TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Kejahilan Radit

Setiap orang memiliki kepribadian masing-masing. Begitu pun ketiga sahabat dari kecil yang memiliki kepribadian unik.

"Makan dulu Gea ...."

"Tidak mau." Ia menggedik, sembari menggoes sepedahnya.

BRUGGG

Tangisan kencang mengangetkan orang-orang yang sedang beraktivitas di luar rumah.

"Ada apa?" tanya beberapa tetangga saat itu.

"Hanya terjatuh dari sepeda. Dia hanya terkejut. Semuanya baik-baik saja, tak ada yang terluka." Sera sembari membangunkan Gea.

Ya, Gea memang cengeng.

Dan kepribadian sahabat perempuannya .... Via Yashya.

"Sialan!"

"Hei, siapa yang mengajarimu seperti itu!" Rina tampak marah

"Semuanya tampak menjengkelkan. Ayah merampas handphoneku."

Sejak kecil, Via memang emosian.

Sementara itu, kepribadian Radit Niagara.

Tok ... tok ... tok.

"Ya ... masuklah. Pintunya tak dikunci."

Suara pintu berdecit.

"Loh Sera, masuklah. Ada apa?" tanya Lala, Ibu Radit.

"Sebelumnya ... aku minta maaf. Atas kedatanganku ke sini, aku mau mengambil tongkat peri milik Gea. Katanya Radit telah mengambilnya. Gea tak berhenti menangis ingin barangnya itu kembali."

Lala terkejut. "Anak itu ... sebentar." Ia langsung bergegas pergi ke kamar anak lelakinya, Radit.

Dimenit pertama Lala keluar membawa tongkat peri kecil yang sudah penuh dengan tatto mainan yang menempel.

Sera hanya tersenyum, menatap tongkat itu kini sudah menjadi tongkat peri-batman.

"Maaf ...."

Sementara itu di keesokan harinya ....

"Lala ...." panggil seseorang seraya mengetuk-ngetuk pintu rumahnya.

Ceklek.

"Pasti anakku lagi ya? Dia melakukan apa lagi?" tanya Lala. Wajahnya terlihat letih.

Rina tersenyum. "Kulihat di cctv, Ia membeli ikan di kolam rumah tanpa sepengetahuanku, hanya menyimpan uang dua ribu diselipkan di batu dekat kolam."

"Ikan apa?"

"Arwana."

Tak perlu dijelaskan, bayangkan saja kalau Radit berada di hidupmu?

Dan sejak ayahnya Gea meninggal, sifat cengengnya itu melenyap.

****

Gea Agnestia, wanita cantik berumur delapan belas tahun yang memiliki kedua sahabat kecil yakni Via dengan Radit. Saat itu, tampak Via sedang mengejar Radit dengan raut wajah penuh dengan amarah.

"Gea! Bantu aku." Via berusaha merebut tasnya dari genggaman Radit. "Hei! Kembalikanlah!"

"Ambilah ... kalau dapat akan kukembalikan." Radit berlari, lalu menoleh, mengejeknya lagi.

"Cukuplah Radit!" Via menghentakkan kakinya. "Kau tak melihatku? Aku sungguh lelah."

"Tidak." Radit langsung memejamkan matanya.

Via langsung menoleh ke belakang. "Gea! Lihatlah!" Ia mengadu, langsung meraih batu di samping tapakan kakinya. "Kembalikan! Atau kepalamu akan bocor?"

Matanya sipit semakin tak terlihat. Ia tertawa puas karenanya. "Nih ...." Ia menepuk-nepuk kepalanya. "Lemparkan saja.'

Dilemparkannya batu itu pada Radit. Di sisi lain Radit berpose menungging, sengaja Ia merendahkan Via bahwa lemparan itu tak mengenainya.

"Kuhitung satu sampai tiga—"

"Tiga," sela Radit, sambil berlari.

Di sisi lain, Gea berjalan dengan lambat seraya mengamati tingkah laku kedua sahabatnya itu.

Mereka berjalan menuju sebuah danau kecil dengan rumah pohon tua yang sudah dijadikannya base camp saat mereka kecil.

Radit langsung memanjat rumah pohon itu. Membuka seragam sekolahnya, menyisakan kaos dalam dan celana pendeknya.

BYUARRRR!!

Lompatan bebas itu, mengganggu air yang tenang.

"Biarkan saja anak itu. Ia memang mengjengkelkan. Lebih baik kita duduk di tepi danau saja," ajak Gea pada Via.

Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Awas saja kau Radit!"

"Sini kalau berani ...." Radit tak berhenti-henti mengejeknya. Tak sampai disana, Radit pun berenang mengikuti mereka.

Via sontak menoleh padanya. "Diamlah! Sebenarnya kau maunya apa?"

"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Percikan air itu membasahi tubuh mereka.

"Ck! Argh!" ketus Gea. "Hentikanlah."

"Lebay!"

"Enyahlah, semoga buaya menerkammu." Wajahnya murka, tangannya mengibasi bajunya yang basah.

"Kami setongkrongan, akupun buaya."

"Dih ... lagakmu ...." Matanya memutar.

"Bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"

"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam duduk anteng layaknya orang normal pada umumnya?" Via langsung memilih tempat yang kering.

Matahari sudah mulai kemerah-merahan, tampaknya malam akan tiba.

"Dit, naik. Kita pulang, sudah hampir gelap," teriak Gea.

Radit hanya terdiam. Ia tak merespon apapun.

"Pasti drama lagi, idiot." Via memanggilnya. "Cepatlah naik ...."

"Sampai mana kita tadi—"

"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!" teriak Radit dengan histeris.

Gea dan Via tercengang, menatap Radit yang sedang tenggelam.

"Vi!"

"Gea! Sepertinya Radit tak berbohong."

Mereka langsung melompat ke danau.

BYUAR

Di detik selanjutnya, Gea berusaha menggapai tubuh Radit yang berada jauh ditengah danau. "Pyuh ... bertahanlah."

"Via, bantu aku untuk membawa tubuhnya ke tepian!" teriak Gea. Ia memegang lengannya, mendongkakkan kepalanya agar bernapas. "Bernapaslah ...."

Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama.

Napasnya tampak pengap. "T-tolong! Aw-shh! ... tapi bohong! Heheheh!" Radit menghempaskan rangkulannya. "Memangnya ... kalian pikir aku payah dalam berenang?"

"Kau!" kesal Gea. "Bisakah kau hentikan leluconmu itu?" Matanya

"Rasakan ini." Via langsung menenggelamkan Radit.

"Ck-ah! Iya-iy—"

"Ak-minta maf—"

****

"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucap Gea, bola matanya memutar.

Cahaya bulan mulai menggantikan cahaya mentari. Hari telah berganti malam.

"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," ceplosnya.

"Hiduplah selayaknya manusia biasa, bodoh. Membuat orang kesal saja." Via menimpal, tampaknya Ia masih kesal.

"Yeuu maaf ... begitu saja marah."

"Malam ini cukup sepi ya." Pandangannya beralih menatap sekitar.

"Memang selalu seperti ini," sahut Via.

Krauk ... krauk ... krauk.

Suara itu mengalihkan padangan Gea dan Via.

"Hari ini ibuku tidak memasak," kata Radit. Ia menatap penjual nasi goreng di sampingnya.

"Jadi?" Via mengangkat satu alisnya.

Gea langsung menarik tangan Via hendak menyebrang. "Pulanglah cepat! Tubuhku sudah mulai lengket."

"Di rumah kau bisa membuat mie instan," timpal Via. "Manja sekali."

Gea terhenti saat mengetahui Radit tak ikut menyebrang."Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?"

"Sudah kubelikan ikan."

"Ikan? Kalau begitu, di mana ikannya? Goreng saja ikannya dirumah," ucap Gea.

"Bukan ikan itu Gea." Ia mengelap wajahnya dengan kasar. "Dia membeli ikan cupang hias."

"Ya belikan saja sisa uangnya, kau memperumit hidupmu." Wajahnya tampak heran.

"Dia menghabiskan seluruh uangnya untuk dua cupang albino yang mahal itu. Ikannya mati digondol kucing kemarin sore."

Gea langsung menatap tajam kearah Radit. Ia mengembuskan napasnya dengan kencang. "Pikiranmu sungguh sangat sempit. Harusnya yang digondol kucing itu kau!"

"Tunggu ... kumohon. Pakai uangmu dulu, besok kuganti uangnya."

****

Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.

"Lihat? Dia tak berterimakasih." Via mendelik.

"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Kedua lengannya sudah menggenggam sendok dan garpu untuk segera menyantap pesanannya.

"Satu nasi goreng spesial dengan ati komplit daging kambing dan ayam suwir sambal ijo," kata Suryo, penjual nasi goreng. Pesanannya sontak membuat Via langsung menatap ke arah nasi goreng itu.

"Siapa yang memesan ini Pak?" tanya Via.

"Radit sendiri toh yang pesan ini. Apa pesanannya salah ya?" tanya Suryo.

"Oh ..." Via tersenyum. Ia menggertakan giginya dengan kesal. "Tidak Pak. Keinginannya sendiri ya?" Tatapannya menoleh tajam pada Radit.

"Iya, Radit memang sudah biasa memesan menu ini. Oh ya ... kalian hanya membelinya satu?" Suryo menghitung keberadaan mereka. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian hanya akan menonton mukbang dari Radit?"

Gea tersenyum. "Ya ... kami sudah kenyang,"ucap Gea langsung menoleh menatap Radit tajam.

"Melihat pesanan Radit saja, itu sudah membuatku kenyang." Via tersenyum lebar, tetapi tidak dengan tatapannya.

"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.

"Oh ... begitu ya ...." Via mengecilkan suaranya. "Baru kali ini aku menyesal berbuat baik pada orang lain."

"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Suryo, seraya mengelap meja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!