NovelToon NovelToon
Malam Yang Merenggut

Malam Yang Merenggut

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: megawati

Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.

"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.

"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.

Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.

Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab

Terdapat sepuluh pelayan yang masing-masing melakukan tugas yang berbeda. Dua mengurusi rambut Dara, empat pelayan mengoleskan lulur di setiap tangan dan kaki Dara, sedangkan sisanya menyiapkan air panas untuknya.

"Kenapa ada banyak pelayan di sini? Cukup dua orang saja seperti biasa," kata Dara sambil melirik Dinda dan Diana.

"Khusus hari ini, kami semua yang akan melayani Anda, Nona. Anda harus tampil sempurna hari ini," jawab salah seorang pelayan.

Dara hampir lupa! Hari ini dia akan menikah dengan Brama!

"Astaga," gumam Dara lirih.

"Bagaimana ini? Apa aku benar-benar harus menikah dengan Tuan Brama?" Batin Dara gelisah.

Mendadak, perut Dara terasa melilit karena sangat gugup. Dia masih belum percaya bahwa dirinya sungguh akan menikah secepatnya ini.

Selama satu jam, Dara berada di kamar mandi sambil tercenung dengan pikirannya sendiri. Dia baru tersadar ketika pelayanan menyuruhnya keluar untuk didandani.

Brama sudah berpesan pada para pelayan agar tak terlalu lama membuat persiapan karena dia sudah tak sabar segera menikah dengan Dara. Para pelayan pun tak akan membuang banyak waktu dan segera melanjutkan tugasnya meskipun Dara meminta istirahat sebentar.

TOK!TOK!

Siska berlari kecil membukakan pintu yang terkunci. Aleta, Ribka dan Astrid masuk ke dalam setelah mereka selesai didandani lebih dulu.

"Kamu cantik sekali, Dara. Sayang sekali, kamu tidak jadi menantu Tante." Ucap Ribka dengan mata berkaca-kaca.

Astrid yang mendengar betapa Ribka sangat menginginkan Dara menjadi menantunya itu merasa bangga. Dia juga sering mendengar Jasmine memuji-muji Dara yang dulu sempat akan menjadi calon menantunya.

"Betapa beruntungnya Brama mendapatkan wanita yang diinginkan banyak orang," batin Astrid.

"Jangan khawatir, Nyonya Rawal. Saya akan menjaga menantu saya dengan baik," ujar Astrid halus seraya menepuk lembut pundak Ribka.

Ribka mengangguk, lalu berpelukan dengan Astrid. Sejak pertemuan semalam, ibu-ibu itu menjadi lebih dekat.

Ribka pun bisa tenang meninggalkan Dara dengan keluarga Pranaja setelah tahu Dara disambut hangat keluarga calon suaminya.

"Gue ngak nyangka, Lo bener-bener akan menikah sekarang. Kalau suami Lo berani nyakitin Lo, Lo harus ngasih tau gue. Gue sama sekali ngak takut sama Brama Pranaja." Gumam Aleta.

Dara tersenyum kecil. Aleta mengatakan tak takut kepada Brama, tetapi hanya berani berbisik padanya.

"Makasih, Ta, karena Lo selalu ada buat gue," ucap Dara.

Selagi Dara selesai didandani, seorang pria muncul dari pintu kamarnya. Rangga yang mengenakan tuksedo hitam itu tersenyum lebar padanya, menyembunyikan perasaan kecewa.

"Kak Rangga! Ini...maafin aku...," sesal Dara.

Rangga menepuk-nepuk kecil kepala Dara.

"Aku turut bahagia untuk kamu, Ra. Jangan memutuskan hubungan dengan kami setelah kamu menikah. Sering-sering main ke rumah dan menghabiskan waktu sama kami semua seperti biasa," ujar Rangga lembut.

Dara mengangguk kecil dengan mata berkaca-kaca.

"Aku udah minta tolong sama tuan Brama untuk membatalkan pernikahan kak Rangga dengan Nona Jeniffer. Sekali lagi, maafin aku karena sudah membawa masalah di kehidupan kakak dan semua orang di kediaman Rawal." Ucap Dara.

Rangga terkekeh pelan.

"Terimakasih, tapi kamu ngak perlu melakukan itu. Aku akan tetap menikah dengan Jeniffer Pranaja." Ucap Rangga.

Mata Dara terbelalak tak percaya. Dia tahu betul, Rangga dengan tegas menolak pernikahan itu. Lalu kenapa?

"Sudah, sudah, mengobrolnya nanti saja. Tuan Brama pasti sudah menunggu kita," sela Aleta.

Dara menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Dia kemudian mengayunkan langkah kaki menuju tempat Brama menanti.

Di sebuah ruangan besar yang menyerupai aula, para pria sudah menunggu di dalam sana, bersama dengan semua penghuni kediaman Pranaja, serta asisten pribadi Brama.

Tak ada tamu undangan lain karena mereka harus merahasiakan pernikahan Dara dan Brama sampai besok, setelah pernikahan Aldo.

Suara tepuk tangan membuat Dara tersentak. Mata Dara mengedar di sekeliling ruangan yang dipenuhi bunga putih beraneka jenis. Mata itu berhenti bergerak ke arah sosok pria gagah yang berdiri tegang saat melihat kedatangannya.

Brama Pranaja mengenakan tuksedo putih, senada warna dengan gaun Dara. Pria itu mengangkat sedikit lengannya ketika kaki Dara berhenti di sampingnya.

"Kamu terlihat sangat cantik hari ini," puji Brama.

Dara terdiam sejenak, kemudian melingkarkan tangan di lengan Brama tanpa menjawab ataupun berterima kasih atas pujian itu.

Sepanjang kakinya melangkah, Dara terus membayangkan jika dirinya sedang bermimpi. Bahkan, ketika mereka saling mengucap janji suci pernikahan pun, Dara merasa sedang berdiri mengambang di atas awan.

Hingga sebuah cincin melingkar di jari manisnya, Dara baru tersadar jika apa yang dialaminya sekarang nyata adanya. Tepuk tangan meriah semua orang yang ada di dalam aula pun mempertegas kenyataan itu.

"Sekarang kamu sudah resmi jadi milikku, Dara Pranaja," bisik Brama.

Wajah Brama kian mendekat dan hendak mencium sang pengantin. Akan tetapi, Dara hanya berdiri membeku di tempat. Brama mengangkat dagunya, kemudian mengecup bibir Dara secara singkat.

"Jangan terlalu tegang. Aku tidak akan menunjukkan c*uman panas kita di depan semua orang, termasuk di hadapan keluarga kita. Bersabarlah sampai nanti malam." Ucap Brama tepat di depan wajah Dara.

Dara menelan ludah susah payah. Benar, saat ini dia benar-benar sudah sah menjadi istri Brama Pranaja. Dia harus melewati malam-malam dengan Brama setelah ini!

"Tidak. Aku belum siap menjadi istri Tuan Brama," batin Dara yang tiba-tiba menyesal telah menikah dengan pria di sampingnya.

Meskipun hatinya menjerit-jerit gelisah, Dara tetap memamerkan senyuman indah. Dia tak ingin membuat keluarga Rawal mencemaskan dirinya.

Hingga senyuman itu pudar tatkala prosesi pernikahan tersebut akhirnya telah usai. Melihat matahari yang semakin terbenam, Dara menjadi semakin gugup dan takut.

"Ra, kami harus pulang sekarang. Sering-sering mampir ke rumah yah Ra? Ingat pesan gue tadi," pamit Aleta.

Dara mengangguk, lalu memeluk Aleta dan anggota keluarga Rawal lainnya. Rangga melirik sinis pada Brama tatkala memeluk Dara untuk yang terakhir kalinya.

"Hubungi aku jika kamu butuh bantuan apapun," bisik Rangga.

"Baiklah," jawab Dara halus.

Setelah kepergian keluarga Rawal, Dara dan Brama segera di bawa Para pelayan menuju kamar Brama yang disulap menjadi kamar pengantin, dan akan menjadi kamar Dara juga setelah ini.

"Jika Anda membutuhkan sesuatu, silahkan telepon kami." Ucap salah satu pelayan menutup rapat pintu kamar itu.

Dara berdiri di tempat, tak tahu harus berbuat apa. Brama sedang membuka jas, lalu merapikan di gantungan.

Jantung Dara seakan berhenti berdetak tatkala Brama mulai berbalik mendekati dirinya. Pria itu membuka satu persatu kancing kemeja dengan seringai di wajahnya.

Kaki Dara melekat erat di lantai, tak dapat bergerak. Dia menahan napas ketika Brama sampai di hadapannya dengan kemeja terbuka, menampilkan lekukan otot dada dan perutnya.

"Akhirnya, kita bisa berdua saja...," bisik Brama di dekat daun telinga Dara.

"Tuan-" ucap Dara gugup setengah mati.

Brama menempelkan ibu jarinya di bibir Dara.

"Shh...kamu istri aku sekarang, jangan panggil aku Tuan lagi dan kamu tidak perlu bersikap sopan lagi sama aku." Ucap Brama menggoda.

Jantung Dara seperti melompat-lompat keluar tatkala Brama kian memajukan wajahnya. Mendadak, Dara terhuyung sambil mencengkram kemeja Brama.

"S-saya... pusing, Tuan." Dusta Dara. Dia hanya ingin menghindari berhubungan suami istri dengan Brama malam ini.

Memang benar dia sudah menjadi istri sah Brama Pranaja sekarang, juga memiliki kewajiban untuk melayani sang suami. Akan tetapi, Dara benar-benar belum siap!

Dia bahkan tak mengingat pergulatan panas dengan pria itu sebelumnya. Bagaimana bisa dirinya tiba-tiba bermesraan dengan Brama? Dara tak sanggup membayangkannya.

"Pusing kenapa? Apa perut kamu sakit lagi?" Tanya Brama tampak panik. Tangannya langsung membelai perut Dara.

"Sepertinya, saya kelelahan," ucap Dara sengaja membuat suaranya terdengar begitu lemah.

Karena Dara memang sering pingsan, Brama pun percaya saja dengan sandiwara Dara yang tampak canggung. Dia gegas mengangkat tubuh Dara dan menggendong ala pengantin.

"Tuan!" Pekik Dara. Kedua tangan Dara spontan memeluk leher Brama agar tak jatuh.

Brama berhati-hati membaringkan Dara di ranjang yang di penuhi kelopak bunga mawar. Dia lalu meraih gagang telepon untuk memanggil seseorang.

"Aku akan panggil Faizal sekarang. Bersabarlah...," ucap Brama.

Dara jadi semakin gugup karena Faizal pasti akan segera tahu jika dirinya baik-baik saja.

"Tidak usah, Tuan!" Cegah Dara.

Dara gegas meraih gagang telepon yang ada dalam genggaman Brama. Dia lantas meletakkannya di tempat semula.

"S-saya hanya pusing biasa dan perut saya sedikit mual." Ucap Dara memberi alasan, tetapi berhasil membuat Brama langsung percaya.

Brama lalu berbaring miring, berhadapan dengan Dara yang wajahnya sudah merah padam. Dia memicingkan mata untuk meneliti setiap guratan wajah yang di tunjukkan Dara.

"Sebenarnya kamu tidak pusing dan mual kan? Kamu hanya tidak ingin disentuh sama aku." Ucap Brama segera tahu jika Dara ternyata hanya berpura-pura.

Dara menekuk wajahnya penuh penyesalan.

"Maaf, Tuan. Saya-" ucap Dara terhenti.

"Mandilah dulu sebelum tidur," potong Brama dengan nada dingin seraya beranjak dari ranjang menuju pintu.

"A-anda mau kemana?" Tanya Dara.

"Bukan urusan kamu." Jawab Brama dengan ketus tanpa melihat Dara.

Dara tahu, Brama pasti sangat kecewa kepadanya. Melihat tingkah pria yang baru saja resmi menjadi suaminya beberapa jam lalu, Dara jadi merasa sangat bersalah.

Tapi, mau bagaimana lagi? Dara pun masih takut melakukan hubungan int*m dengan suaminya sendiri.

Setelah selesai membersihkan diri, Brama masih belum kembali ke kamar. Dara berbaring sambil menatap jam dinding dengan resah. Sudah tengah malam, dimana suaminya berada?

"Apa Tuan Brama benar-benar marah sama aku karena aku menolak dia? Lalu aku harus bagaimana? Aku benar-benar takut dan belum siap," gumam Dara.

Ketika Dara mulai memejamkan mata, Brama membuka pintu perlahan. Dara sebenarnya masih terjaga saat mendengar Brama masuk ke dalam kamar mandi.

Tak lama kemudian, kasurnya bergerak perlahan, menandakan pria itu telah berada di sampingnya. Jantung Dara yang sebelumnya tenang, kembali berdenyut kencang.

"Apa Tuan Brama ngak akan menyentuh aku lagi?" Batin Dara gelisah karena Brama hanya diam tak mendekati dirinya.

Malam semakin larut, Dara masih belum bisa tidur karena berjaga-jaga jika Brama akan menyentuhnya diam-diam. Dia pun merasa tak nyaman tidur berdua dengan orang asing, yang juga mantan atasannya sendiri.

"Belum tidur? Apa kamu juga tidak ingin aku ada di sini?" Tanya Brama yang lagi-lagi dapat mengetahui sandiwara Dara yang saat ini pura-pura tidur.

Dara kian merapatkan kelopak matanya. Dia tak tahu harus menjawab apa.

Haruskah dia tetap berpura-pura tidur saja? Atau menuruti keinginan Brama supaya tak marah lagi dengannya?

"Baiklah kalau itu mau kamu? Aku tidak akan menyentuh kamu dan juga tidak akan tidur disini." Ucap Brama dengan suara yang terdengar semakin dingin.

Dara membuka sedikit mata, mengintip Brama yang sedang membawa bantal ke sofa. Pria itu tidur berhadapan dengan punggung sofa, membelakangi ranjang Dara.

***

Dara merasakan embusan hangat menerpa kulit lehernya. Dia membuka mata dan terkejut ketika melihat rambut brama tepat didepan wajahnya.

"Sejak kapan dia pindah dan tidur di samping aku? Katanya tidak akan tidur di sini," batin Dara.

Brama saat ini sedang memeluk erat dirinya dan membenamkan wajah di leher Dara. Dara ingin bangun, tetapi kaki Brama juga membelitnya kakinya.

(Akhirnya udah sah jadi suami istri, meskipun malam pertama belum terlaksana. Apakah akan ada konflik ke depannya? Apakah Dara dan Brama bisa saling mencintai setelah menikah? Tunggu next partnya...)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!