Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kedatangan Randy
Kenneth baru saja selesai memasak sarapan untuk dirinya dan Calista. Aroma masakan yang menggiurkan memenuhi ruang dapur, menggoda selera. Dengan penuh rasa bangga, ia membayangkan bagaimana Calista akan tersenyum saat melihat hidangan yang telah ia siapkan. Dengan semangat, Kenneth naik ke lantai atas untuk membangunkan Calista.
Ketika membuka pintu kamar dan menyalakan lampu, ia hanya bisa menggelengkan kepala melihat posisi tidur Calista yang telah berubah menjadi miring, menguasai kasur. Calista tampak manis dengan wajah yang damai, namun Kenneth tahu betul bahwa dia harus segera bangun untuk sarapan.
“Cal, bangun yuk,” panggil Kenneth lembut.
“Hmmm, nanti,” gumam Calista dengan mata yang masih terpejam.
“Udah waktunya sarapan, yuk bangun,” Kenneth berusaha membangunkan Calista, tetapi Calista tak kunjung bergerak. Melihat Calista yang tidak merespon, Kenneth memutuskan untuk mencoba cara lain. Ia mulai menggelitik tubuh Calista, dan tak lama kemudian, suara tawa Calista terdengar memenuhi ruangan.
“Hahahaha, udah udah, iya aku bangun,” kata Calista menyerah.
“Ayo turun, aku sudah masak buat kamu,” ajak Kenneth sambil mengulurkan tangannya. Calista, dengan sedikit kesal namun senang, menerima uluran tangan Kenneth.
Mereka berdua segera turun ke lantai bawah, dan Kenneth merasa bangga melihat hidangan yang telah ia siapkan. Saat mereka duduk di meja makan, Kenneth tidak bisa menahan senyumnya. “Kuncir dulu rambut kamu,” suruhnya. Calista pun segera menguncir rambutnya dengan rapi.
Calista dengan perlahan-lahan melahap makanan yang Kenneth buat. Makanan buatan Kenneth memang enak, namun tiba-tiba wajahnya berubah.
“Huekk…”
“Cal? Gak enak ya?” Tanya Kenneth khawatir, melihat raut wajah Calista yang pucat.
“Huekk…” Calista pun segera berlari ke kamar mandi, dan Kenneth mengikuti dengan panik.
“Pelan-pelan! Nanti kamu jatuh!” teriak Kenneth, berusaha menjaga agar Calista tidak terjatuh saat berlari.
Di kamar mandi, Calista memuntahkan semua isi perutnya. Kenneth hanya bisa pasrah melihatnya. Ia tahu betapa tidak enaknya melihat orang yang dicintainya menderita.
“Maaf ya, Ken. Bukan nggak enak, tapi perut aku nggak bisa nerima makanan yang masuk,” jelas Calista dengan suara lemah, merasa tak enak hati kepada Kenneth.
“Iya kok, aku ngerti,” jawab Kenneth dengan lembut, tetap di samping Calista yang masih berjuang melawan rasa mualnya.
Tiba-tiba, bel rumah mereka berbunyi, dan Calista serta Kenneth saling bertatap-tatapan.
“Siapa ya? Kok tumbenan jam segini udah ada tamu?” Tanya Kenneth bingung.
“Nggak tau juga. Coba kamu tolong bukain pintunya,” suruh Calista, sambil berusaha menenangkan perutnya.
“Yaudah, kamu kalau masih mual, selesaikan dulu aja,” ujar Kenneth, lalu ia bergegas menuju pintu utama untuk membukanya.
“Permisi,” sapa seorang laki-laki di depan pintu.
“Ada apa ya?” Tanya Kenneth, curiga.
“Apa benar ini rumah Calista?” tanyanya kembali.
“Benar, ada keperluan apa sama istri saya?” tanya Kenneth, sambil merasa was-was.
“Ken, siap—Randy!” Calista terkejut saat melihat Randy, kekasihnya, sudah berada di depan pintu rumah. “Randy?!” gumam Kenneth kaget saat mendengar nama itu.
“Hai, selamat ya atas pernikahan kalian...” ucap Randy dengan nada datar, membuat Kenneth dan Calista semakin terkejut.
“K-kamu kapan pulang?” Tanya Calista gugup, tidak menyangka Randy akan kembali secepat ini.
“Dua hari lalu,” jawab Randy dengan tenang, namun matanya penuh rasa kecewa.
“Ayo masuk, nggak enak kalau ngobrol di depan pintu begini,” ajak Kenneth, berusaha menjaga suasana tetap tenang.
“Gue nggak ganggu jam pagi kalian berdua kan?” Tanya Randy, memastikan.
Kenneth menggelengkan kepala. “Enggak, silakan masuk.”
Randy melangkah masuk ke rumah mereka dan duduk di ruang tamu. Sementara itu, Kenneth pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman, merasa ada ketegangan di udara. Calista duduk di sofa, merasa cemas dan tidak berdaya di hadapan Randy.
Randy menatap Calista dengan tajam, dan Calista hanya bisa menunduk lemas. Perasaannya semakin tidak enak. Dalam hati, ia merasa bersalah, menyesal atas apa yang telah terjadi.
“Hebat kamu, Cal. Aku di Jerman, kamu selingkuh,” ujar Randy dengan nada dingin, membuka pembicaraan.
“Ta... maaf, aku g—”
“Gak bermaksud? Gak bermaksud apa?! Kalo nggak bermaksud, gimana mungkin bisa hamil, Cal! Kamu gila ya?” Randy meninggikan nada bicara, kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
“Dengerin penjelasan aku dulu, Randy!” Calista mulai menangis, tak menyangka jika Randy akan mengetahui semuanya secepat ini.
“Gak ada yang perlu aku dengerin, Cal! Kamu itu pengkhianat! Kamu janji sama aku akan menunggu aku pulang dari Jerman dan berjuang bareng, tapi sekarang kamu malah nikah sama laki-laki lain!” Suara Randy semakin meninggi, kemarahan dan kesedihannya bercampur aduk.
Calista tidak bisa mengungkapkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya. Ia tahu bahwa apa yang dia lakukan sangat salah. Namun, perasaannya terhadap Kenneth tidak bisa diabaikan. Rasa bersalah semakin menumpuk di dadanya.
“Randy, aku minta maaf. Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti kamu. Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri,” Calista berusaha menjelaskan, meskipun suaranya bergetar.
Randy hanya terdiam, menatap Calista dengan tatapan tajam. “Kamu tahu apa yang aku rasakan? Aku berjuang sendirian di Jerman, berusaha membangun masa depan kita. Tapi ketika aku kembali, aku mendapati bahwa kamu sudah membangun masa depan dengan orang lain. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku?”
Calista merasa hatinya teriris mendengar kata-kata Randy. Ia tahu semua ini adalah kesalahan yang sangat besar. “Aku... aku minta kamu percaya, Randy. Aku terjebak dalam keadaan yang tidak bisa aku kontrol. Aku ingin menjelaskan semuanya,” ujarnya dengan suara penuh harap.
“Terlambat, Cal! Semuanya sudah terlambat!” teriak Randy, tidak bisa menahan emosinya. Ia berdiri dan mengacak rambutnya, berusaha menenangkan diri. “Kamu tidak tahu betapa sakitnya melihat kamu bersenang-senang dengan Kenneth sementara aku di sana, berpikir tentang masa depan kita.”
Calista merasa tercekik oleh kesedihan. Dia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya bagi Randy. “Aku akan menjelaskan semuanya, Randy. Tolong dengarkan aku,” pintanya dengan suara lirih.
Kenneth yang kembali dengan minuman, merasakan ketegangan di antara mereka. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredakan situasi ini. “Mungkin kita semua butuh waktu untuk merenung,” ujarnya berusaha memecah keheningan yang menyakitkan.
Namun Randy tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. “Gak ada yang perlu direnungkan! Calista, kamu harus memilih. Antara aku atau dia!”
Suara Randy menggema di ruangan, membuat Calista merasa terpojok. Ia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari keputusan yang salah. Tapi ia juga tahu, hatinya berada dalam keadaan yang kacau. Dalam dirinya ada perasaan cinta untuk Randy, namun juga ada perasaan yang tak bisa ia pungkiri terhadap Kenneth.
Calista menunduk, air mata mengalir di pipinya. “Randy, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Aku bingung dengan semua ini,” ujarnya dengan suara tercekat.
Randy menggelengkan kepala. “Kalau kamu bingung, berarti kamu sudah punya jawabannya. Kenapa kamu harus berbohong? Kenapa kamu harus selingkuh?”
Calista merasa seluruh dunia seakan runtuh. “Aku tidak pernah bermaksud untuk selingkuh! Aku… aku bingung dengan perasaanku. Kenneth di sini dan aku merasa nyaman, sementara kamu jauh di sana.”
“Jadi itu alasan kamu? Kenyamanan? Kamu pikir aku di Jerman hanya untuk bersenang-senang?” tanya Randy penuh emosi, tampak kecewa.
Kenneth menatap Calista, kemudian beralih menatap Randy. “Randy, mari kita tenangkan diri. Kita semua sedang dalam keadaan sulit,” ujarnya mencoba meredakan ketegangan.
“Gak ada yang bisa tenang di sini, Ken! Ini tentang perasaan kita!” balas Randy, suaranya masih penuh kemarahan.