Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Kecupan yang Salah
Pagi itu terasa berbeda bagi Adara. Setelah malam panjang menyelesaikan laporan yang diminta Arga, ia berharap hari ini akan berjalan lebih tenang. Namun, pesan singkat dari sang bos membuat dadanya kembali sesak.
"Datang ke ruangan saya pukul 09.00. Ada hal penting yang perlu dibahas."
Pesan itu terasa lebih tegas dari biasanya, seakan ada sesuatu yang mendesak. Adara menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum melangkah ke ruangannya. Jam menunjukkan pukul 08.59 ketika ia mengetuk pintu ruang kerja Arga.
“Masuk,” suara berat itu terdengar dari balik pintu.
Adara melangkah masuk dengan hati-hati. Mata tajam Arga langsung tertuju padanya, membuatnya merasa seperti seorang terdakwa yang dipanggil untuk mendengar vonis.
“Duduk,” katanya singkat, menunjuk kursi di depannya.
Adara menurut tanpa berkata sepatah kata pun. Ia menatap pria itu dengan ragu, mencoba membaca suasana hati bosnya.
“Saya mendengar laporan tentang gosip yang beredar di kantor,” ucap Arga akhirnya, memecah keheningan.
Adara mengerutkan dahi. “Gosip apa, Pak?”
Arga menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menyatukan jari-jarinya di depan dada. “Tentang kita.”
Adara terkejut. Ia tak tahu apa yang lebih mengejutkan—fakta bahwa gosip itu ada, atau kenyataan bahwa Arga membahasnya secara langsung.
“Saya tidak tahu apa-apa tentang gosip itu,” jawab Adara, berusaha tenang meski dadanya berdebar kencang.
Arga mengangguk pelan, tetapi tatapannya tetap tajam. “Saya juga tidak terlalu peduli dengan apa yang orang lain katakan. Namun, saya tidak ingin rumor ini mengganggu pekerjaan.”
Adara mengangguk cepat. “Saya mengerti, Pak. Saya akan menjaga jarak jika itu diperlukan.”
Namun, saat ia mengucapkan kalimat itu, ada rasa perih yang muncul di hatinya. Ia tahu, hubungan profesional mereka sebenarnya sudah mulai kabur. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, meski tidak pernah diakui secara terang-terangan.
Arga terdiam sejenak, seakan mempertimbangkan sesuatu. “Adara,” katanya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Saya hanya ingin memastikan satu hal. Apakah… perasaan Anda terhadap saya masih profesional?”
Pertanyaan itu membuat jantung Adara berhenti sejenak. Ia tidak menyangka Arga akan menanyakannya secara langsung. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu.
“Saya… tentu saja, Pak,” jawabnya akhirnya, meski suaranya terdengar goyah.
Arga menatapnya lekat-lekat, seakan mencoba mencari kebohongan dalam jawaban itu. “Baiklah. Kalau begitu, kita lupakan pembicaraan ini. Fokus pada pekerjaan.”
Adara mengangguk cepat, merasa lega karena pembicaraan itu akhirnya selesai. Namun, sebelum ia bisa berdiri dan meninggalkan ruangan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Arga bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Langkahnya tenang, tapi ada sesuatu yang membuat suasana ruangan menjadi tegang. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Adara, menatapnya dengan intens.
“Adara,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Ada sesuatu yang ingin saya coba.”
Sebelum Adara sempat memahami maksudnya, Arga menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke arahnya. Jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter.
“Pak Arga, tunggu—”
Namun, kata-kata itu lenyap ketika bibir Arga menyentuh bibirnya.
Kecupan itu singkat, tapi cukup untuk membuat dunia Adara berhenti berputar. Ia membeku, terlalu terkejut untuk merespons. Hanya beberapa detik, namun rasanya seperti selamanya.
Ketika Arga akhirnya menarik diri, ekspresi di wajahnya sulit dibaca. Ada campuran penyesalan, kebingungan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang terlalu rumit untuk diartikan.
“Maaf,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Itu… kesalahan.”
Adara masih terpaku di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Hatinya berdebar kencang, tapi bukan karena marah—melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ia takutkan untuk diakui.
“Pak Arga,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Saya rasa… ini tidak seharusnya terjadi.”
Arga mengangguk pelan. “Saya tahu. Itu sebabnya saya minta maaf.”
Namun, meskipun ia meminta maaf, ada sesuatu dalam tatapan Arga yang membuat Adara merasa bahwa kecupan itu bukan sekadar ‘kesalahan’. Ada emosi yang tertahan di baliknya, sesuatu yang mungkin bahkan Arga sendiri tidak sepenuhnya pahami.
“Saya pikir kita harus menjaga jarak untuk sementara,” kata Adara, meski hatinya terasa berat saat mengucapkannya.
Arga tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Ia melangkah mundur, kembali ke kursinya, dan memalingkan wajahnya dari Adara.
Adara tahu, ini adalah momen yang akan mengubah segalanya. Hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi, baik sebagai bos dan sekretaris, maupun sebagai dua individu yang terjebak dalam perasaan yang rumit.
Dengan langkah berat, Adara meninggalkan ruangan itu. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang.
“Kesalahan,” pikirnya. Tapi mengapa hatinya berkata sebaliknya?
Di dalam ruangan, Arga masih duduk di kursinya, menatap kosong ke arah meja kerjanya. Kecupan itu memang sebuah kesalahan—tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dalam kesalahan itu, ia menemukan sesuatu yang sudah lama ia abaikan: keinginan untuk merasakan cinta lagi.
Namun, cinta itu kini terhalang oleh batasan yang tidak mudah dilalui. Dan ia tahu, jalan di depan mereka berdua akan penuh dengan tantangan yang tak terduga.