Setelah mati secara tiba-tiba, Kazuma Hiroshi, seorang programmer jenius, terlahir kembali di dunia lain sebagai seorang World Breaker, kelas terkuat dengan kekuatan yang tak terbatas. Dilengkapi dengan kemampuan manipulasi mana dan sistem yang bisa ia kendalikan layaknya sebuah game, Kazuma segera menyadari bahwa kekuatannya tidak hanya luar biasa, tetapi juga berbahaya. Dalam dunia penuh monster, sihir, dan ancaman dari Reincarnator lain, Kazuma harus belajar memanfaatkan kekuatannya dengan bijak dan menghadapi musuh yang mengincar kehancuran dunia barunya. Petualangan epik ini menguji batas kekuatan, strategi, dan kemanusiaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Pengejaran Tak Terelakkan
Langkah Kazuma dan Sylvia berpacu dengan waktu. Mereka menembus pepohonan lebat di hutan yang menyelimuti desa, sementara suara gemuruh pertempuran semakin menjauh di belakang mereka. Cahaya matahari yang terpecah oleh dedaunan di atas memberikan sedikit panduan, tetapi hati Kazuma masih dipenuhi kegelisahan. Mereka tahu Penjaga Keseimbangan tidak akan berhenti hanya di desa itu. Cepat atau lambat, mereka akan mengejar.
“Kita harus menemukan tempat persembunyian yang lebih aman,” desis Sylvia sambil terus berlari di samping Kazuma. “Penjaga Keseimbangan akan menggunakan setiap sumber daya yang mereka miliki untuk menemukan kita.”
Kazuma mengangguk meski napasnya mulai terengah-engah. Tenaga yang dia keluarkan untuk mantra pemusnahan sebelumnya masih menyisakan dampak, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Ada ide ke mana kita harus pergi?” tanya Kazuma.
“Ya,” jawab Sylvia dengan tegas. “Ada sebuah kuil kuno di pegunungan utara, jauh dari jangkauan mereka. Di sana, kita bisa berlindung dan belajar lebih banyak tentang Kitab Reinkarnasi. Aku pernah mendengar bahwa kuil itu menyimpan rahasia penting yang bisa membantumu menguasai kekuatanmu.”
Kazuma merasakan secercah harapan meskipun tubuhnya lelah. “Berapa jauh tempat itu dari sini?”
“Beberapa hari perjalanan,” jawab Sylvia tanpa ragu. “Kita harus berhati-hati, tetapi aku tahu jalan pintas yang bisa mempercepat perjalanan kita.”
Kazuma menghentikan langkahnya sesaat, menarik napas panjang. “Baiklah. Kita akan pergi ke kuil itu.” Dia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Desa Rahn telah menjadi titik bahaya, dan satu-satunya jalan keluar adalah terus bergerak ke depan.
Namun, saat mereka melanjutkan perjalanan, Kazuma mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Dia merasa diawasi—bukan oleh Sylvia atau lingkungan di sekitarnya, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Naluri tajam yang mulai terbentuk sejak dia bereinkarnasi di dunia ini membuatnya sadar akan setiap pergerakan kecil di hutan.
“Kita sedang diawasi,” bisik Kazuma, melirik sekeliling dengan waspada.
Sylvia memperlambat langkahnya, matanya tajam menatap pepohonan di sekitar. “Kau benar. Mereka sudah menemukannya.”
Belum sempat Kazuma bertanya siapa "mereka", sekelompok bayangan bergerak cepat di antara pepohonan. Mereka berpakaian hitam, dengan topeng yang menyembunyikan wajah mereka. Mereka adalah pemburu dari Penjaga Keseimbangan—gerakan mereka senyap, tetapi Kazuma bisa merasakan niat jahat di balik langkah-langkah mereka.
“Kita harus melawan atau mereka akan mengejar kita tanpa henti!” seru Kazuma, menarik Kitab Reinkarnasi dari dalam jubahnya. Meskipun tubuhnya lelah, dia tahu dia tidak bisa berhenti sekarang.
Sylvia mengangguk cepat. “Aku akan menghadang mereka. Kau fokuskan energimu pada Kitab itu!”
Tanpa ragu, Sylvia melompat ke depan, pedangnya berkilau tajam di bawah cahaya matahari. Dengan gerakan yang lincah dan penuh ketepatan, dia mulai menyerang para pemburu dengan kecepatan luar biasa. Setiap gerakan pedangnya memotong udara dengan suara desing yang mematikan.
Kazuma, di sisi lain, membuka Kitab Reinkarnasi dan mulai mengumpulkan energi magis. Dia tahu mantra besar seperti yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dalam keadaan tubuhnya saat ini, tetapi dia bisa menggunakan sihir pertahanan untuk memperlambat gerakan musuh.
“Cahaya pelindung, wujudkan bentengmu!” seru Kazuma. Sebuah perisai energi berbentuk kubah muncul di sekeliling mereka, memantulkan setiap serangan yang diluncurkan oleh para pemburu. Meski tidak sekuat mantra pemusnahan, ini cukup untuk memberi mereka waktu.
Namun, para pemburu tidak menyerah. Dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa, mereka mulai menyerang perisai Kazuma dengan lebih ganas, berusaha meretakkan lapisan pelindung yang dia buat. Serangan demi serangan terus menghantam, dan Kazuma bisa merasakan energi perisai mulai melemah.
“Tidak akan bertahan lama!” Kazuma berteriak, mengerahkan seluruh tenaganya untuk memperkuat perisai.
Sylvia, yang sibuk bertarung dengan dua pemburu di depannya, berbalik dan memberikan pandangan cepat ke arah Kazuma. “Kita harus kabur sekarang! Perisai itu hanya akan menarik lebih banyak perhatian mereka.”
Kazuma tahu dia benar. Dengan satu gerakan cepat, dia menarik kembali energinya, membiarkan perisai runtuh. Sylvia segera menembus barisan musuh dengan pedangnya, membuka jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Mereka berlari secepat mungkin, melintasi medan berbatu dan akar pohon yang menyebar di tanah, berusaha menghilangkan jejak mereka.
Kazuma merasakan tubuhnya semakin berat, setiap langkah menjadi lebih sulit, tapi dia tidak bisa menyerah. Dia memaksakan dirinya untuk tetap berlari, menahan rasa sakit di otot-ototnya. Mereka harus mencapai kuil sebelum musuh menemukan mereka lagi.
Setelah berjam-jam berlari tanpa henti, akhirnya mereka tiba di sebuah jurang curam dengan jembatan kayu tua yang terbentang di atasnya. Di seberang, jalan setapak menuju pegunungan yang lebih tinggi terlihat, menandakan bahwa tujuan mereka sudah semakin dekat.
“Kita hampir sampai,” kata Sylvia dengan napas terengah-engah. “Jembatan ini adalah satu-satunya jalan menuju kuil.”
Kazuma menatap jembatan kayu itu dengan hati-hati. Tali-tali yang menahannya tampak rapuh, dan papan kayu di bawahnya terlihat sudah mulai lapuk. Namun, tidak ada pilihan lain.
“Jika kita menyeberang, mereka mungkin tidak bisa mengikuti kita,” kata Kazuma, mencoba mencari sisi positif dari situasi ini.
“Benar,” jawab Sylvia. “Tapi kita harus cepat sebelum mereka menyusul.”
Mereka mulai menyeberangi jembatan dengan hati-hati, setiap langkah mereka disertai dengan suara kayu yang berderit di bawah kaki. Kazuma merasakan detak jantungnya semakin cepat, ketakutan jika jembatan itu tiba-tiba runtuh.
Namun, sebelum mereka berhasil sampai di tengah jembatan, Kazuma mendengar suara dari balik punggungnya—suara langkah kaki yang berat. Para pemburu sudah mendekat.
“Kita harus berlari!” teriak Sylvia.
Tanpa berpikir dua kali, mereka berlari melintasi sisa jembatan. Begitu mereka tiba di seberang, Sylvia menghunus pedangnya dan memotong tali jembatan dengan sekali tebas. Jembatan itu runtuh ke bawah, menghantam dinding jurang dengan suara keras.
Kazuma menatap ke belakang, melihat para pemburu yang berdiri di tepi jurang, tidak bisa menyeberang. Untuk sementara, mereka aman.
“Kita berhasil,” kata Sylvia dengan senyum lega di wajahnya. “Tapi ini baru permulaan, Kazuma. Perjalanan kita masih panjang.”
Kazuma mengangguk, masih terengah-engah, tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini hanyalah salah satu dari banyak pertempuran yang akan mereka hadapi. Dengan kekuatan Kitab Reinkarnasi di tangannya, dia harus terus maju—meskipun ancaman dari Penjaga Keseimbangan tidak akan pernah berhenti.