Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
"Naii... Kemari kamu," ucap suara seseorang yang sangat dikenal oleh wanita berhijab lusuh tersebut.
Ia baru saja selesai mencuci piring dan juga barang-barang perabotan memasak lainya setelah lelah berjualan kue keliling seharian.
Dengan cepat ia mengibaskan kedua tangannya, dan mengelapnya pada daster yang juga sudah tampak lusuh dan menjadi teman kesehariannya.
"Naii, buruan! Kamu tuli, ya?" teriak pria yang tak lain adalah suaminya. Hardi, sosok yang menikahinya dan menjadi pendamping hidupnya selama tujuh tahun ini hanyalah menjadi seorang pengangguran dan taunya meminta uang untuk mabuk-mabukan.
Bahkan, pria itu tak jarang memberikan pukulan kepadanya setiap kali meminta uang jika Naii menolaknya, maka penganiayaan yang harus ia dapatkan.
"Ada apa, sih, Mas?" jawabnya dengan lirih, ia sudah terlalu capek dengan semua tugas rumah tangga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.
"Apa, apa, katamu. Kalau dipanggil laki itu cepat datang, jangan lambat kali jadi orang!" makian dan cacian kerap kali dilontarkan untuknya, dan ia mencoba untuk tetap sabar, berharap suatu saat sang suami terbuka pintu hatinya dan bertaubat.
Naii menarik nafas dengan dalam, dan mengeluarkannya dengan berat. Ada jutaan rasa lelah didalam hidupnya, ia mencoba berusaha untuk kuat, meski setiap pertahanannya mulai goyah. Apakah yang ia harapkan dari seorang Hardi? Sudah miskin, pemalas, dan juga pemabuk. Bahkan akhir-akhir ini ia mendengar gosip para tetangga jika suaminya mulai terhoda janda pirang diujung jalan.
Namun bagi Naii, selagi tidak terlihat dimatanya sendiri, maka ia masih mengabaikan semua kabar miring tersebut, lagi pula ia sudah lelah bertengkar terus setiap saatnya.
"Ada apa, Bang?" Naii mengulangi ucapannya.
"Beri aku uang satu juta, aku lagi butuh," ucap Hardi seenak udelnya. Bahkan tanpa rasa malu ia meminta uang kepada sang istri, sedangkan memberi nafkah saja tidak pernah.
Tentu saja hal itu Hardi lakukan karena pria itu sudah putus urat malunya dan mengetahui jika istrinya memiliki simpanan uang.
"Tidak ada, Bang. Itu untuk bayar uang kontrakan, sebab Pak Kasim sudah datang meminta uang kontrakan yang tertunggak dua bulan," Naii mencoba memberi pengertian kepada sang suami.
"Kamu berani melawanku, Ya? Sini uang itu, atau kamu mau aku hajar, hah!" jawab Hardi dengan raut wajah penuh amarah. Tampak auranya begitu mengerikan terbias dengan emosi yang meledak.
Pria itu sudah mengangkat tangannya, bersiap untuk memberikan tamparan pada Naii yang sudah seringkali menerima segala penyiksaan yang diberikan oleh sang suami.
Bahkan air matanya seolah sudah kering dan ia tak lagi dapat untuk menangis, sebab semuanya sudah sangat terbiasa.
"Aku tidak mau memberikannya, itu uang untuk bayar kontrakan, jika tidak dibayar, maka pak Kasim akan mengusir kita dan mau tinggal dimana lagi, hanya ini rumah kontrakan yang murah," Naii mencoba menegaskan.
Plaaaaak...
Suara tamparan yang sangat keras mendarat dipipi putih sang wanita. Tergambar lima jari bekas penganiayaan tersebut.
"Sekali lagi kamu melawan, ku hajar kamu!" ancam Hardi dengan nada tinggi.
Ahnaf dan Aliyah berlari dari kamar saat mendengar kedua orangtuanya bertengkar.
Kedua bocah itu memeluk Naii dengan wajah ketakutan. Mereka sangat terlalu sering melihat sang ayah menyiksa ibunya, sehingga ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sang ibu.
Melihat kedua anaknya datang dengan tatapan menghiba dan ketakutan, tak membuat seorang Hardi merasa belas kasih. Ia menginginkan uang tersebut.
"Menyebalkan!" maki Hardi, lalu berjalan menuju kamar dan mengobrak-abrik tilam lusuh yang hampir mengempis karena sudah terlalu lama.
"Naii, dimana uangnya?" teriak Hardi dengan geram.
Tetapi wanita itu hanya membisu dan tak ingin menyahutinya.
Setelah puas membongkar semua isi kamar, ia tak menemukan apa yang dicarinya, sehingga kesabarannya semakin menipis.
Sesaat matanya melihat sebuah tabungan berbentuk ayam yang terbuat dari bahan plastik, dengan cekatan ia menyambarnya dan membawanya keluar dari kamar.
"Ayah.. Jangan! Itu tabungan Ahnaf untuk beli tas sekolah," rengek Ahnaf yang melihat sang ayah membawa tabungan berbentuk ayam miliknya.
"Bawel kamu, sama saja seperti ibumu," sergahnya, dan ia tak perduli saat bocah berusia enam tahun itu menangis dan memohon agar sang ayah tak mengambil tabungannya.
Hardi membawa benda itu ke dapur, lalu dengan cepat merobeknya dan menemukan uang pecahan seribu dan dua ribuan yang menjadi pengisinya.
"Siaal...," makinya, saat tak puas melihat isi yang tak sesuai harapannya.
Ia meraih uang yang diperkirakan berjumlah seratus ribu yang dikumpulkan sang bocah dengan mengumpulkan rongsokan, tetapi dengan mudahnya sang ayah merampasnya begitu saja.
Setelah memasukkan uang tersebut ke dalam sakunya, ia bergegas menuju ke ruang tengah tempat dimana Naii dan kedua anaknya menangis akan perlakuan kasar yang dilakukannya.
"Mana uang itu?" tanyanya lagi. Sepertinya ia tak puas akan uang yang sudah ia ambil dari tabungan Ahnaf.
"Tidak ada," jawab Naii menahan perih dipipinya bekas tamparan Hardi barusan, dan juga menahan peri dari perlakuan sang suami.
"Bohong! Setiap hari kamu berjualan, dan pastinya kamu banyak menyimpan uang," Hardi tak percaya dengan ucapan istrinya.
Perlahan ekor matanya melirik sesuatu yang terselip dibalik hijab lusuh yang digunakan wanita tersebut.
Tangan Hardi dengan cekatan mentingkap hijab tersebut, lalu mero-goh sesuatu dibalik daster yang tampak terlihat melapuk.
Matanya berbinar saat menyentuh benda berbungkus plastik dan diikat dengan plastik transparan.
Naii dengan gerakan cepat memepertahankannya. "Jangan, Bang... Jangan ambil. Ini uang bayar kontrakan," wanita itu dengan cepat mencengkram pergelangan tangan Hardi dan berharap pria itu mengambil benda yang disimpannya dibalik bra.
Namun tenaga Naii kalah jauh, dengan sigap Hardi mendorong tubuh sang istri dan menyebabkan wanita itu hilang keseimbangan dan akhirnya limbung terjatuh dilantai bersama kedua anaknya.
"Berani kamu, ya...! Ini apa, hah?" ucapnya dengan nada kesal sembari memperlihatkan benda yang dibungkus plastik dan tentunya berisi uang yang diinginkannya.
"Jangan, Bang.. Jangan bawa uang itu," mohon Naii dengan tangisannya yang semakin menghiba.
Hardi tak menghiraukan tangisan sang istri dan bahkan kedua anaknya yang juga menangis ketakutan tak lagi ia perdulikan.
"Ayah jahat!" teriak Ahnaf dengan nada yang penuh kebencian.
Hardi melenggang pergi meninggalkan rumah setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Saat bersamaan, Mbak Fhitry datang untuk melihat apa yang terjadi.
Ia berpapasan dengan Hardi yang baru saja keluar dari rumah dan menghidupkan mesin motor bututnya, lalu pergi tanpa merasa bersalah.
"Naii," ucap Mbak Fhitry yang melihat wanita itu beserta kedua anaknya terduduk dilantai, "Ya Allah, Naii," rasa iba menyeruak didalam hatinya, " Dasar Hardi keterlaluan," ucapnya dengan kesal, lalu membantu Naii untuk bangkit.
"Sebaiknya kamu berpisah saja dengan laki-laki tak berguna itu. Untuk apa kamu bertahan jika terus mengalami penyiksaan seperti ini," omel Mbak Fhitry.