Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*27
Fendi terdiam. Matanya menatap lekat pak tua. Bibirnya ingin berucap, tapi masih tertahankan. Entah apa yang sedang Fendi pikirkan. Sentuhan tangan pak tua langsung membuatnya sadar.
"Nah, kau sudah tahu seperti apa masa lalu tuan muda sekarang. Tapi tolong, jangan bicara sembarangan. Jangan buat tuan muda merasa tidak nyaman. Karena hatinya cukup rentan."
"Ya, pak tua. Saya akan berhati-hati."
Obrolan itupun akhirnya berakhir. Fendi dan pak tua sama-sama menyibukkan diri dengan urusan masing-masing. Sementara itu, di kediaman Racham. Melia sudah menyiapkan semuanya.
Malam ini, dia akan datang. Tapi, rencana untuk mengacaukan lelang amal tidak akan dia biarkan gagal. Keluarga Amerta akan dia permalukan nanti malam. Sekaligus, dia juga akan menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
....
"Bagaimana, Cit? Apa semuanya sudah siap?"
"Ya, Ma. Sudah. Lihatlah, gaunnya juga cantik. Meskipun akan lebih baik lagi jika gaun yang kak Iky sediakan yang aku kenakan sekarang. Tapi gak papa, ini juga gaun terbaik yang mama carikan untuk aku."
"Sssst. Jangan bicara keras-keras. Jangan sampai ada yang tahu kalau gaun itu di berikan pada Melia. Rencana kita untuk mempermalukan Melia akan gagal nantinya."
"Kenapa harus cemas sih, Ma? Dia itu perempuan yang datang dari pedesaan. Mana tau apa yang sedang kita rencanakan."
"Palingan, dia sedang sangat menikmati memakai pakaian baru yang indah."
Obrolan ibu dan anak langsung terhenti ketika pintu kamar Melia terbuka. Dari balik pintu itu, Melia keluar dengan pakaian yang telah mama tirinya sediakan. Yah, Melia memakai gaun itu dengan senang hati. Mendadani dirinya dengan dandanan sederhana tanpa berniat untuk memperlihatkan kecantikan sedikitpun.
Sebaliknya, ketika melihat Melia keluar dengan gaun yang telah Ricky sedaikan untuknya, Citra kesal bukan kepalang. Rasa tak rela sedang menyeruak memenuhi hati. Namun, sebisa mungkin dia tahan perasaan itu agar tidak terlihat oleh Melia. Sayangnya, Melia yang terlatih dengan tingkat kepekaan yang tinggi, tentu saja bisa langsung menyadari hanya dengan melihat ekspresi yang Citra perlihatkan.
"Tante."
"Citra."
"Bagaimana? Apa gaun ini cocok buat aku?"
Nah, ini Melia malah semakin menjadi-jadi. Dia tahu Citra kesal, maka sengaja pula dia tambahkan lagi rasa kesal untuk hati adik tidak sahnya itu.
"Iya ... bagus, Mel. Cocok banget." Sang mama tiri memberikan pujian dengan hati yang sangat dipaksakan.
"Wah, makasih banyak, tante. Semua berkat tante. Gaunnya mewah banget. Aku suka sekali. Sekali lagi, makasih banyak ya, Tante."
Sejujurnya, terasa geli saat Melia melontarkan ucapan barusan. Tapi, dia harus berusaha memperlihatkan kepolosannya. Dengan begitu, mereka yang ingin menyakiti Melia bisa merasakan perasaan bahagia. Karena mereka pikir, mereka sudah berhasil melakukan apa yang ingin mereka lakukan.
Tawa terpaksa mama tiri perlihatkan.
"He .... Aduh, santai saja, Melia. Sudah seharusnya, bukan?"
"Tante hanya melakukan apa yang bisa tante lakukan. Lagipula, kamu sudah lama tidak menghadiri pesta. Jadi, sudah seharusnya kamu terlihat lebih bagus dari yang sebelumnya."
"Aduh. Udah deh. Ayo pergi sekarang. Ngapain sih lama-lama ngobrol di sini? Gak tahu apa? Bentar lagi, acara akan mulai." Kesal Citra dengan wajah dan nada bicara yang tidak lagi bisa dia sembunyikan.
Tawa lepas di hati Melia. Niatnya untuk mengusili Citra semakin besar saja sekarang. Alhasil, bukannya bergerak, dia malah semakin menjadi-jadi.
"Tante. Citra kok kelihatannya gak suka? Dia gak mau aku ikut ke pesta ya?"
"Ha ... enggak kok. Siapa bilang?" Citra menyangkal dengan cepat.
"Itu, wajahmu barusan seolah tidak bahagia."
"Kamu tidak ingin aku pergi atau tidak setuju kalau tante memberikan aku baju sebagus ini."
Wajah pura-pura sedih langsung Melia perlihatkan. Pandangan mata dia alih dengan cepat.
"Tante. Aku tidak akan pergi kalau-- "
"Ah! Melia. Kok bicara begitu. Citra tidak bermaksud seperti itu kok. Dia hanya ... hanya sedang cemas saja. Maklum, dia ingin segera bertemu dengan tunangannya. Makanya dia bicara begitu barusan." Si mama tiri berucap sambil menyenggol anaknya dengan pelan.
Paham aba-aba yang mamanya berikan, Citra langsung ikut bermain akting. Senyum terpaksa dia tunjukkan.
"Ya. Aku kesal gara-gara kamu terlalu berlebihan. Aku harus bertemu kak Iky segera. Tapi kamu malah terus mempermasalahkan soal gaun. Kamu cantik kok malam ini. Jadi, tidak perlu merasa gugup."
'Kalian terlalu pintar bersandiwara. Huh! Baiklah. Sepertinya memang harus berakhir di sini. Kita lanjut nanti saja,' kata Melia dalam hati.
Kebetulan, papa Melia akhirnya tiba. Mereka pun harus segera meninggalkan rumah. Seperti sebelumnya, Melia harus naik ke mobil yang berbeda ketika akan pergi ke tempat acara. Tidak ada yang berubah di sini meski sudah delapan tahun berlalu. Namun bedanya, Citra pergi dengan di jemput oleh sopir keluarga Amerta selaku tunangan tuan muda.
Melia hanya melirik sesaat wajah bangga yang Citra perlihatkan. Maklum, meski tidak dinikahi setelah delapan tahun jadi tunangan, tapi tetap saja, statusnya adalah tunangan tuan muda Amerta yang ternama. Jadi, tentu saja dia masih bisa berbangga diri sekarang.
"Hm. Sampai kapan sih kamu bisa berbangga diri, Citra? Kita lihat saja nanti yah."
Melia pun masuk setelah bergumam pelan.
Setelahnya, dia meminta sopir untuk menjalankan mobil agar segera meninggalkan kediaman Racham.
"Baik, nona."
Kali ini, sopir yang membawanya adalah sopir yang berbeda dengan sopir yang membawanya delapan tahun yang lalu. Sopir itu terlihat asing, tapi sangat sopan. Tidak banyak bicara, tapi juga tidak meliriknya sama sekali.
"Berhenti sebentar!"
"Baik, nona muda."
Sopir itu melakukan perintah Melia dengan patuh. Dia menepikan mobil tanpa banyak bicara. Setelahnya, si sopir malah langsung membuka pintu mobil di mana Melia duduk.
Agak canggung di buat ulah si sopir. Melia pun enggan untuk melangkahkan kaki turun dari mobil tersebut. Melia menatap sopir itu sesaat.
"Kenapa kamu melakukan hal barusan? Kamu gak tahu siapa aku?"
"Nona muda. Saya tahu siapa anda, makanya saya melakukan tugas saya dengan baik."
"Emangnya, siapa aku?"
"Anda adalah majikan saya. Nona muda pertama keluarga Racham."
"Oh Tuhan. Kamu pegawai baru ya? Pasti kamu belum mendengar tentang aku yang baru kembali dari perkampungan. Aku yang tidak layak di hormati sebagai majikan."
"Saya dengar, nona. Saya dengar semuanya. Tapi bagi saya, anda tetaplah majikan saya. Karena anda adalah keluarga Racham. Saya bekerja di sana. Jadi, semua anggota keluarga harus saya hormati."
Melia kehabisan kata-kata. Dia pun menyerah untuk bicara pada si sopir. Pria itu masih muda. Tingkah nya juga luar biasa. Postur tubuhnya oke, tapi bekerja sebagai sopir. Cukup mengesankan.
"A ... baiklah. Lupakan saja."
"Aku harus masuk ke dalam. Kamu tunggu di sini sebentar."
"Baik, nona muda."
Terlalu patuh sehingga membuat Melia merasa curiga. Dia pun semakin meningkatkan rasa waspadanya pada pria tersebut.
🌹 dulu... nanti lanjut lagi