Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: memanas
Athala masih duduk terdiam di bangku taman sekolah. Rasa malu dan amarah bercampur menjadi satu, menghimpit dada seperti beban berat yang tak bisa dilepaskan. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, sementara pandangannya kosong, terpaku pada lantai taman yang penuh dengan dedaunan kering. Sekelilingnya masih ramai dengan siswa yang bercakap-cakap, namun suara tawa dan obrolan mereka seakan berubah menjadi dengungan menyakitkan di telinganya. Bagaimana mungkin seorang ratu sekolah seperti dirinya dihina sedemikian rupa? Dan yang lebih mengerikan, itu terjadi di depan begitu banyak orang.
Tika, sahabatnya yang selalu hadir dalam setiap kekalutannya, duduk di sebelah Athala. Tangan Tika terulur, merangkul bahu Athala dengan lembut. "Tala, udah, jangan dipikirin lagi. Lo kan tetap ratu sekolah ini. Lagian, masa kalah cuma sama anak baru? Aletha itu apaan sih dibanding lo?" Tika berusaha meyakinkan sahabatnya, namun ada nada cemas yang tersembunyi dalam suaranya.
Athala tak merespons. Wajahnya kaku, rahangnya mengeras, dan bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat hingga hampir berdarah. Penghinaan ini terlalu besar untuk dibiarkan berlalu begitu saja. "Dia pikir dia bisa menang?" gumamnya pelan, namun dalam hati, ia sudah merencanakan segala macam cara untuk membalasnya.
Vania, salah satu anggota geng mereka yang lain, ikut menimpali dengan semangat. "Betul, Tha. Lo nggak boleh kasih dia kesempatan lagi. Aletha itu cuma numpang terkenal. Kita pasti bisa balikin keadaan. Kita kasih dia pelajaran yang nggak bakal dia lupa!"
"Benar banget," Tika menambahkan dengan nada menggoda. "Besok aja, kita bikin dia malu di depan semua orang. Lo cuma perlu kasih perintah, Tha. Kita siap lakuin apa aja. Nggak ada yang bisa ngalahin kita!"
Athala tetap diam, matanya menyipit. Kilatan kebencian yang mendalam perlahan muncul di balik pandangannya yang dingin. Ia mendongak sedikit, menatap kedua sahabatnya, lalu berbisik pelan dengan suara yang penuh ancaman, "Aletha pikir dia menang? Ini baru permulaan. Dia bakal tahu siapa sebenarnya yang berkuasa di sini."
---
Di kantin sekolah, suasana mulai kembali normal, meski masih banyak siswa yang membicarakan insiden tadi. Video yang memperlihatkan Aletha meninju Athala sudah tersebar luas di grup WhatsApp sekolah. Hampir semua siswa di sekolah, bahkan yang tidak berada di tempat kejadian, sudah melihatnya.
Aletha duduk santai di salah satu meja kantin bersama teman-temannya, menikmati jus jeruk yang sudah hampir habis. Wajahnya terlihat santai, tetapi perasaan kesal masih menggelora di dalam hati. Ia tidak marah pada Athala, tetapi lebih pada situasi yang memaksanya melakukan kekerasan. Sebenarnya, ia lebih memilih menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, tetapi Athala sudah melewati batas.
"Tha, lo nggak apa-apa?" tanya Alvin, sedikit bercanda, namun nada suaranya menunjukkan kekhawatiran yang nyata.
Aletha hanya mengangguk pelan, berusaha terlihat tenang. "Santai aja, gue nggak kenapa-kenapa."
"Serius, lo keren banget tadi. Lo nggak takut sama sekali, sih?" Raga, yang duduk di sebelah Alvin, menyela dengan nada serius. "Tapi gue harus bilang, lo juga harus hati-hati. Athala itu nggak bakal tinggal diam. Dia punya geng yang setia banget sama dia. Lo nggak tahu apa yang bisa dia lakuin."
Aletha menoleh ke Raga, lalu tersenyum tipis, meskipun sedikit ragu. "Gue nggak takut. Kalau dia mau cari masalah lagi, gue bakal siap. Selama mereka nggak nyerang gue duluan, gue nggak akan nyari ribut."
Rere yang duduk di sebelah Aletha langsung tertawa geli. "Gue makin kagum sama lo, Tha. Lo tuh keras kepala banget, tapi gahar juga. Temenan sama lo tuh seru, kayak hidup gue jadi serial drama, seru terus!"
Lala, yang duduk di ujung meja, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Rere, lo tuh senang sama drama aja. Bukannya peduli sama situasinya."
"Tapi serius deh," Alvin menambahkan dengan ekspresi serius. "Lo harus waspada, Tha. Athala itu punya geng, dan mereka semua loyal banget sama dia. Kalau dia bener-bener mau balas dendam, lo nggak tahu apa yang bakal terjadi."
Aletha mendesah pelan. "Gue nggak peduli. Kalau mereka nyerang gue, mereka tahu konsekuensinya. Gue nggak akan mundur, dan gue nggak takut."
Namun, meskipun ia berbicara dengan penuh keyakinan, ada perasaan gelisah yang tak bisa ia abaikan. Ia tahu benar bahwa Athala bukan tipe orang yang mudah menyerah. Tatapan penuh dendam yang dilontarkan Athala tadi masih terbayang jelas di benaknya.
---
Sore harinya, setelah jam pelajaran terakhir selesai, Aletha memutuskan untuk langsung pulang. Langkahnya tenang, namun hati-hatinya tetap waspada. Ia tahu betul kemungkinan untuk dikepung oleh Athala dan gengnya di luar sekolah sangat besar. Tetapi ia juga menyadari bahwa hidup dalam rasa takut tak akan membawa perubahan apa-apa.
Saat melintasi taman belakang sekolah, langkahnya dihentikan oleh suara yang sudah ia kenal dengan baik.
"Eh, Aletha. Mau kemana buru-buru?" suara Tika memanggilnya dengan nada yang terdengar biasa saja, namun ada sesuatu yang berbeda dalam cara Tika menyebut namanya.
Aletha menoleh, dan menemukan Tika serta Vania berdiri di depannya. Mereka tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu yang membuat suasana terasa tegang. Pandangan mereka terlihat penuh makna, dan Aletha segera merasa tidak nyaman dengan keduanya.
"Ada apa?" tanya Aletha dengan nada datar, berusaha menjaga ketenangannya meskipun perasaan waspada mulai menggelayuti hatinya.
"Kita cuma mau ngobrol," jawab Vania sambil melangkah mendekati Aletha dengan senyum yang terkesan dipaksakan. "Nggak boleh?"
Aletha melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat mereka. Taman belakang sekolah ini cukup sepi, dan ia tahu ini bukan kebetulan. Situasi ini terasa seperti jebakan. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kalau cuma ngobrol, kita bisa bicara besok. Gue nggak ada waktu sekarang."
Namun, Tika segera melangkah maju, menghalangi jalan Aletha dengan senyum yang dipaksakan. "Santai aja, Aletha. Nggak usah buru-buru. Kita cuma mau ngingetin soal Athala."
Aletha mengangkat alisnya, menatap Tika dengan pandangan tajam. "Ngingetin soal apa?"
Vania, yang sudah semakin dekat, mengungkapkan ancaman dengan senyum sinis. "Soal siapa yang lo lawan. Lo pikir lo menang hari ini? Athala nggak bakal diem aja. Dia punya cara buat bikin lo menyesal. Lo bakal lihat, Aletha. Lo nggak akan bisa selamanya lolos begitu aja."
Aletha mendengus kecil, lalu menyilangkan tangan di dada, menatap mereka dengan tatapan dingin yang penuh tantangan. "Kalau Athala punya masalah, suruh dia datang langsung. Gue nggak suka ngomong lewat calo."
Kata-kata Aletha membuat wajah Tika dan Vania memerah, mereka tampak terkejut. Sebelum salah satu dari mereka sempat membalas, suara langkah kaki menghentikan ketegangan yang mulai memuncak.
"Ada masalah di sini?" suara berat itu memecah keheningan, membuat semua orang menoleh.
Raga berdiri di ujung jalan setapak taman, menatap tajam ke arah Tika dan Vania. Di belakangnya, Alvin dan Rere juga ikut berjalan mendekat dengan langkah yang penuh kewaspadaan, masing-masing menatap kedua gadis tersebut dengan mata penuh perhitungan.
Aletha tersenyum kecil, berusaha meredakan suasana. "Nggak ada masalah kok. Cuma ngobrol santai."
Raga melangkah mendekat, berdiri di samping Aletha, dan menatap Tika serta Vania dengan pandangan yang cukup untuk membuat keduanya merasa tidak nyaman. "Kalau cuma ngobrol, nggak usah pakai gaya intimidasi kayak gitu."
Tika dan Vania terlihat gelisah, mereka saling melirik sebelum akhirnya Tika menjawab dengan gugup. "Kita nggak ngapa-ngapain, kok. Ayo, Van, kita pergi."
Vania mengangguk cepat, dan mereka berdua pergi dengan langkah terburu-buru, seolah-olah ingin melupakan kejadian ini secepat mungkin.
Alvin tertawa kecil, lalu menepuk bahu Aletha dengan senyum lebar. "Lo tuh keren banget, Aletha. Tapi serius, lo harus punya bodyguard. Kalau Athala makin gila, lo bisa bahaya."
Aletha tersenyum tipis. "Gue nggak butuh bodyguard. Gue cuma butuh teman yang nggak ninggalin gue."
"Tenang aja," sahut Rere sambil mengangkat jempolnya. "Kita nggak bakal ninggalin lo. Kalau Athala cari ribut lagi, kita hadapi bareng."
Aletha mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ini belum selesai. Athala pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.
Dan kali ini, Aletha harus benar-benar bersiap.