keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Memberitahu Zahra
Setelah urusannya dengan Gus Zidan selesai, Aza kembali ke pesantren dengan langkah ringan. Namun, dari kejauhan, ia melihat Farah yang sedang berdiri di luar, dan begitu Farah melihat Aza, ia langsung bergegas mendekatinya dengan ekspresi serius.
“Dari mana saja kamu? Kenapa bisa keluar tanpa izin?” Farah mulai mencerca Aza dengan berbagai pertanyaan, nadanya terdengar tegas dan penuh kecurigaan.
Aza hanya mengangkat bahu dengan santai, tampak tidak terpengaruh oleh kemarahan Farah. “Memang semua hal yang aku kerjakan harus laporan sama kamu ya!?"
Farah semakin kesal dengan sikap Aza yang terlihat cuek. “Kamu nggak tahu aturan pesantren, ya? Santri nggak boleh keluar tanpa izin! Apalagi sampai ke rumah luar!”
Aza menguap kecil, lalu menanggapi dengan nada tenang. “Santai aja, lagian juga nggak lama. Udah balik, kan? Nggak usah lah dipermasalahkan.” Jawaban Aza yang begitu ringan membuat Farah semakin geram.
“Aza, ini serius! Kamu harus taat pada peraturan di sini!”
Aza hanya tersenyum tipis, lalu dengan nada setengah bercanda berkata, “Ya, Mbak Parah, aku tahu kok. Tapi kan, aku juga nggak mau lama-lama di sini. Kalau mau usir sekarang, boleh banget."
Farah terdiam sejenak, mencoba menahan amarahnya, tapi jelas dari sorot matanya bahwa Aza sudah membuatnya benar-benar kesal.
Aza mengangkat bahunya dengan acuh, lalu memilih berlalu begitu saja tanpa mempedulikan Farah yang masih menatapnya dengan kesal. Langkahnya santai seolah tidak terjadi apa-apa, sementara Farah hanya bisa mengerutkan kening, merasa diabaikan.
"Dasar , awas saja aku tidak akan membuatmu tenang tinggal di pesantren ini," gumam Farah pelan dengan nada geram, namun Aza tidak menoleh sedikit pun. Ia terus berjalan, menuju kamarnya dengan ekspresi penuh kelegaan, senang karena berhasil lolos dari rentetan pertanyaan Farah.
Di dalam hati, Aza tahu bahwa tindakannya tadi mungkin akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tetapi untuk saat ini, ia tidak ingin memikirkannya.
"Biar saja lah," pikirnya, "selama aku bisa bebas sedikit, nggak masalah."
Sesampainya di kamar, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik napas panjang, dan tersenyum tipis. Ia mengingat kejadian yang tadi terjadi di rumah Gus Zidan.
Kenapa jantungku berdetak sih tadi? batin Zahra sembari mengingatkan kejadian tadi.
"Nggak mungkin kan aku jatuh cinta sama dia? Ini nggak baik, aku hanya terbawa suasana aja tadi." gumamnya pelan.
Laila yang baru kembali dari kamar mandi tidak sengaja mendengar gumaman dari Aza, "Jatuh cinta sama siapa, Za?"
"Ahhh, itu. Tadi nggak sengaja dengar obrolan para santri." sahut Aza.
"Segeralah mandi, kamar mandinya sudah nggak antri." ucap Laila sambil mempersiapkan diri.
"Baiklah, aku akan segera mandi."
"Ya udah aku duluan ke kelas ya, soalnya piket." ucap Laila yang sudah siap.
"ya, pergilah."
Kamar kembali hening saat Laila kembali keluar, Aza pun kembali duduk dan bersiap untuk mengambil handuk, tapi kemudian ia teringat dengan tas pribadinya, terutama ponselnya, yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.
"Kira-kira Gus Zidan tahu nggak ya dimana tas dan ponselku!?" Pikirannya berputar, bertanya-tanya di mana tas itu berada.
"Apa mungkin tasku dibawa pulang oleh Paman Amir?" gumamnya lagi pelan. Aza menggigit bibirnya, menyesali kebodohannya yang tidak bertanya sejak awal.
"Kenapa aku nggak minjam ponselnya Gus Zidan buat menghubungi ponselku?" gerutunya pada diri sendiri, merasa bodoh karena melewatkan kesempatan. Baju-baju yang ia kenakan sekarang semuanya baru, hasil pemberian Gus Zidan. Namun, tanpa tas dan ponsel pribadinya, ia merasa seperti kehilangan sebagian identitasnya.
"Bagaimana kalau paman benar-benar membawa pulang tasku?" pikirnya.
Aza mulai berpikir, mungkin besok ia bisa kembali ke rumah yang baru direnovasi itu. karena kemungkin besar ia bisa bertemu dengan Gus Zidan di sana.
“Ya, besok aku ke sana lagi. buat nanyain soal tasku," gumam Aza. Meskipun ia tahu pertemuannya dengan Gus Zidan mungkin akan diselingi godaan, Aza tak punya pilihan lain. Bagaimanapun, hanya Gus Zidan yang bisa membantunya sekarang.
Aza pun bergegas mengambil handuknya dan segera menuju ke kamar mandi saat memperhatikan pesantren sudah sepi, sepertinya para santri sudah menuju ke kelas untuk memulai Diniyah sore.
***
Di tempat lain, Ustad Zaki duduk termenung di ruang tamu, mengaduk pikirannya yang masih bergejolak. Ia belum menemukan keberanian untuk memberitahu Zahra, istrinya, tentang pernikahan putri mereka. Pikiran itu terus menghantuinya. Ia menghela napas panjang, merasa semakin berat untuk membuka percakapan yang pasti akan memicu emosi.
Zahra, yang sudah mulai curiga dengan sikap suaminya selama beberapa hari terakhir, akhirnya tak tahan lagi. Ia memutuskan untuk mendekatinya. Melihat Ustad Zaki terdiam dalam lamunannya, Zahra duduk di sampingnya dan memulai percakapan.
“Mas Zaki, ada apa? Akhir-akhir ini kamu sering melamun dan terlihat gelisah. Ada yang ingin kamu ceritakan padaku?” tanyanya lembut, meski ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya.
Ustad Zaki terdiam sejenak, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia tahu inilah saatnya, tidak bisa lagi ditunda. Zahra berhak tahu, tapi mengungkapkan kabar tentang pernikahan putri mereka dengan cara yang tepat tidaklah mudah.
“Dek Zahra…,” Ustad Zaki memulai dengan suara rendah, namun tetap belum yakin bagaimana melanjutkan. “Ada sesuatu yang harus aku sampaikan padamu, dan aku minta kamu untuk tenang mendengarnya.”
Wajah Zahra mengerut, jelas terlihat semakin cemas, namun ia tetap menunggu suaminya melanjutkan.
Ustad Zaki menarik napas panjang. "Ini tentang pernikahan... putri kita."
Zahra tertegun, matanya membelalak mendengar kata "pernikahan" keluar dari mulut suaminya. Pikirannya langsung berputar-putar, mencoba memahami maksud dari ucapan Ustad Zaki. Selama ini, yang ia tahu, suaminya hanya mengirim putri mereka ke pesantren, bukan menikahkannya.
"Mas Zaki… pernikahan? Apa maksudmu?" Suaranya bergetar, antara kaget dan bingung. "Bukankah Aza dikirim ke pesantren? Bagaimana bisa bicara tentang pernikahan?"
Zahra masih berusaha mencerna informasi itu, hatinya mulai didera perasaan campur aduk—takut, marah, dan kecewa. Ia menatap suaminya, berharap penjelasan yang lebih masuk akal.
Ustad Zaki menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Iya, memang awalnya Aza dikirim ke pesantren. Tapi… ada situasi yang membuatku harus mengambil keputusan cepat. Aza sudah menikah, dek."
"Menikah? Kok bisa? Sama siapa?" tanya Zahra dengan cepat.
"Aku menikahkannya dengan Gus Zidan."
Zahra terdiam, tubuhnya terasa kaku seolah waktu berhenti. Hatinya tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Menikah? Dengan Gus Zidan? Mas, kenapa kau tak memberitahuku? Bagaimana bisa kau memutuskan hal sebesar ini sendirian?”
Zahra merasa hatinya bergetar hebat, perasaan kecewa semakin mendominasi dirinya.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....