SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Suasana ruang rapat OSIS di SMA Rimba Sakti terasa semakin menegangkan. Hari itu, mereka sedang membahas perayaan ulang tahun sekolah yang sebentar lagi akan digelar. Biasanya, rapat semacam ini berlangsung dengan lancar. Namun, semenjak insiden kebakaran di Balai Seni Rupa, ketegangan mulai terasa di antara para anggota. Semua orang terlihat cemas, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucap, tapi perlahan mengganjal di antara mereka.
Jihan Almaira, sang ketua OSIS, berdiri di depan ruangan dengan sikap tegas. Hari itu, ia mengenakan blazer OSIS berwarna hitam yang tampak serasi dengan sikapnya yang selalu tenang dan penuh wibawa. Namun, bahkan ketenangannya hari ini terasa agak terganggu. Ia membuka rapat dengan nada suara formal, “Kita punya waktu kurang lebih satu bulan untuk mempersiapkan ulang tahun sekolah. Saya harap semua yang terlibat di panitia siap bekerja sama dan memberikan yang terbaik.”
Di sebelahnya, Kevin Abimanyu, wakil ketua OSIS, duduk dengan pandangan tajam dan gelagat resah. Selama rapat, Kevin terus memainkan pulpen di tangannya, sesuatu yang jarang ia lakukan ketika ia merasa yakin. Ia menatap Jihan sesekali, seakan mencari sinyal untuk berbicara. Namun, suasana yang mencekam membuatnya menahan diri.
Aisyah, yang duduk tak jauh dari Kevin, melihat gelagat itu dan merasakan bahwa sesuatu tidak beres. Ia merasa ada ketidaksepakatan yang tertahan di udara. Jihan mungkin tidak menyadarinya, atau mungkin ia sengaja mengabaikannya, tapi Aisyah tahu kalau ketegangan ini tidak akan selesai begitu saja.
“Untuk bagian konsumsi, nanti kita minta sponsor dari beberapa katering lokal, aku udah urus kontaknya,” kata Nadya, yang bertanggung jawab atas konsumsi acara. Ia berbicara dengan lancar, namun nadanya juga terdengar agak kaku. “Tinggal nunggu konfirmasi dari pihak sekolah.”
“Bagus, Nadya. Pastikan anggarannya sesuai ya,” sahut Jihan tanpa senyum, matanya tetap fokus pada catatan yang ia pegang.
Kemudian, tiba giliran Kevin untuk melaporkan bagian logistik acara. Ia berdiri dengan cepat, matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya memandang Jihan.
“Ada masalah terkait lokasi acara,” katanya, suaranya terdengar sedikit lebih keras dari biasanya. “Rencana awal kita pakai lapangan utama, tapi setelah kebakaran di Balai Seni, sekolah mulai membatasi penggunaan area sekitar lapangan. Saya udah coba bicara sama pihak keamanan, tapi mereka bilang itu keputusan tetap. Jadi kita harus cari lokasi alternatif.”
Ruang rapat mendadak hening. Informasi dari Kevin jelas menjadi berita buruk bagi semua orang yang terlibat di acara. Rencana untuk mengadakan acara besar di lapangan utama adalah titik fokus dari seluruh persiapan. Tanpa lapangan, mereka harus mengubah banyak hal dalam waktu yang sangat terbatas.
“Terus kenapa baru sekarang kamu bilang ini, Vin?” tanya Jihan dengan nada yang agak menajam, matanya menatap Kevin dengan tajam.
Kevin mendengus sebal. “Aku baru tau kemarin. Lagian, ini bukan salahku kalau sekolah tiba-tiba mengubah kebijakan mereka. Kita semua tau insiden kebakaran itu bikin pihak sekolah jadi lebih ketat.”
“Kamu harusnya kasih tau lebih cepat!” balas Jihan dengan suara yang mulai meninggi. “Kita butuh waktu nek mau cari lokasi lain. Kita udah nggak punya banyak waktu lagi.”
Aisyah memperhatikan percakapan itu dengan cermat. Biasanya, Kevin dan Jihan bekerja dengan sangat baik sebagai tim. Mereka selalu punya cara untuk menyelesaikan perbedaan pandangan. Tapi hari ini, ketegangan di antara mereka tampak jelas. Sepertinya kebakaran Balai Seni Rupa telah mengguncang mereka semua lebih dari yang terlihat di permukaan.
“Sekarang kita fokus cari solusi, bukan saling menyalahkan,” sahut Aisyah mencoba menenangkan suasana. “Aku setuju, ini masalah yang besar, tapi kita harus gerak cepat. Mungkin kita bisa alihkan acara ke aula sekolah atau bahkan ke taman belakang atau kita juga masih bisa pakai gymnasium.”
Kevin menatap Aisyah sejenak, lalu mengangguk. “Gymnasium bisa jadi pilihan tepat, cuman itu ada di samping balai seni, kemungkinan nggak dikasih izin itu tinggi. Aula bisa jadi opsi, tapi nggak cukup luas untuk semua acara. Taman belakang... bisa, tapi kita butuh waktu untuk atur semuanya. Panggung, dekorasi, semua harus diatur ulang.”
Jihan masih tampak kesal, namun ia mencoba mengendalikan emosinya. “Oke, Kevin, segera pastikan kalau taman belakang bisa digunakan. Aisyah, kamu bantu Kevin urus dekorasi. Kita nggak punya banyak waktu, jadi tolong semua gerak cepat.”
Suasana di ruang rapat kembali sedikit tenang, namun ketegangan belum sepenuhnya hilang. Semua anggota OSIS mulai mendiskusikan tugas mereka masing-masing, tetapi di tengah percakapan kecil itu, ada bisikan pelan yang mulai terdengar. Nadya dan Aisyah saling bertukar pandang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Setelah beberapa menit, suasana rapat mulai sedikit cair. Para anggota OSIS saling bertukar pendapat mengenai perubahan tempat acara. Beberapa mengusulkan agar mereka menyederhanakan beberapa segmen acara supaya taman belakang bisa menampung semua kegiatan yang telah direncanakan. Namun, ketegangan antara Jihan dan Kevin masih terasa menggantung.
Sementara itu, Nadya memperhatikan sekeliling dengan cermat. Ia selalu peka terhadap dinamika antar anggota OSIS, dan hari ini ada sesuatu yang benar-benar berbeda. Raut wajah Kevin yang biasanya tenang terlihat jelas penuh tekanan, dan Jihan juga tampak lebih tegang dari biasanya. Nadya merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan lokasi acara.
“Kita harus ngomong empat mata nanti, Mbak,” Kevin tiba-tiba menyela ketika diskusi mulai mengendur. Ia menatap Jihan dengan tajam, tak lagi bisa menahan emosinya. “Ini soal yang lebih penting dari sekadar acara ulang tahun.”
Jihan menatapnya balik, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang dimaksud Kevin, tapi ia enggan membahasnya di depan anggota yang lain. “Nanti kita bahas,” jawab Jihan singkat, lalu segera melanjutkan rapat tanpa memberi ruang untuk perdebatan lebih lanjut.
Aisyah yang duduk di antara mereka merasa suasana menjadi semakin berat. “Kevin, kita bisa mulai rancang konsep dekorasi besok. Aku bakalan hubungi vendor-vendor yang bisa bantu kita cepat,” ucap Aisyah, mencoba mengalihkan perhatian Kevin.
Namun Kevin tetap diam dan hanya mengangguk tanpa ekspresi, seolah pikirannya sedang sibuk dengan hal lain. Aisyah merasa ada sesuatu yang salah, tapi memilih untuk tidak mengungkitnya sekarang.
Rapat mulai berakhir, dan satu per satu anggota OSIS beranjak dari tempat duduk mereka, siap untuk melaksanakan tugas masing-masing. Hanya Kevin, Jihan, dan Aisyah yang tetap tinggal di ruang rapat.
Setelah pintu tertutup, Kevin akhirnya membuka mulut. “Ini bukan cuma tentang ulang tahun sekolah,” katanya serius. “Kebakaran itu bukan kecelakaan. Aku yakin ada yang nggak beres.”
Jihan menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu, Kev. Tapi kita nggak bisa melibatkan semua orang dalam masalah ini. Ini urusan yang lebih besar daripada kita.”
Aisyah yang mendengar itu, langsung merespon dengan cepat. “Tunggu, kalian berdua tahu sesuatu soal kebakaran itu? Kenapa nggak dibahas di depan kita semua tadi? Kita bisa bantu kalau ada yang perlu diselidiki.”
Jihan memandang Aisyah dengan ragu, namun akhirnya menjawab, “Masih terlalu dini untuk bilang, Syah. Ini masalah yang bisa berujung buruk kalau salah langkah.”
Kevin kemudian menambahkan, “Aku nggak yakin kita bisa percaya semua orang, bahkan beberapa orang di sekolah ini. Ada yang nggak beres, dan aku yakin kebakaran Balai Seni itu bukan cuma kecelakaan listrik biasa. Cuman kita butuh bukti konkret.”
Aisyah terdiam, otaknya memproses informasi tersebut dengan cepat. Ketegangan yang dia rasakan sepanjang rapat ternyata berasal dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Namun, kalau benar ada sesuatu yang disembunyikan, mereka harus berhati-hati dalam bertindak.
“Nggak ada salahnya kita mulai cari tau pelan-pelan,” kata Aisyah akhirnya, suaranya terdengar lebih tenang. “Kita bisa mulai dari tempat kejadian. Cari saksi atau petunjuk yang mungkin terlewat.”
Jihan akhirnya mengangguk. “Iya lebih baik gitu, tapi jangan libatin yang lain dulu. Kita selesaiin masalah ini dengan hati-hati.”
Aisyah dan Kevin sepakat. Mereka bertiga akhirnya meninggalkan ruang rapat dengan satu tujuan: mengungkap kebenaran di balik kebakaran yang mengguncang SMA Rimba Sakti.
...—o0o—...
Di saat yang sama ketika OSIS masih sibuk dalam rapat, Rian memutuskan untuk menyelidiki kasus kebakaran Balai Seni Rupa sendirian. Langkahnya cepat, meski sepanjang perjalanan dia terus menggerutu pelan.
"Kenapa aku ndak bisa ikut rapat OSIS aja sih? Alasannya menemani teman, gitu. Lagi-lagi mereka ngebiarin aku di luar," gumamnya dengan wajah kesal. "Padahal gue yang paling sering dapet gosip-gosip penting..."
Setelah beberapa menit mengelilingi lorong-lorong sekolah, Rian terhenti di depan Balai Seni Rupa yang sudah dipasangi police line. Dia memperhatikan keadaan sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikannya.
Namun, sebelum dia sempat mendekat lebih jauh, seorang siswi kelas 12 tiba-tiba menghampirinya. "Eh, Rian! Ngapain di sini sendirian?" tanya siswi itu dengan senyum hangat.
Rian tertegun sejenak, mencoba mencari alasan. "Ah, gak... cuma liat-liat aja. Lagi kepo soal kebakaran kemarin," jawabnya setengah malas. Dia menyadari ada yang aneh, tapi tetap menjaga agar percakapan tetap ringan.
Siswi itu tertawa kecil, tapi tatapannya terasa penuh arti. "Hati-hati, ya. Kadang rasa penasaran itu bisa bahaya," ucapnya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Rian dengan perasaan ganjil.
Rian memandangnya sampai menghilang di tikungan, kemudian bergumam pada dirinya sendiri, "Apa maksudnya? Kok dia tau-tau ngomong begitu..."
Dengan perasaan makin curiga, Rian bertekad untuk menyelidiki lebih dalam, walaupun kini dia tak bisa mengabaikan peringatan misterius dari siswi tersebut.
...—o0o—...