Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benci
Alifa keluar dari kelasnya. Berdesakan dengan anak-anak yang lain. Mereka nampak bersemangat berlarian menghampiri orang tua masing-masing. Mungkin, pulang sekolah adalah yang paling menyenangkan. Kaki mungil nya terus mengayun mendekati Adiba yang sibuk bermain bola pemberian kepala sekolah. Keringat memenuhi wajahnya hingga beberapa helai rambut menutupi dahi dan pipi.
Ayu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Selama Alifa belajar di kelas, ia mampu menulis hampir tiga ribu kata, dan itu adalah pertama kalinya bisa menghasilkan tulisan yang rapi dalam waktu yang lumayan singkat. Juga bisa melayani beberapa pembeli yang tertarik dengan produk jualannya.
"Alifa tadi di ajarin apa saja?" tanya Ayu berdiri dari duduknya. Menghampiri Alifa dan Adiba yang duduk di ayunan.
"Nyanyi dan menyebut nama orang tua, Ma," jawab Alifa lugas. Ia masih ingat betul apa yang diajarkan bu guru di hari pertama sekolah.
"Alifa bisa?" tanya Ayu memastikan.
Alifa mengangguk tanpa suara. Meraih roti bekal yang masih tersisa lalu melahapnya.
Suasana sekolah mulai sepi. Anak-anak sudah berhamburan meninggalkan tempat itu. Kini hanya tersisa guru yang sedang merapikan kelas sebelum besok kembali di tempati.
Ayu merapikan penampilannya lagi. Menggendong Adiba yang dari tadi menguap. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh dan itu waktunya si bungsu tertidur.
"Kita pulang yuk! Mama mau mengantar barang ke pelanggan," ucap Ayu yang langsung dimengerti oleh Alifa.
Usianya yang menginjak enam tahun sudah paham dengan ucapan sang mama tentang pekerjaannya saat ini.
Di sepanjang jalan, Ayu terus tersenyum kecil mendengar nyanyian dari bibir mungil Alifa. Meskipun belum sepenuhnya benar dan jelas, ia kagum dengan bocah itu. Sama seperti Hanan, semangat Alifa pun tinggi dan beberapa kali mengatakan ingin menjadi seorang dokter.
"Lain kali ajari nyanyi lagi ya, Ma!" pinta Alifa dengan suara keras. Menerjang bunyi kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.
"Iya, Nak. Yang penting sekarang kamu harus rajin belajar supaya cepat pintar," tuturnya dengan nada lembut.
Ayu berhenti di sebuah toko sembako. Membeli beberapa keperluan dapur yang hampir habis. Meskipun uangnya pas-pasan, Ayu tetap mengutamakan anak-anak tetap terpenuhi kebutuhannya.
"Berapa, Bu?" tanya Ayu sambil merogoh tasnya.
"Tiga ratus ribu, Bu," jawab pemilik toko seraya meletakkan belanjaan di depan Ayu.
Ayu mengambil tiga lembar uang ratusan lalu membayarnya. Kembali membuka tas. Tangannya meraba mencari sesuatu yang beberapa hari ini tak nampak.
"Dompetku yang coklat di mana? Bukankah selalu ada di tas ini?" tanya Ayu dalam hati. Kembali memeriksa isi tas nya.
Benar saja, dompet yang ia cari ternyata tidak ada di dalam tas membuat Ayu kebingungan. Bukan karena jumlah uangnya, namun dalam dompet itu ada beberapa surat penting. Termasuk kartu identitas lama miliknya.
Ayu keluar dari toko dengan membawa belanjaan di kedua tangannya. Hingga terpaksa Alifa berjalan di depan nya. Namun, tetap dengan pengawasan yang ekstra.
Setibanya di kawasan kontrakan, Ayu menghentikan langkahnya saat melihat mobil yang sangat familiar terparkir di ujung jalan.
Mau apa lagi dia ke sini?
Wajah Ayu mendadak kesal. Ia belum tahu tujuan Ikram datang. Namun, khawatir jika pria itu akan mengganggu hidupnya dan anak-anak.
Ayu kembali berjalan menuju rumahnya. Dari jauh, ia sudah bisa melihat Ikram duduk di teras depan.
"Kamu ngapain lagi ke sini, Mas?" tanya Ayu ketus.
Seperti tadi pagi, Alifa bersembunyi di belakang Ayu. Sedikitpun tidak ingin melihat Ikram yang sudah ingin memeluknya. Sedangkan Adiba, bocah itu terlelap di dekapan sang mama.
Ikram berdiri dari duduknya. Matanya menyala seolah penuh dengan amarah. Menatap lekat manik mata Ayu.
"Apa maksudmu menjauhkan anak-anak dariku?" tanya Ikram penuh penekanan. Seolah ia yang terdzolimi.
Ayu tersenyum menyeringai. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar melihat anak-anak yang sudah mulai paham dengan apa yang terjadi.
Ayu meninggalkan Ikram. Tak lama kemudian ia kembali seorang diri. "Apa kamu bilang? Menjauhkan dari anak-anak?" ulang Ayu seperti yang diucapkan Ikram.
"Apa namanya kalau bukan itu?" pekik Ikram tak terima.
Bagaimanapun juga ia harus mendapatkan anak-anak kembali. Setidaknya mendapatkan hak atas mereka.
"Kamu yang menjauhi mereka, Mas. Kamu yang memulai, dan anak-anak itu lebih peka untuk membalas apa yang kamu berikan selama ini. Mereka tidak akan mau berada di dekat orang yang tidak tulus menyayanginya. Aku ingatkan sekali lagi." Mengangkat satu jarinya.
"Setiap yang kita tanam, itu yang akan kita tuai. Jadi jangan pernah menyalahkan orang lain sebelum kamu intropeksi diri. Silahkan pergi!" Tanpa rasa ragu Ayu mengusir Ikram.
"Kamu jangan egois, Yu. Aku hanya ingin bertemu dengan anak-anak." Ikram memekik tak terima.
"Sejak kapan kamu ingat pada mereka, Mas? Bahkan, disaat Adiba dan Alifa menangis pun kamu tak peduli, dan sekarang mengatakan bahwa kamu ayahnya."
Ayu kembali tertawa seolah ia yang menang bisa memimpin perdebatan itu.
"Seorang ayah akan selalu ada di samping anaknya. Dia akan memberikan apapun yang mereka mau. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu jelas-jelas sudah menolak permintaan mereka. Kamu mengecewakan Hanan yang sudah berharap besar darimu. Sekarang aku dan anak-anak hanya butuh ketenangan. Silahkan pergi atau aku akan memanggil seluruh warga di sini dan berteriak maling," ancam Ayu dengan tegas.
Ia benar-benar kesal dengan kehadiran Ikram yang seakan tak punya salah sudah menelantarkan ketiga anaknya. Malah menuntut balik atas mereka. Bukankah itu langkah yang konyol?
Nampak dari jauh Hanan pulang dari sekolah. Setelah menyandarkan sepeda di samping pagar, ia menghampiri Ayu dan mencium punggung tangannya. Menatap Ikram sekilas lalu masuk ke dalam rumah tanpa menyapa sang papa.
Kali ini keberadaan Ikram benar-benar tak dianggap oleh ketiga anaknya. Ia tak bisa memaksakan kehendak dan memilih pergi. Berharap di lain waktu ada kesempatan bisa memeluk mereka.
Hanan membuka gorden jendela. Menatap punggung Ikram yang mulai menjauh. Teringat jelas saat ia harus menghadiri hari ayah tanpa sosoknya, dan itu adalah hal yang paling menyakitkan baginya.
"Aku benci papa, sampai kapanpun aku tidak akan bisa menyayangi papa seperti aku menyayangi mama." Hanan mengepalkan kedua tangannya. Luka yang pernah di goreskan Ikram tertancap di hati seorang Hanan, hingga ia tidak akan melupakan semuanya.
Tanpa sengaja, Ayu mendengar ucapan Hanan dari ruang tamu. Ia bergegas masuk menghampiri sang putra yang terlihat cemberut. Menenangkan supaya tidak terlalu membenci Ikram.
''Gak, Ma. Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkan papa. Dia jahat pada kita."
Hanan mengusap air mata nya yang sempat lolos lalu membuang muka, takut Ayu menganggapnya cengeng.
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2