Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemalangan
Rasa sakit akibat membentur dinding ruangan, menyadarkan Seira dari lamunan. Ia tersentak dengan napas memburu hebat. Rasa sesak akibat sakit yang merebak, membuatnya kehilangan pasokan udara beberapa saat lamanya.
Rupa-rupanya, ia masihlah berdiri dibalik pintu ruangan tersebut. Bergeming tanpa melakukan apapun jua, kejadian tadi hanyalah buah pemikirannya saja.
Kenapa aku sampe mikirin hal yang kayak gitu? Ya Allah ....
Seira membatin, ia mengurut dadanya perlahan sambil memejamkan mata. Menahan sakit yang tiada tara dari laki-laki yang ia cinta benar-benar menguras energi dalam tubuhnya.
Belum lagi mental yang tak siap menerima kenyataan bahwa dia telah dikhianati. Air kembali mengucur dari pelupuk, jemarinya meremas sedikit kuat bagian dada kirinya yang terasa berdenyut.
Seira tak bisa melakukan apapun, hanya bisa mengumpat dalam hati. Tubuhnya luruh di lantai, dikala suara desah*n dan erangan kembali menjejali telinga. Dia tersadar bahwa semua yang didengarnya bukanlah halusinasi. Itu semua nyata adanya.
Wanita bermata lentik itu meremas perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri, di kejauhan Jago tak tega melihat kondisi sang majikan yang menyedihkan. Ia mondar-mandir antara menghampiri atau tetap berdiri.
Seira merintih, kalimat-kalimat yang diucapkan suaminya terus berdenging di telinga, menusuk segumpal daging dalam dada. Terkoyak semua rasa. Nyeri itu semakin terasa dikala perkataan sang suami selanjutnya semakin mencabik hati.
"Yah, kamu benar. Lagian juga dia nggak bisa ngerawat diri, udah semakin tua dan jelek. Beda sama kamu, yang keliatan cantik tiap hari. Mungkin nanti malam aku akan menceraikan dia dan mengusirnya dari rumah, dan kamu ... akan jadi nyonya di rumah itu. Satu-satunya."
Suara yang berbarengan dengan napas terputus-putus itu sungguh membuat hati Seira semakin remuk redam. Disusul erangan panjang sesaat setelah Zafran menyelesaikan kalimat kejamnya. Deru napas mereka berbaur seolah-olah tidak peduli pada semua karyawan yang akan mendengar.
"Benar, ya, Mas. Awas kalo boong." Suara manja yang mendayu-dayu dari Lita bersambut pekikan mesra dari keduanya pun tak dapat diabaikan telinga Seira.
Ia memburu udara ketika rasa sakit di perut semakin menjadi-jadi. Diremasnya dengan sedikit kuat berharap akan mengurangi rasa yang mencabik tubuhnya itu. Namun, tetap saja, pedih yang meleburkan asa itu menikam-nikam jiwanya.
Ia mulai melenguh pendek, perih dalam hati bercampur dengan sakit di tubuh, membuatnya tak berdaya. Tak lagi peduli pada suara dua orang di dalam ruangan itu, tangannya mengudara meminta siapa saja untuk menolong.
Cairan hangat terasa mengalir dari sela kaki, pandangannya pun mulai mengabur. Beruntung, Jago masih di sana. Melihat tangan majikan melambai-lambai, bersegera ia mendekat.
"To-tolong, sa-sakit!" rintih Seira dengan kedua mata terpejam. Digigitnya bibir menahan rasa yang terus menusuk. Untuk menggerakkan lidah saja rasanya ia sudah tak mampu.
Jago mengambil langkah ringan berlari mendekati sang majikan. Ia memekik tanpa suara, melihat gaun yang dikenakan Seira telah basah oleh cairan merah yang khas.
"Ya Allah, darah!" Lisannya bergetar, tangan pula ikut gemetaran. Peluh membentuk gumpalan di sekitar pelipis, hawa panas dari rasa cemas menguar begitu saja.
"To-tolong!" Suara Seira semakin lemah terdengar. Tak berdaya nyaris seperti bisikan.
"Ibu! Ibu tahan, ya. Tahan, Bu. Jangan tidur!" bisik Jago khawatir akan terdengar oleh Zafran.
Sekilas wajahnya yang ditumbuhi janggut lebat itu memang serupa dengan para penjahat kejam di seluruh dunia, tapi dia memiliki hati yang lembut terutama saat berhadapan dengan Seira.
Meskipun usianya lebih tua, tapi Jago amat menghormati wanita itu layaknya seorang Ibu. Air menggenang di pelupuk, tak tega melihat kondisi Seira yang kesakitan. Lekas ia membopong tubuh lemah itu dalam gendongan.
"Jago, Ibu kenapa?" tanya suara laki-laki lain yang merupakan teman sejawat Jago di gudang tersebut sekaligus bawahannya.
"Nggak tahu. Coba kamu bersihin lantai yang di depan ruangan Bos. Aku bawa Ibu dulu," bisiknya, samar-samar masih bisa didengar oleh Seira.
Matanya terbuka, tapi penglihatan berkunang-kunang. Pening menyerang tak tahu waktu, menghantam kepalanya yang semakin berat. Jago berlari keluar gudang, ia tahu mobil pribadi sang majikan terpakir di depan bangunan tempatnya mengais rezeki itu.
"Non!"
"Ibu!"
Bi Sari dan Mang Udin sama-sama terpekik melihat Jago yang membopong tubuh lunglai Seira. Wajah laki-laki yang biasanya beringas itu, kali ini tampak pucat dan kusut.
"Buka pintunya, cepat!" titahnya segera begitu tiba di dekat dua orang yang masih termangu.
Bi Sari membuka pintu dengan cepat, dan menyingkir dari sana. Memberi ruang kepada Jago untuk meletakkan majikan mereka itu di dalam.
Samar mereka mendengar suara rintihan Jago yang persis seperti seorang anak kecil yang merengek, "Ibu, jangan tidur, Bu. Tetep buka mata, jangan tidur!"
Dengan amat hati-hati seolah-olah itu adalah intan berlian berharga di dunia, Jago meletakkan tubuh Seira di atas jok. Ia cepat-cepat keluar dan mendorong tubuh Bi Sari agar segera masuk ke dalam.
"Jaga Ibu, jangan sampai tertidur. Jaga Ibu! Aku percayakan Ibu sama kalian, bawa ke rumah sakit. Cepetan!" ucapnya melebarkan biji mata pada Mang Udin yang masih tak sadar dari lamunan.
"UDIN!" bentak Jago yang hampir saja tinjunya melayang karena laki-laki perokok itu masih saja termangu tak jelas.
"I-iya!"
Mang Udin masuk ke dalam mobil, menginjak pedal gas dengan cepat. Ia melirik cemas pada Seira yang terlihat berat di setiap tarikan napasnya.
"Aduh, Mang, ini Non Sei kenapa? Ya Allah, ada darah di kakinya, Mang. Cepetan!" pekik Bi Sari panik.
Ia mendekap tubuh lemah Seira, menangis cemas meratapi keadaan sang majikan. Betapa Bi Sari amat menyayanginya laksana putri kandung sendiri.
Mang Udin tak banyak bicara, menekan klakson terus menerus meminta jalan pada pengendara lain. Menyalip kendaraan-kendaraan besar dan kecil, melaju secepat yang dia bisa.
Suara rintihan Seira menghantarkan sesal yang mendalam di hatinya. Penyesalan yang tak akan ada akhirnya jika sampai wanita baik hati itu kehilangan si jabang bayi atau bahkan kehilangan nyawanya.
Ban berdecit nyaring disaat Mang Udin menginjak rem tiba-tiba. Di depan mereka, sebuah mobil dengan kecepatan yang sama pun nyaris menghantam mobil yang membawa Seira. Kecelakaan hampir saja terjadi jika kedua pengemudi tak sigap menginjak rem.
"Hati-hati, Mang Udin! Non Sei udah kesakitan kayak gini, malah nggak lihat-lihat bawa mobil!" bentak Bi Sari bertambah cemas disaat Seira mengaduh sambil merintih.
"Maaf, Bi. Maaf, Bu. Kita lanjutin lagi, keburu orang di mobil itu keluar terus menghambat perjalanan," katanya terburu-buru.
Mobil melaju kembali berbarengan dengan seorang laki-laki berpenampilan resmi keluar dari mobil yang berhadapan dengan mobil mereka.
"Ah, sial! Udah menghambat jalanku, mereka pergi gitu aja!" gerutunya kesal sambil melihat-lihat keadaan depan mobilnya.
"Untung nggak sampe nabrak. Gila kali tuh orang, ya. Nggak tahu apa orang lagi buru-buru," umpatnya lagi tak lepas memandang arah ke mana mobil Seira melaju.
Getar ponsel di saku celananya menyentak, ia sigap merogohnya dan meletakan benda tersebut di telinga setelah menekan tombol hijau.
"Kamu di mana, Fatih? Lama banget!" Teriakan dari ujung telepon di sana membuat telinga laki-laki itu berdenging. Ia menjauhkan benda itu seraya mengusap-usap telinganya.
"Iya, Mah. Ini aku lagi di jalan. Di rumah sakit mana, sih?" tanya laki-laki itu seraya memasuki mobilnya.
Ia mendengarkan dengan baik, lantas menginjak pedal gas dan melaju. Perlu GPS untuknya tahu letak rumah sakit di wilayah tersebut.
Sementara mobil Mang Udin baru saja tiba di parkiran rumah sakit beberapa detik setelah tubuh Seira lunglai tak sadarkan diri.
"Non!"