TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Kejahilan Radit

Namaku Gea Agnestia. Aku memiliki kedua sahabat bernama Via dan Radit. Ayahku telah tiada, jadi aku tinggal bersama Ibu.

Ini tahun terakhirku bersekolah. Aku, Via dan Radit baru saja pulang dari rapat kelulusan di sekolah.

"Sudah kuduga! Kau memang menyebalkan, Radit!" teriak Via seraya mengejar Radit. "Berikan tasku itu! Atau tidak kau akan kupukul!"

"Pukul saja! Lagian belum tentu kau bisa mengejarku! Ayo cepat! Kau lambat sekali!" ejek Radit. Ia terus mengusili Via.

Kutatap mereka dari belakang seraya tertawa. Radit memang jahil dan tengil.

Hari ini kami putuskan untuk pergi ke rumah pohon dekat danau. Tempat main kita sejak kecil. Jarak dengan rumah lumayan jauh dan tak searah. Sejak kecil kami selalu berbohong untuk pergi ke tempat itu. Tentunya, pasti tak diizinkan oleh Ibu dan Bapak.

"Lambat sekali! Tidak ada kemajuan! Kau selalu lambat!" teriak Radit. Sampai di rumah pohon Radit langsung memanjat.

"Awas ya kau Radit!" Via berusaha memanjat pohonnya.

"Biarkan saja orang itu. Radit memang tengil. Kita duduk di tepi danau yuk," ajakku.

Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Sana! Lagian sekolahnya pun sudah selesai."

Dari rumah pohon, seperti biasa Radit selalu melompat ke danau.

BYUARRRR!!

"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Radit memercikan air seraya tertawa. "Rasakan ini!"

"Ck! Argh!" ketusku. "Basah Radit! Kau mahu kalau aku masuk angin?"

"Lebay!" Radit terus memercikan air dengan sikap tengilnya.

"Aku harap kau diterkam buaya saja, Radit!" teriak Via. "Awas ya kau!"

"Mana buaya? Akan kuhabisi saja dia. Berani melawanku?"

"Dih ... lagakmu menyebalkan sekali!" ucapku seraya mendelik.

"Lagi pula, bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"

"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam saja? Duduk manis menatap sunset. Kau memang pecicilan." Kucari tempat yang kering.

"Awas ya! Aku tak akan segan-segan membunuhmu!" teriak Via.

Aku dan Via menghiraukan ucapannya. Kami duduk kembali dan menatap sunset.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Radit masih belum selesai berenang.

"Apa yang kau cari Radit? Naiklah ... sudah terlalu lama kau berada di sana," ucapku seraya menatap Radit.

"Lagi pula ... kau tidak akan pernah menemukan mutiara dan harta karun."

Tak lama dari itu ... Radit terdiam. Menatap sekeliling. Tak ada pergerakan di tubuh Radit.

Aku dan Via semakin keheranan seraya melihat tingkah Radit.

"Kenapa dia?" tanya Via.

"Dia memang cari perhatian saja. Hiraukan saja ...." Aku alihkan pada pembicaraan sebelumnya.

"Sampai—" (jawaban Via terpotong oleh teriakan Radit).

"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!"

Radit tidak bisa menenangkan dirinya. Sesekali Ia tenggelam.

"Via! Tolong Vi!" Tentu aku panik saat Radit tenggelam.

Aku dan Via langsung berlari hendak menyelamatkan Radit. Membuka kedua sepatu yang dipakai. Lalu berenang menuju Radit.

"Radit!" Kupegang lengannya. Kudongkakkan kepalanya agar bernapas.

Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama di samping sebelahnya.

Napasnya terengah-engah. "Aw-shh! Tapi bohong! Heheheh!" Raut wajahnya berubah seraya tertawa. "Memangnya ... kalian pikir aku bodoh dalam berenang?"

Kudorong langsung tubuh Radit. Via langsung menenggelamkannya.

"Rasain! Sana! Tenggelam!" teriak Via.

Radit berusaha mengambil napas. "Ck-ah! Iya-iy—" (ucapnya terpotong karena langsung ditenggelamkan Via).

"Sudah Vi, kita tinggalkan dia saja! Awas ya! Kau membuatku panik, Radit!" Aku hendak kembali menuju tepi.

Lagi-lagi Radit memercikan air ke arahku juga Via.

"Ck! Argh! Mahu kau apa Radit?"

****

"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucapku seraya mendelik.

Hari semakin gelap. Akhirnya kami memutuskan pulang.

"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," timpal Radit.

"Sikapmu memang tengil, Radit!" sahut Via. "Lagi pula, aku dan Gea tak ingin menjadikanmu suami. Justru ... pilihan kami sangat bertolakbelakang dengan sikapmu."

"Itu bukan masalah yang besar ... masih ada 23 kandidat pilihan yang berada di ruang hatiku. Kalau kalian tak ingin, pergilah ...."

Hanya ada suara kami berjalan. Tak ada kendaraan yang berlalu-lalang.

"Tumben gelap dan sepi ...." Via mengamati sekitar.

"Memang selalu seperti ini. Kau tak pernah keluar rumah saat malam hari?" tanyaku. "Beberapa rumah memang sering mati lampu."

Jarak kami dengan rumah sudah semakin dekat. Dari jauh terlihat pedagang nasi goreng di depan bangunan besar yang terbengkalai.

"Lapar ...." Radit memelas.

"Rumahmu sudah di depan mata. Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu lalu makanlah."

"Ibuku menyuruhku makan diluar ... hari ini Ia tak memasak." Tatapannya menatap pedagang nasi goreng.

Aku dan Via menghiraukannya. Kami ingin segara beristirahat dan membersihkan tubuh. Rasanya tubuh ini sudah mulai lengket.

Kami sudah sampai di pertigaan jalan. Aku dan Gea berpegangan hendak menyeberang. Dipertengahan jalan aku menoleh ke arah belakang.

Tatapanku menatap Radit yang sedang terdiam seraya memelas. Menatap pedagang nasi goreng yang kala itu sedang sepi pembeli.

Kuhentikan langkahku. Kutarik Via saat itu untuk kembali.

"Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?" ucapku.

"Sudah kubelikan ikan."

"Ikan?" tanyaku heran.

Wajah Via sudah terlihat kesal. "Sudah kubilang jangan membeli ikan cupang itu ... kau sudah besar Radit! Tapi lihatlah Gea ... Ia membelinya."

Kukerutkan keningku. "Lalu? Ikannya ke mana?"

"Sudah kusimpan di kolam dekat danau."

"Kau memang pantas kelaparan," ucapku dengan geram. "Ya sudah ... sisa uang itu belikan nasi goreng."

"Dia membeli empat ikan cupang," timpal Via. "Pedulikan saja hidupmu Gea. Kau memedulikan orang yang salah." Via mengerutkan bibirnya, kesal.

"Ya ... kenapa kau membeli ikan itu, Radit?" tanyaku masih heran. "Hidupmu memang tak bisa ditebak."

"Sudah lama aku ingin mengoleksi ikan cupang. Ibuku tak mengizinkanku. Ya sudah ... kusimpan di kolam buatanku."

"Mengoleksi?"

"Pantas saja Ibunya murka," sahut Via.

"Ya ... ikanku sudah banyak." Lagak Radit bangga dan sombong. "Kusisihkan uang untuk membelinya."

"Dia sudah membeli banyak ikan," bisik Via terhadapku.

"Dan kau tinggalkan mereka tanpa makanan? Sama saja kau menyiksa mereka dengan kelaparan."

"Kau goreng saja semua ikan-ikanmu itu. Sekarang tanggung lah akibat dari perbuatanmu sendiri." Kutarik tangan Via untuk menyebrang. "Biarkan saja dia merasa kelaparan seperti ikan-ikannya."

"Tunggu ... kumohon. Besok kuganti uangnya."

****

Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.

"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Perutnya yang keroncongan terus meraung-raung.

"Satu nasi goreng," kata Pak Suryo, penjual nasi goreng. "Satu?" Pak Suryo menghitung keberadaan kami. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian akan menonton mukbang dari temanmu?"

Kututup rasa kesalku dengan senyuman. "Ya ... kami sudah kenyang." Aku langsung menoleh menatap Radit tajam.

"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.

Via mengerutkan keningnya. Tangannya seraya mengepal.

"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Pak Suryo, seraya mengelap meja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!