TUMBAL RUMAH SAKIT
Gea Agnestia, wanita cantik berumur delapan belas tahun yang memiliki kedua sahabat kecil yakni Via dengan Radit. Saat itu, tampak Via sedang mengejar Radit dengan raut wajah penuh dengan amarah.
"Gea! Bantu aku." Via berusaha merebut tasnya dari genggaman Radit. "Hei! Kembalikanlah!"
"Ambilah ... kalau dapat, kuberikan lagi padamu." Radit terlihat puas. Ia berlari menjauh, lalu terhenti lagi mengejek Via kembali.
"Cukuplah Radit!" Via menghentakkan kakinya. "Ayolah! Tak bisakah kau lihat bahwa aku ini lelah?"
"Tidak." Radit langsung memejamkan matanya.
Via langsung menoleh ke belakang. "Gea! Lihatlah!" Ia mengadu. Via mengambil batu di hadapannya. "Kembalikan! Atau kepalamu akan bocor?"
Matanya sipit semakin tak terlihat. Ia tertawa puas karenanya. "Nih ... ayo, buat kepalaku bocor."
Dilemparkannya batu itu pada Radit. Di sisi lain Radit berpose menungging sengaja merendahkan Via bahwa lemparan itu tak akan mengenainya.
"Akan kupukul kau. Kuhitung sampai tiga—"
"Pukul saja! Lagi pula belum tentu kau bisa mengejarku!" sela Radit. Ia berlari menjauh saat Via mendekatinya.
Di sisi lain, Gea berjalan dengan lambat seraya mengamati tingkah laku kedua sahabatnya itu.
Mereka berjalan menuju sebuah danau kecil dengan rumah pohon tua yang sudah dijadikannya base camp saat mereka kecil.
"Hahahahahh, ayo kejar aku." Radit langsung memanjat rumah pohon itu. Membuka seragam sekolahnya, menyisakan kaos dalam dan celana pendeknya.
BYUARRRR!!
Ia melompat ke danau.
"Awas ya kau Radit!" Via berusaha memanjat pohonnya.
"Biarkan saja anak itu. Ia memang mengjengkelkan. Lebih baik kita duduk di tepi danau saja," ajak Gea pada Via.
Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Awas saja kau Radit!"
"Sini kalau berani ...." Radit tak berhenti-henti mengejeknya. Tak sampai disana, Radit pun berenang mengikuti mereka.
Via sontak menoleh padanya. "Diamlah! Kau ini maunya apa!"
"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Percikan air itu membasahi tubuh mereka.
"Ck! Argh!" ketus Gea. "Basah Radit!"
"Lebay!" Radit terus memercikan air dengan sikap tengilnya.
"Aku harap kau diterkam buaya" murka Via sembari mengusap-ngusap bajunya yang basah.
"Mana buaya? Aku dengannya kan sama-sama buaya. Akan kuhabisi dia," ejek Radit.
"Dih ... lagakmu ...." kata Via seraya mendelik.
"Bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"
"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam saja? Duduk manis menatap sunset. Kau memang pecicilan." Via langsung memilih tempat yang kering.
Radit tak mendengar ucapannya. Ia tetap bebal, menggoda Gea dan Via hingga kesal.
"Sudahlah Radit! Atau tidak aku tak akan segan-segan membunuhmu!" murka Gea.
"Woohhh, takut."
Matahari sudah mulai kemerah-merahan, tampaknya malam akan tiba.
"Sudahlah Dit, apa yang kau cari di sana? Naiklah ... sudah terlalu lama kau berada di sana," ucap Gea seraya menatap Radit.
"Iya, kau tidak akan menemukan mutiara dan harta karun di dalam sana," timpal Via.
Radit hanya terdiam. Ia tak merespon apapun.
"Dia kenapa?" tanya Gea.
"Dia hanya cari perhatian saja. Sudah, hiraukan ...." Via alihkan pada pembicaraan sebelumnya.
"Sampai mana kita tadi—" (jawaban Via terpotong oleh teriakan Radit).
"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!" teriak Radit dengan histeris.
Gea dan Via tercengang. Melihat Radit sedang tenggelam seraya meminta tolong.
"Vi!"
"Gea! Sepertinya Radit tak berbohong."
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung berenang untuk menyelamatkan Radit.
"Bertahanlah Radit!" teriak Via.
Gea berusaha menggapai tubuh Radit yang berada jauh ditengah danau. "Pyuh ... bertahanlah."
Hingga mereka berhasil merangkul tubuhnya
"Via, bantu akh untuk membawa tubuhnya ke tepian!" teriak Gea. Ia memegang lengannya, mendongkakkan kepalanya agar bernapas. "Bernapaslah ...."
Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama di samping kanan Radit.
Napasnya terengah-engah. "T-tolong! Aw-shh! Tapi bohong! Heheheh!" Raut wajahnya berubah seraya tertawa. "Memangnya ... kalian pikir aku bodoh dalam berenang?"
Raut wajah Gea dan Via seketika berubah.
"Kau!" kesal Gea. "Leluconmu berlebihan. Hentikanlah."
"Rasakan ini." Via langsung menenggelamkan Radit. Ia tak memberikan satu pun hirupan oksigen pada Radit.
Radit berusaha mengambil napas. "Ck-ah! Iya-iy—" (ucapnya terpotong karena langsung ditenggelamkan lagi).
"Ak-minta maf—"
****
"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucap Gea seraya mendelik.
Cahaya bulan mulai menggantikan cahaya mentari. Hari telah berganti malam.
"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," ceplos Radit.
"Tak bisakah kau bersikap layaknya manusia biasa? Menjengkelkan sekali!" sahut Via. "Ingatlah hal ini ... aku dan Gea tak ingin menjadikanmu suami. Justru ... pilihan kami sangat bertolakbelakang dengan sikapmu."
"Itu bukan masalah yang besar ... masih ada 23 kandidat pilihan yang berada di ruang hatiku. Kalau kalian menolaknya, pergilah ...."
Suasana tampak sepi. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang dan hanya ada suara dari gesekan sepatu mereka.
"Tumben gelap dan sepi ...." Via mengamati sekitar.
"Memang selalu seperti ini. Kau tak pernah keluar rumah saat malam hari?" tanya Gea. "Beberapa rumah memang sering mati lampu."
Krauk ... krauk ... krauk.
"Lapar ...." Melas Radit.
"Jadi?" tanya Via. Ia mengangkat satu alisnya.
"Rumahmu sudah di depan mata. Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu lalu makanlah di rumah."
"Ibuku menyuruhku makan diluar ... hari ini Ia tak memasak." Tatapannya menatap pedagang nasi goreng.
"Rese!" Via menggelengkan kepalanya, memberikan kode pada Gea.
Gea dan Via menghiraukannya.
"Pulanglah cepat! Tubuhku sudah mulai lengket," kata Gea.
"Di rumah kau bisa membuat mie instan," timpal Via. "Manja sekali."
"Sudahlah, peganglah tanganku," ucap Via seraya menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Radit, ikutlah menyebrang," timpal Gea tanpa menoleh.
Gea menarik tangan Via saat mengetahui Radit tak ikut menyebrang.
"KENAPA LAGI?" kesal Via. Via terlihat marah.
Gea mulai menghampiri Radit lagi. "Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?" ucap Gea dengan rasa iba.
"Sudah kubelikan ikan."
"Ikan? Kalau begitu, di mana ikannya? Goreng saja ikannya dirumah," ucap Gea.
"Bukan ikan itu Gea." Ia mengelap wajahnya dengan kasar. "Ck! Sudahlah! Kau tidak usah berlagak seperti korban. Kau hamburkan uangnya untuk membeli ikan tak berguna itu kan? Makanlah semua ikan-ikan itu."
"Kemana ikan-ikan itu?" tanya Gea. Ia terlihat keheranan.
"Sudah kusimpan di kolam dekat danau."
"Kalau begitu lupakanlah, lagi pula kau sudah membelinya, kan?" Tatapannya sesekali melihat terhadap Via. Gea masih mencerna kenapa Via terlihat murka. "Ya sudah ... sisa uang itu belikan nasi goreng."
"Dia membeli empat ikan cupang Gea ...." murka Via. "Dia membeli ikan itu dan membiarkannya di danau buatannya yang Ia gali sendiri di tanah. Kau telah memedulikan orang yang salah." Via mengerutkan bibirnya, terlihat kesal. "Sudahlah biarkan saja, Ia harus merasakan kelaparan seperti ikan-ikan itu. Aneh, usiamu sudah delapan belas tahun. Kau masih saja seperti ini."
"Aku tak mengerti."
"Oh ayolah Gea, ketidakpercayaan itu benar." Via mendelik, seraya menyilangkan kedua tangannya.
Gea langsung menatap tajam kearah Radit. Ia mengembuskan napasnya dengan kencang. "Kau goreng saja semua ikan-ikanmu itu. Sekarang tanggung lah akibat dari perbuatanmu itu." Gea langsung menarik tangan Via untuk menyebrang.
"Tunggu ... kumohon. Pakai uangmu dulu, besok kuganti uangnya."
****
Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.
"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Kedua lengannya sudah menggenggam sendok dan garpu untuk segera menyantap pesanannya.
"Satu nasi goreng spesial dengan ati komplit daging kambing dan ayam suwir sambal ijo," kata Suryo, penjual nasi goreng. Pesanannya sontak membuat Via langsung menatap ke arah nasi goreng itu.
"Siapa yang memesan ini Pak?" tanya Via.
"Radit sendiri toh yang pesan ini. Apa pesanannya salah ya?" tanya Suryo.
"Oh ..." Via tersenyum. Ia menggertakan giginya dengan kesal. "Tidak Pak. Keinginannya sendiri ya?" Tatapannya menoleh tajam pada Radit.
"Iya, Radit memang sudah biasa memesan menu ini. Oh ya ... kalian hanya membelinya satu?" Suryo menghitung keberadaan mereka. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian hanya akan menonton mukbang dari temanmu?"
Gea tersenyum. "Ya ... kami sudah kenyang,"ucap Gea langsung menoleh menatap Radit tajam.
"Melihat pesanan Radit saja, itu sudah membuatku kenyang." Via tersenyum lebar, tetapi tidak dengan tatapannya.
"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.
"Oh ... begitu ya ...." Via mengecilkan suaranya. "Baru kali ini aku menyesal berbuat baik pada orang lain."
"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Suryo, seraya mengelap meja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments