Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24. Nyawa yang Tersisa
Di warung kecil Zakiah yang biasa mereka kunjungi, suasana mendadak penuh romansa. Carlos dan Ruri, yang tampak mesra di pojok ruangan, sibuk berbicara satu sama lain. Gerakan mereka pelan namun penuh makna, jemari mereka sesekali bertaut, dan Carlos dengan lembut menyentuh rambut Ruri, menyingkirkan helaian yang jatuh di wajahnya. Ruri hanya tersenyum malu-malu, wajahnya memerah.
Mereka tenggelam dalam kebersamaan, hingga sebuah suara nyeleneh terdengar dari sudut ruangan. “Duh, suasana panas begini kenapa banyak bunga-bunga?” Seorang ibu-ibu, dengan tatapan sinis, mengamati mereka dari jauh, menyipitkan matanya seolah tidak suka dengan pemandangan romantis itu.
Carlos dan Ruri langsung tersadar. Wajah mereka berubah seketika, tergantikan oleh ekspresi kaget yang hampir komikal. Ruri buru-buru menjauh dari Carlos, lalu dengan sigap mendekati si ibu-ibu, bertanya tentang pesanannya. Sementara itu, Carlos, meskipun merasa malu, berjalan di belakang Ruri dengan canggung. Rasa hormatnya terhadap si ibu yang pernah merawatnya ketika sakit membuatnya melunak.
Ketika Ruri menyajikan pesanan si ibu, Carlos tetap berdiri di dekatnya, merasa canggung. Sepanjang makan, si ibu itu tak pernah berhenti mengamati mereka dengan sinis. Tatapannya tajam, penuh kritik diam-diam, hingga Ruri dan Carlos bisa merasakan sensasi seperti ditusuk di leher oleh pandangannya. Ruri, yang merasa salah tingkah, meminta izin ke kamar mandi, sementara Carlos tetap di tempat.
Setelah Ruri pergi, Carlos mengambil napas dalam dan mendekati si ibu itu sebentar. “Bu, terima kasih ya, sudah merahasiakan soal… penyakitku pada Ruri,” katanya pelan, penuh rasa syukur.
Ekspresi Carlos setelah mengucapkan terima kasih kepada si ibu adalah campuran antara kelegaan, keraguan, dan ketegangan. Senyum tipis yang terukir di wajahnya terasa canggung, seolah dipaksakan untuk menyembunyikan ketidaknyamanan yang lebih dalam. Matanya menyiratkan rasa terima kasih, tetapi di balik itu ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan—seperti seseorang yang tahu bahwa ada beban lebih besar menantinya, namun tak berdaya mengungkapkannya.
Bibirnya sempat bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi dia memilih diam, menyadari bahwa apa pun yang dikatakan akan terasa sia-sia. Helaan napasnya pelan, hampir tak terdengar, menandakan betapa beratnya rasa syukur yang harus dia ungkapkan. Jari-jarinya bergerak gelisah, seolah-olah ingin melepaskan beban yang menggelayuti pikirannya, tapi tubuhnya tetap diam di tempat, tak mampu melakukan apa pun selain mengangguk pelan.
Ekspresi si ibu yang tidak peduli terhadap jawaban Carlos tampak jelas dari caranya yang hanya melirik sekilas tanpa mengubah posisi tubuhnya. Alisnya sedikit terangkat, namun bibirnya tetap terkatup rapat, tidak menunjukkan minat lebih. Tapi kemudian, dia berkata, “Kebahagiaan pasangan itu nggak akan bertahan kalau cuma satu yang menanggung beban, Nak. Kalau kamu memang benar-benar mencintai Ruri, suatu saat, kamu harus cerita semuanya.”
Carlos hanya terdiam, tertegun. Lalu dia mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
___
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya bagi Ruri untuk berangkat ke kompetisi Pemuda Tangguh babak keempat, yang kali ini temanya adalah wawancara. Kedua belas kandidat akan diwawancarai oleh tim profesional tentang visi dan misi mereka. Dari sana, akan dipilih enam orang yang visi misinya paling sesuai dengan sosok pemuda tangguh yang dicari oleh program tersebut.
Sebelum pergi, Ruri berpamitan kepada Carlos. “Jangan khawatirkan apa pun, fokus saja pada lombamu,” pesan Carlos dengan senyuman yang menyembunyikan kecemasannya.
Namun, begitu Ruri hilang dari pandangan, ekspresi Carlos berubah. Wajahnya penuh ketegangan.
Carlos menatap ke luar jendela, pikirannya tenggelam dalam kegelapan yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. “Doppelganger,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Itu bukan hanya sekadar legenda atau cerita rakyat yang dia dengar dari masa lalu. Makhluk itu adalah sesuatu yang nyata, entitas gelap yang mampu mengusik eksistensi seseorang hingga pada batas yang tak terduga. Doppelganger bukanlah sekadar hantu yang meniru. Ia menyusup ke dalam kehidupan seseorang, mengambil alih keberadaan, seolah-olah dia adalah bagian dari dunia nyata. Orang-orang di sekitar tidak menyadari ada yang salah—seperti Ruri dan Arham. Ketika doppelganger muncul, ingatan semua orang tentang sosok itu akan terdistorsi, menciptakan ilusi bahwa dia adalah manusia yang sebenarnya, padahal kebenaran jauh lebih menyeramkan.
Carlos tahu lebih dari siapapun betapa berbahayanya Arham, bukan hanya karena kekuatannya sebagai roh gagak, tetapi juga karena kemampuannya memanipulasi ingatan dan realitas. Doppelganger seperti Arham merusak fondasi keberadaan, membuat orang-orang percaya akan sesuatu yang tidak pernah ada sejak awal. Dia seharusnya sudah menghilang sepenuhnya—serbuk emas yang pernah Carlos tebarkan berhasil memusnahkan hampir seluruh asap hitam Arham yang menyelimuti dunia maya dan meracuni hati manusia. Namun, jika Ruri masih mengingatnya, jika Arham masih hidup dalam pikirannya, berarti di suatu tempat, Arham belum benar-benar lenyap. Doppelganger itu entah bagaimana telah bertahan, menyusup lebih dalam daripada yang Carlos perkirakan.
“Seharusnya, ketika seorang doppelganger musnah, semua orang yang pernah mengenalnya akan melupakan keberadaannya,” pikir Carlos dalam hati. Tapi ini berbeda. Ruri tidak bisa melupakan Arham, meskipun segala jejaknya hampir musnah. Itu berarti sesuatu yang lebih mengerikan sedang terjadi. Arham mungkin bukan sekadar doppelganger biasa—mungkin ada kekuatan yang lebih kuat, lebih gelap yang menyertainya. Jika itu benar, maka pertarungan belum selesai. Arham, atau apa pun yang tersisa dari dirinya, masih ada di luar sana, bersembunyi di balik bayangan, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyerang. Carlos merasakan kegelisahan merambat ke dalam hatinya, menyadari bahwa ini adalah pertarungan yang jauh lebih panjang dan berbahaya daripada yang dia perkirakan sebelumnya.
___
Suatu malam, Carlos merasakan kehadiran makhluk-makhluk gaib. Dia yakin Arham kembali, tapi setelah mencium bau mereka, dia tersadar, itu bukan dia. Dan yang lebih membuatnya waspada, bukan hanya satu makhluk yang mendekat, melainkan ada... banyak!
Mereka datang dalam jumlah banyak, mendekatinya dengan niat jahat.
“Ini lebih buruk,” pikir Carlos dengan ketakutan.
Dengan cepat, kesadarannya menelusuri satu hal yang sangat jelas. Koin emasnya. Dia meraba dadanya dengan cemas, hanya untuk mengingat bahwa delapan dari sembilan koin emasnya telah hancur. Hanya tersisa satu, satu-satunya yang masih bersinar samar di dalam tubuhnya. “Koin-koin itu...," gumamnya, wajahnya menegang seketika. Sekarang dia sadar mengapa makhluk-makhluk gaib yang biasanya lemah, katak kecil, belalang, hingga kutu, mulai mendekatinya dalam jumlah banyak. Dengan koin emas yang tersisa satu, dia bukan lagi makhluk yang ditakuti seperti dulu. Spesialnya sebagai hantu kucing yang memiliki banyak nyawa kini telah sirna, membuatnya jadi lemah, rentan, dan menjadi sasaran empuk.
"Aku hanya memiliki satu nyawa tersisa..." pikirnya dalam kepanikan yang dingin. Koin-koin yang dulunya memberinya kekuatan dan kemampuan untuk bertarung kini tinggal kenangan. Makhluk-makhluk lemah yang seharusnya tidak berarti apa-apa baginya, kini melihatnya sebagai mangsa. Mereka tahu kelemahannya. Mereka tahu Carlos bukan lagi ancaman seperti dulu. Dengan satu koin yang tersisa, dia menjadi seperti mereka—rentan dan dapat dilukai. Dan makhluk-makhluk itu, meski lemah secara individu, dalam jumlah banyak, bisa menjadi bahaya nyata.
Ketegangan menggantung di udara ketika Carlos menyadari bahwa dirinya kini menjadi mangsa. Tanpa pikir panjang, tubuhnya bergetar, berubah ke dalam wujud aslinya—seekor kucing hitam yang gesit. Dalam sepersekian detik, bulu-bulunya berdiri, matanya menyala dalam kegelapan. Carlos melirik sekeliling, mencari celah untuk melarikan diri. Namun makhluk-makhluk gaib itu sudah mengepungnya. Belalang sembah dengan sabit kecil di kakinya, katak raksasa dengan lidah menjulur, dan kutu-kutu besar yang menempel di udara seperti butiran debu yang mengambang.
Carlos melesat cepat, kakinya yang lincah menghentak tanah, berharap bisa menerobos barikade makhluk-makhluk itu. Tapi mereka lebih cepat dari dugaannya. Katak besar melompat dengan lidah menjulur, hampir menangkapnya. Carlos berbelok tajam, melompat ke sisi lain, hanya untuk dihentikan oleh belalang sembah yang menerkamnya dari atas. Sabit belalang itu menggores sisi tubuhnya, mencabik bulu hitam Carlos, menyebabkan nyeri menusuk. Dia berusaha melawan dengan cakar, memukul belalang itu menjauh, namun semakin banyak makhluk kecil yang mendekat.
Dia kembali melompat, berusaha kabur, tapi kutu-kutu itu menyerangnya dari segala arah. Mereka menggigit, menancapkan taringnya ke kulitnya. Carlos merasakan darahnya disedot, tubuhnya terasa semakin lemas. "Tidak!" pikirnya panik. Dia mencoba sekali lagi melesat ke depan, tapi seolah-olah dinding tak terlihat menghadang langkahnya. Seekor ikan terbang datang dari belakang, menggigit bagian punggungnya. Rasa sakit menjalar, membuat tubuhnya limbung.
Carlos jatuh terjerembap ke tanah. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya penuh luka kecil dari gigitan dan serangan. Dia mencoba bangkit, namun tenaga di tubuhnya mulai habis. Makhluk-makhluk itu terus mendekat, satu demi satu, tanpa henti. Rasa takut mulai merayap di pikirannya. Dia tidak pernah merasa selemah ini, tidak pernah merasa terpojok seperti sekarang. Ketika dia mencoba berdiri, seekor katak menjulur lidahnya lagi, melingkari kaki Carlos dan menariknya ke bawah.
Dia mencakar-cakar tanah, berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Lidah katak itu menjeratnya semakin erat. Tubuh Carlos mulai terasa berat, penglihatannya mengabur. Dia tahu, jika serangan ini terus berlanjut, ini mungkin akhir baginya. Di tengah kesadarannya yang mulai hilang, Carlos mendengar langkah kaki mendekat.
Sesosok misterius muncul di tengah kabut yang tebal. Sosok itu mengusir semua makhluk gaib dengan mudah. Carlos, yang sudah hampir kehilangan kesadarannya, kembali berubah wujud menjadi manusia, lemah dan tak berdaya.
Sosok itu memapah Carlos dengan hati-hati. Perlahan, kabut yang menutupi wajah sosok itu mulai hilang. Ternyata, dia adalah ibu-ibu tetangga yang selalu bersikap sinis kepada Carlos dan Ruri.
Carlos yang pandangannya buram tak sanggup lagi mengenali sosok si ibu-ibu, terlebih suasananya yang berbeda dari biasanya yang resek dan bawel. "Kamu aman sekarang," dia hanya bisa mendengar sebuah suara yang gagal dikenalinya perihal disonansi antara kesadaran dan ketaksadaran mulai membayanginya. Satu hal yang pasti, suara itu tenang sehingga tampak meyakinkan. Dengan perasaan aman, Carlos pun menyerahkan dirinya dibawa dalam hangatnya dekapan itu.