NovelToon NovelToon
TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Pita Selina

Sebuah pembangun rumah sakit besar dibangun depan rumah Gea, Via dan Radit. Tiga orang sahabat yang kini baru saja menyelesaikan sekolah Menengah Kejuruan. Dalam upaya mencari pekerjaan, tak disangka akhirnya mereka bekerja di rumah sakit itu.

Sayangnya, banyak hal yang mengganjal di dalamnya yang membuat Gea, Via dan Radit sangat penasaran.

Apakah yang terjadi? Rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan para author? Penuh ketegangan. Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pita Selina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Posyandu

"Memangnya ada apa dengan Mak Piah? Bukankah tak ada salahnya kalau kita hanya menanyakan hal itu? Aneh ...." Radit menggerutu seraya berjalan menuju rumahku.

"Ya ... mereka tampak ketakutan. Padahal kurasa itu bukan hal serius," timpal Via. "Hal ini membuatku semakin bertanya-tanya siapakah Mak Piah itu."

"Sudahlah ... hari ini kita ke rumah Gea. Kurasa kita harus membicarakannya di sana," ucap Radit mempercepat langkahnya.

Seketika Radit jatuh tersandung. "Aw! Sh ...." Tatapan Radit menatap tajam ke arah Via. "Gurauanmu selalu berlebihan!" ketus Radit.

Via mengerutkan keningnya. "Loh? Memangnya aku melakukan apa? Jelas-jelas kau terjatuh sendiri."

"Tidak. Sandalku kau injak, bukan? Jangan berpura-pura! Bukan saatnya untuk bergurau."

"Terserah kau saja! Lagian hidupku tak sejahil dirimu. Aku tak melakukan itu!" balas Via dengan murka. "Untuk apa aku menginjak sandalmu."

"Kau ini memang sulit sekali untuk mengatakan maaf."

"Untuk apa meminta maaf kalau aku tak bersalah? Kau terjatuh karena dirimu sendiri, lalu menyalahkan orang lain? Sifatmu jelek."

****

"Matahari sudah mulai terbenam kurasa kau lebih baik bermalam di rumahku saja," ucap Bayu.

"Baiklah ... tetapi aku merasa tak enak," jawab Feri.

"Ayolah santai saja kawan ... kau dan aku sudah mengenal, bukan?" ucap Bayu.

Bayu memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Rumahnya yang besar membuat mata Feri terbelalak.

"Rumahmu besar sekali," ucap Feri.

"Tidak ... biasa saja, lagian aku hanya menumpang, rumah ini bukan milikku," balas Bayu.

"Lalu, milik siapa?"

"Ibu dan Ayahku." Bayu membuka pintu mobilnya.

"Sama saja."

"Jelas berbeda ... ayo, di rumah tidak ada siapa-siapa, jadi kau tidak usah malu-malu."

****

Matahari sudah setengah terbenam. Aku, Via dan Radit sedang duduk di halaman rumah seraya berbincang-bincang santai.

"Kurasa ... semuanya tampak aneh. Ada sesuatu yang tidak beres." Radit sedari tadi terus memikirkan hal itu. "Aku jadi semakin penasaran."

"Memangnya mereka melakukan hal apa?" tanyaku.

"Mereka tak melakukan apapun—" (ucap Radit disergah)

"Justru itu, mereka langsung pergi dengan raut wajah ketakutan ketika aku dan Radit menyebutkan nama Mak Piah itu," sela Via. "Aneh, bukan?"

"Coba kalian tanyakan dengan pasti, mereka pasti mengetahui sesuatu tentangnya," kataku.

"Mereka tak memberitahu itu ... bahkan mereka menyergahku untuk tidak mengetahui hal itu," ucap Radit.

Tak lama Ibu datang, membawa tabung air.

"Anak-anak, tolong isi air di pompa dekat posyandu di belakang," pinta Ibuku. "Ibu harus segera memasak."

"Memangnya air mati?" tanyaku.

"Iya ... tadi sudah diumumkan sedang ada perbaikan. Cepatlah ... keburu malam."

"Ah ... kami takut Bu. Lagi pula, tempat itu jarang sekali ada orang."

"Orang-orang kan pasti ke sana juga. Cepat, Ibu akan memasak untuk kalian malam ini," kekeh Ibu.

Radit langsung menatap ke sekeliling. "Kurasa, kami akan memakan mie saja."

"Merebus mie juga membutuhkan air, cepatlah ...."

Saat itu kami saling bertatapan. "Kami pergi bersama Ibu saja ... kurasa tidak baik tanpa pengawasan orang tua," ucapku.

Ibu pergi ke dalam begitu saja tanpa mendengar ucapanku.

"Aneh ...." Via mengerutkan keningnya. "Akhir-akhir ini kurasa aku selalu mengalami hal-hal aneh."

Hal itu membuat kami tak lagi bergumam.

"Bagaimana?" tanya Radit. "Kalau kalian memutuskan akan pergi mengambil air, lebih baik kita lakukan sekarang."

"Bagaimana lagi? Tidak mahu pun, kurasa aku harus tetap pergi." Via mengambil tabung air itu. Begitu pun denganku dan Radit.

Diperjalanan hanya ada suara tapak langkah kami. Suasananya sangat sepi hanya ada suara jangkrik. Masalah pencahayaan sudah teratasi, tetapi tidak ada orang yang berlalu lalang selain kami di tempat itu.

"Kan kubilang juga apa ... tidak akan pernah ada orang yang akan melintas ke posyandu bekas itu," ucap Via.

"Lagi pula, aku sangat kesal pada orang-orang yang memiliki kewenangan. Posyandu dipindahkan, balai desa dipindahkan, semuanya dipindahkan, mengapa pompa air itu juga tidak ikut dipindahkan?" kesal Radit. "Padahal mereka tahu, tidak ada yang berani melewati jalan ini. Apa mereka sengaja agar kita selalu beruji nyali?"

"Mungkin salurannya juga memiliki arah yang berbeda. Ayo ... kita percepat langkah kita," ucapku.

"Lagi pula, tumben sekali Ibumu kekeh memaksa kita untuk melakukan ini." Via memperjelas. "Maksudku, seumur hidup aku mengenal Ibumu adalah Ibu idaman seluruh anak-anak di dunia. Ia tidak pernah mengekang, tak pernah memaksa dan selalu mengerti keadaan. Tetapi lihatlah saat ini? Padahal dia mengetahui bahwa kau ini belum sepenuhnya sembuh."

Seketika terlintas di pikiranku bahwa apa yang dikatakan Via adalah benar.

"Benar sekali ... kan, kubilang juga apa, akhir-akhir ini semuanya membuatku selalu bertanya-tanya!" timpal Radit.

"Kau ingat? Bahkan Ibumu menyuruh kita untuk kembali tertidur saat jam tidur kita kurang?" ucap Via lagi.

"Benar ...." Radit seketika mengingat semua kebaikan yang telah Ibuku lakukan. "Kau mengingatnya tidak, saat kita tidak diperbolehkan untuk keluar malam?"

"Ah ... sudahlah, mari kita lanjutkan langkahnya. Kalian membuatku gelisah," sergahku.

Kami langsung berhenti saat menatap posyandu yang sudah tak jauh.

"Tak ada lampu penerangan. Apa kalian yakin?" tanyaku.

"Lalu? Kau pikir kita akan kembali setelah sudah sampai?" tanya Radit. "Ambil airnya sesudah itu kita harus berlari."

"Ah ... kepercayaan diriku mulai menurun," ucap Via, seraya bersembunyi dibelakangku.

"Kau ingat tidak—"

"Heiushhh! Cukup! Jangan kau lanjutkan kalimatnya. Aku sedang memikirkan rumor itu! Diamlah!" Via tampak marah seraya menahan Radit agar tak melanjutkan ucapannya.

"Sudahlah ... kita harus berjanji untuk tidak saling meninggalkan," kata Radit dengan serius.

"Janji!" ucapku dan Via serentak.

Kami berjalan dengan tenang menuju posyandu dan balai desa kosong itu. Bangunannya tampak tua penuh dengan tanaman merambat.

"Cepat buka tabung airnya."

"Susah ... pencahayaannya minim sekali," sahut Via seraya menyipitkan kedua matanya.

"Kau ini! Lama sekali ... biar kubuka!" Radit merebut tabung airnya. "Peganglah." Radit langsung memompa airnya.

Brushh

Brushh

Brushh

"Cepatlah ... perasaanku sudah tak enak," ucapku. Kulihat sekelilingku, suasananya sangat mencengkram.

"Berat!" Radit sekuat tenaga memompa airnya. "Kurasa memang pompa ini sudah lama, kurang pelicinnya."

"Biar kubantu." Tangannya melepas tabung airnya, hingga airnya setengah tumpah.

"Yah! Kau ini, biar kupegang, kau yang memompa." Radit menukar tempat.

Dengan gregetan Via memompanya. "Sulit sekali, sepertinya macet." Via terus berusaha. "Eughhh ...."

Saat itu pencahayaan sangat minim.

"Sudahlah mari kita pulang, perasaanku sudah tidak enak. Seadanya saja." Aku terus memaksa. Tanganku masih sakit, sehingga aku tak dapat membantu mereka.

"Ini tak akan cukup untuk kita bertiga. Dua pompa lagi, mungkin akan cukup." Via terus berusaha.

"Gea ... kau bisa memegang tabung ini, berusahalah agar luka tanganmu tidak mengenai air." Radit memberikannya kepadaku. Ia membantu Via memompa airnya.

Ditambah lagi suara gagak membuat semuanya sangat kontras dengan tema horror.

"Biar kubantu, Nak ...." ucap seorang nenek tua.

Saat itu, pencahayaan sangat minim. Hanya terlihat sepasang tangan memegang pemompaan air.

Ya, air itu berhasil keluar.

Kini wajahnya terlihat.

Kami hanya bisa menatapnya dengan tubuh yang kaku tak bisa bergerak.

1
Rena Ryuuguu
Sempat lupa waktu sampai lupa mandi, duh padahal butuh banget idung dipapah😂
Hafizahaina
Ngakak sampe perut sakit!
sweet_ice_cream
🌟Saya sering membawa cerita ini ke kantor untuk membacanya saat waktu istirahat. Sangat menghibur.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!