Setelah orang tua nya bercerai, Talita dan kedua adiknya tinggal bersama ibu mereka. Akan tetapi, semua itu hanya sebentar. Talita dan adik-adik nya kembali terusir dari rumah Ibu kandung nya. Ibu kandungnya lebih memilih Ayah tiri dan saudara tiri nya. Bukan itu saja, bahkan ayah kandung mereka pun menolak kedatangan mereka. Kemana Talita dan adik-adik nya harus pergi? Siapa yang akan menjaga mereka yang masih sangat kecil? Jawaban nya ada di sini. Selamat membaca. Ini novel kedua ku ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uul Dheaven, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Talita dan dua orang adik nya tiba di rumah kontrakan milik Ayah nya. Di depan rumah itu, Ibu tiri mereka sedang berjualan sembako di kios kecil itu.
"Ada apa kalian ke sini?" Tanya nya dengan wajah sinis.
"Kami mau bertemu dengan Ayah. Apa Ayah ada?"
"Tunggu diluar! Dan jangan masuk."
"Iya."
Ibu tiri yang bertampang judes itu langsung memanggil Ayah mereka. Anton datang dengan bayi mungil di dalam gendongan nya.
"Ada apa?"
"Ibu bilang, Tasya dan Tania akan tinggal di sini yah." Ucap Talita pelan.
"Apa? Tidak bisa. Rumah kami sempit."
Bukan Ayah mereka yang menjawab, akan tetapi Ibu tiri yang sedari tadi tidak beranjak dari sisi mereka.
"Kenapa tidak tinggal dengan Ibu kalian? Rumah itu Ayah berikan untuk nya agar ia bisa merawat kalian. Dan sekarang, kalian malah ingin tinggal di sini. Maaf ya Talita, rumah kami sempit."
Memang benar, rumah yang ditempati Ibu dan ayah tiri nya itu adalah rumah mereka. Naina meminta rumah itu karena memiliki alasan tersendiri. Dan anak-anak nya lah yang menjadi alasan itu.
Namun sekarang, anak-anak yang memiliki hak dirumah masa kecil mereka, harus terusir demi menyenangkan suami dan anak tiri Naina. Entah kemana hati nurani nya sebagai seorang ibu.
"Lalu, kami harus kemana lagi Ayah? Bukankah ini adalah kewajiban kalian?"
"Kewajiban? Mengapa baru sekarang kau bicara? Bukan kah ayah sudah memberikan mu pilihan waktu itu? Mengapa tidak mau ayah jodohkan?"
"Ayah mau menju al aku. Bukan menikah kan ku. Apa tidak ada sedikit pun rasa iba di hati Ayah untuk kami?"
"Maaf Talita, ayah nggak bisa. Kecuali kalau kau mau menyetujui perjanjian kita waktu itu."
Talita menghembuskan nafas nya kasar. Jika ia menikah dengan ban dot tua itu memang kehidupan nya akan nyaman. Namun, bagaimana dengan adik-adik nya?
Bukan tidak mungkin suatu saat nanti adik-adik nya yang akan menjadi korban. Talita tidak ingin hal itu terjadi.
"Terima kasih untuk penolakan ini Ayah."
Setelah berkata seperti itu, mereka pun kembali pergi menelusuri jalan sambil membawa koper di tangan masing-masing. Tasya yang masih kecil hanya membawa tas kecil miliknya.
"Talita? Kamu mau kemana bawa-bawa koper begini."
"Bagas? Mm.. Anu, aku."
"Yuk naik aku antar."
"Tapi,"
"Kak, Tasya capek. Boleh kan kita naik aja. Tasya juga udah haus dan lapar."
Ucapan polos Tasya membuat Talita sedih. Harus nya ia mengerti kalau Tasya tidak mungkin sanggup untuk berjalan jauh.
"Oke. Boleh kami naik?"
"Ya kali nggak boleh trus aku nawarin. Naik gih."
Bukan tanpa sebab Talita seperti ini. Menurut yang ia lihat, Bagas adalah tipe laki-laki yang cuek saat di sekolah. Ia selalu mengabaikan setiap wanita yang mendekat.
Laki-laki yang akan tantrum jika di dekati oleh seorang wanita. Ia tidak akan peduli wanita itu akan terluka atau pun tidak. Toh ia punya kuasa atas segalanya.
"Bagas, aku boleh minta tolong? Tapi kalau kamu nggak bisa ya nggak apa juga sih. Maaf ya aku terlalu merepotkan kamu."
"Apaan sih Talita. Belum juga aku jawab kamu main nyosor aja gitu. Emang mau di bantuin apa?"
"Kamu, ada kenalan nggak yang punya bisnis kontrakan?"
"Kamu mau cari kontrakan?"
"Iya. Kalau bisa yang harga nya murah. Sempit nggak apa sih."
Entah mengapa Talita senyaman itu bisa bicara dengan manusia tercuek di sekolahnya.
Tanpa menunggu lama Bagas langsung membawa mereka ke sebuah tempat yang di penuhi dengan rumah kontrakan.
"Sudah sampai. Ini tempat nya."
"Terima kasih ya Bagas."
"Sama-sama."
Setelah berkata seperti itu, Bagas pun langsung pergi meninggalkan mereka di sana. Talita langsung mencari pemilik kontrakan itu.
"Permisi pak."
"Iya dek, ada yang bisa di bantu?"
"Apa ada kontrakan yang kosong pak?"
"Adik ini sama siapa? Mana orang tua kalian?"
"Hmm, kami cuma bertiga pak. Orang tua kami sedang bekerja. Jadi, kami yang harus mencari rumah kontrakan."
"Hmm, begitu ya. Memang mau rumah yang bagaimana?"
"Yang paling murah pak. Nggak apa sempit yang penting bisa untuk berteduh."
"Yuk ikut bapak biar bapak perlihatkan. Oh ya nama bapak Sudirman. Panggil saja Pak Man.
" Saya Talita pak. Ini adik-adik saya. Yang paling kecil bernama Tasya. Dan ini Tania."
Mereka bertiga pun mengikuti arah Pak Man berjalan. Satu persatu rumah di lewati begitu saja. Dan terakhir mereka tiba di rumah yang sangat sempit, kecil dan begitu kotor.
"Ini rumah nya ya dek. Sebulan lima ratus ribu saja."
"Wah, terima kasih pak."
"Iya sama-sama."
Setelah melunasi rumah kontrakan, Talita mulai membersihkan rumah yang sangat kotor itu. Rumah itu sangat kecil sehingga hanya memiliki satu kamar. Pintu depan dan pintu belakang saling terhubung.
Begitu pula dengan ruang keluarga dan dapur menjadi satu. Tidak ada privasi. Tapi Talita bersyukur hari ini mereka bisa tinggal di sini untuk sementara.
Uang tabungan nya mungkin masih cukup untuk beberapa bulan ke depan. Dengan kondisi seperti ini, tidak mungkin ia masih bisa melanjutkan sekolah nya.
"Kak, sekolah nya Tania gimana?"
"Sebentar ya."
Talita membuka satu persatu koper milik adik-adik nya. Ia begitu terkejut melihat seluruh surat-surat berharga milik adik-adik nya telah lengkap berada di sana.
Ternyata Ibu nya se niat itu ingin mereka pergi dari hidup nya. Bahkan, wanita yang mereka sebut ibu lebih suka mengurus anak tiri nya sendiri dan menelantarkan anak kandung nya.
Entah Talita sanggup mengurus semua nya sendiri. Bahkan, untuk sekolah nya saja ia bingung harus bagaimana. Sedangkan sekarang, adik-adik nya juga menanyakan hal yang sama.
Apa yang harus ia lakukan?