di penjara seumur hidup.
Mak Sarah mencoba menenangkan Amira. "Amira, sayang...ayahmu sudah tenang di sana. Kamu harus kuat. Ayahmu pasti bahagia melihat kamu kuat."
Amira menatap Mak Sarah dengan pandangan curiga. "Mak Sarah, kenapa kamu gak bilang kalau ayah meninggal?" tanya Amira, suaranya bergetar.
Mak Sarah mengelus rambut Amira. "Amira, aku takut kamu pingsan kalau tahu ayahmu meninggal. Aku ingin kamu datang dengan tenang."
Amira terdiam, tak yakin dengan penjelasan Mak Sarah. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh Mak Sarah.
Suami Melissa, Roy, baru saja tiba di perkuburan. Dia terkejut melihat Amira di sana. Amira tak melihat Roy. Roy teringat kembali bahwa Amira adalah pacar gelapnya selama di Kuala Lumpur. Amira tak tahu bahwa Roy adalah suami adik tirinya, Melissa. Selama ini, Melissa bersama suami dan anak-anaknya tinggal di London.
"Tak...tak..." gumam Roy dalam hatinya, wajahnya pucat pasi.
Roy berlari secepat kilat meninggalkan perkuburan, jantungnya berdebar kencang. Dia tak ingin Amira melihatnya lebih lama lagi, takut rahasia hubungan mereka terbongkar.
Di mobil, Melissa menoleh ke arah suaminya dan bercakap dengan suaminya di tepi kereta, "Mas, kamu ke mana? Kok buru-buru banget?"
Roy berusaha bersikap tenang. "Aku ada urusan di kaunter, sayang. Nggak lama kok."
Melissa mengerutkan kening. "Kaunter? Kaunter apa? Kok kamu nggak bilang dari tadi?"
Roy menghela napas. "Urusan penting, sayang. Nanti aku ceritain ya."
Melissa masih merasa curiga, tetapi dia tak mau memaksa Roy. Dia hanya mengangguk dan kembali fokus ke jalan.
Semua orang bersiap-siap untuk meninggalkan perkuburan. Hanya Melissa dan Amira yang masih tertinggal di sana. Aliya, anak sulung Melissa, menarik tangan ibunya. "Mak, kita pulang yuk. Nenek udah nunggu di mobil."
Melissa tersenyum dan mengelus kepala Aliya. "Kamu pulang dulu sama nenek ya, sayang. Mama mau ngobrol sebentar sama Amira."
Aliya mengangguk dan berlari menuju mobil bersama Mak Sarah.
Amira masih terdukung di samping pusara ayahnya, merasakan kesedihan yang mendalam. Melissa, dengan hati yang penuh kasih, duduk di sebelahnya.
"Amira, kamu harus kuat. Ayah pasti ingin kamu tegar menghadapi ini," ujarnya lembut, suaranya bergetar tetapi penuh pengertian.
Melissa memang selalu menjadi adik yang baik untuk Amira, meskipun mereka tidak memiliki ibu yang sama. Mereka berbagi satu ayah yang mencintai mereka tanpa syarat.
"Kita mungkin berbeda ibu, tapi kita sama ayah. Ayah kita selalu bangga pada kamu, Amira," tambah Melissa, berusaha menguatkan semangat adiknya.
Amira mengangguk, tetapi air mata terus mengalir. "Kak, aku merasa sangat kehilangan. Rasanya seperti dunia ini gelap tanpa ayah," ucap Amira, suaranya penuh kesedihan.
Melissa merangkul Amira, memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan. "Aku tahu, Amira. Tapi kita harus saling mendukung. Kita masih punya satu sama lain," katanya, matanya penuh empati.
Di sudut lain, Daniel dan Winda, anak-anak Mak Sarah dari pernikahan sebelumnya, mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan Amira dan Melissa, tetapi mereka merasakan kesedihan yang sama. Hanya Melissa yang benar-benar berbagi ikatan dengan Amira, dan mereka berdua saling memahami perasaan satu sama lain.
"Amira, kamu tidak sendirian. Kita semua di sini untuk kamu," kata Melissa lagi, berusaha menenangkan Amira lagi.
Amira mengusap air matanya dan menatap pusara ayahnya. "Aku ingin ayah tahu betapa aku mencintainya. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik, seperti yang dia inginkan."
"Ya, Amira. Ayah selalu ada di dalam hatimu. Jangan lupa kenangan indah bersama dia," jawab Melissa, sambil menggenggam tangan Amira erat.
Amira menunduk, air matanya kembali mengalir. "Kak, aku kangen ayah."
Melissa memeluk erat adik tirinya itu. "Aku juga, Amira. Tapi kita harus kuat. Ayah pasti selalu ada di hati kita."
Amira terdiam, matanya menatap pusara ayahnya. Dia merasa sangat kehilangan.
"Kak, kamu pulang aja dulu. Kamu lagi hamil 3 bulan. Aku takut kamu kecapekan," kata Amira.
Melissa mengangguk. "Iya, Amira. Nanti kamu pun balik rumah ya. Kamu jangan sedih terus ya."
Melissa berpamitan dan pergi meninggalkan Amira.
Setelah 30 menit, Amira masih terduduk di samping pusara ayahnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir.
Di kejauhan, seorang lelaki bernama Romeo, seorang lelaki asing, sedang menziarahi makam ibunya. Dia melihat Amira menangis dari kejauhan.
Tiba-tiba, hujan turun dengan lebat. Amira tak peduli, badannya basah kuyup. Dunianya sudah hancur, hujan tak berarti apa-apa baginya.
Romeo melihat Amira yang terduduk di bawah guyuran hujan. Dia langsung membuka payungnya dan berlari ke arah Amira.
"Maaf, Mbak. Hujan ini sangat deras. Silahkan pakai payung ini," kata Romeo, menawarkan payungnya kepada Amira.
Amira tertegun. Dia menatap Romeo dengan pandangan sedih dan heran.
"Hari ini hujan, dan kamu harus pulang," kata Romeo, matanya menatap Amira dengan penuh perhatian.
Amira terdiam, hatinya sedikit tersentuh oleh perhatian Romeo.
Di rumah Mak Sarah, suasana berbeda terpancar. Daniel dan Winda, dengan senyum licik, bersorak-sorak di belakang rumah. Mereka sengaja bersembunyi agar Aliya dan Benny(Anak Melissa), cucu-cucu Mak Sarah, tidak mendengar percakapan mereka.
"Ayah Amira sudah tiada, lepas ni tanah warisan dia di kampung akan kita jual!" ujar Daniel, matanya berbinar-binar.
"Betul tu, Daniel. Ayah Amira memang bodoh, nak lagi hidup miskin. Kenapa dia tak nak jual tanah tu selama masih hidup? Kalau jual, pasti kita kaya raya!" timpal Mak Sarah, nada suaranya penuh keserakahan.
Winda pun mengangguk setuju, "Iya, Mak. Kita jual tanah itu, pasti hidup kita akan lebih senang."
Daniel, yang selalu cerdik, bertanya dengan penuh curiga, "Tapi Mak, macam mana kalau tanah tersebut akan diberikan oleh mendiang ayah ke nama Amira. Macam mana kita nak jual?"
Mak Sarah tersenyum sinis, "Kamu berdua jangan risau. Tunggu saja nanti."
Flashbacn memori Mak Sarah muncul. Setelah Ayah Amira meninggal dunia akibat jatuh dari tangga, Mak Sarah dengan licik langsung mengganti nama kepemilikan tanah warisan tersebut ke nama Daniel. Dia yakin Amira yang masih muda dan naif tidak akan menyadari hal itu.
Di perkuburan, Romeo masih setia menemani Amira. Hujan semakin lebat. Melissa yang khawatir, langsung berputar balik dengan mobilnya. "Amira berteriak, kak balik jom. Hari hujan," ujar Melissa, sambil turun dari mobil dan mengulurkan payungnya ke arah Amira.
Melissa melihat heran kepada lelaki asing yang sedang memakaikan payung kepada Amira.
Romeo tersenyum ramah, "Namaku Romeo. Aku tadi menziarahi kubur makku di sana. Terlihat perempuan ini tak berpayung, jadi aku payungkan dia."ujar Romeo kepada Melissa
Melissa tersenyum, "Terima kasih, Romeo. Ini adik saya, Amira. Kami baru saja kehilangan ayah."
Romeo mengangguk, "Oh, ya. Saya ucapkan takziah."
Amira dan Melissa pun berpamitan kepada Romeo dan beranjak meninggalkan perkuburan. Di dalam mobil, Amira masih memikirkan Romeo.
"Kak, Romeo baik ya. Dia mau repot-repot payungkan aku," ucap Amira dengan nada heran.
"Iya, Amira. Dia orang baik. Tapi kita harus hati-hati, ya. Jangan terlalu cepat percaya orang," jawab Melissa, sambil mengelus rambut Amira.
Di perjalanan pulang, Amira terus memikirkan kejadian di perkuburan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Mak Sarah. Kenapa Mak Sarah macam begitu gembira dengan kematian ayahnya?
................
Amira dan Melissa akhirnya sampai di rumah, suasana sepi menyelimuti kediaman mereka.
Melissa memandang Amira dengan penuh perhatian. "Amira, kamu perlu rehat. Pergilah ke kamar dan tenangkan diri," ujarnya lembut, berusaha menjaga perasaan adiknya.
Setelah Amira masuk ke kamarnya, Melissa mengambil ponselnya. Suaminya, Roy, menelefon. "Sayang, kamu di rumah kan? Amira ada bersama?" tanya Roy di ujung telepon.
Melissa sedikit merasa aneh. "Ya, Amira ada di sini. Kenapa, Mas? Kamu tak balik ke rumah ke?"
Roy terdengar ragu. "Esok kita perlu pindah ke Bandung. Kamu dan anak-anak harus ikut aku," jawabnya singkat.
Melissa terkejut. "Pindah? Kenapa?"
"Jangan banyak tanya. Nanti aku jelasin," Roy mematikan telepon tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Roy mahu mereka pindah sebab dia tak mahu hubungan gelap silam bersama Amira akan terbongkar.
Melissa mengerutkan kening, perasaan tidak enak mulai menyelimuti hatinya. Dia memikirkan alasan di balik keputusan mendadak itu. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Roy.
Di kamar, Amira merasakan kesedihan yang mendalam. Dia berbaring di tempat tidurnya, berusaha menenangkan pikiran. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu adalah Mirna, sahabatnya dari Kuala Lumpur.
"Amira! Aku baru dapat berita buruk. Kamu dipecat dari kerja!" suara Mirna terdengar sedih di telepon.
Amira terdiam sejenak. "Iya, Mirna. Aku tahu. Mereka bilang aku tidak memberi pamitan," jawabnya, berusaha terdengar tenang.
"Tapi tak apa. Aku sudah malas mau bekerja di sana lagi."
Mirna menghela napas. "Tapi Amira, kamu tidak bisa begitu. Ini semua sangat berat. Apa kamu baik-baik saja?"
Amira mengangguk meskipun Mirna tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja, Mirna. Aku di sini bersama Kak Melissa. Kami akan cari jalan keluar."
Setelah menutup telepon, Amira merasa campur aduk. Kehilangan pekerjaan dan kematian ayahnya membuat hidupnya terasa goyah. Namun, dia bertekad untuk tetap kuat dan mencari cara untuk melanjutkan hidup.
Dalam pikirannya, dia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Dia tidak ingin terjebak dalam kesedihan dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan kebahagiaan baru, meskipun semua tampak gelap. Amira mahu cari kerja di Jakarta sahaja mulai sekarang.
Bersambung