Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Dua orang pelayan keluar masuk mengusung kue untuk dimasukkan ke dalam mobil box pengantar barang. Arumi juga tampak sibuk sekali, ikut mengamati dan mencatat kotak-kotak kue agar tidak terjadi kesalahan pengiriman.
"Mbak Arumi, persediaan bahan baku di dapur menipis." Seorang yang datang dari arah belakang, berbisik di sampingnya.
"Kamu catat apa saja yang perlu dibeli. Nanti catatannya kasihkan saya. Sementara, saya mengawasi pengiriman kue ini dulu," jawabnya memberi perintah.
Arumi kembali mengawasi sampai semua pesanan masuk kedalam mobil box itu. Setelah memastikan semua urusan di bagian depan selesai, ia beranjak ke belakang, menemui karyawan yang ia tugaskan sebelum itu.
Dengan gerak cepat, ia menerima selembar kertas, lalu menelepon bagian pengiriman bahan baku untuk mendatangi pesanan ke toko miliknya itu. Semua hal harus di tangani olehnya sendiri. Sebab, tokonya baru saja dibuka. Iatidak berani mengambil resiko kerugian lebih besar sebelum tahu pasti perkembangan pasar penjualannya. Hanya tiga orang karyawan, dan terkadang ia harus menyewa mobil pengiriman pesanan jika sewaktu-waktu ada pesanan yang banyak seperti hari ini. Di hari-hari biasa, Arumi memilih menggunakan motor matic-nya untuk mengantar pesanan.
Terbiasa hidup susah sejak kecil, membuatnya mandiri dan justru dewasa di usia muda. Tak mudah mendapatkan kehidupan yang cukup layak seperti saat ini, karena sebelumnya ia harus bergulat melawan kerasnya kehidupan. Dan ituia lakukan seorang diri, tanpa dukungan keluarga atau saudara.
Hidup yatim-piatu dan dibesarkan di panti asuhan sejak dari lahir, membuatnya bertekat mengubah nasib, tidak ingin keadaannya lebih menyedihkan dari usia kanak-kanak dulu.
Selepas SMA, Arumi keluar dan hidup mandiri dari panti. Melakukan berbagai macam usaha agar
mendapatkan uang untuk biaya kuliah, meskipun hanya sebatasdi Universitas Terbuka.
Tentu sangat berat baginya meraih cita-cita mengandalkan bahunya sendiri. Arumi sampai beberapa kali berganti pekerjaan. Dari pelayan rumah makan, pelayanan kafe, hingga terakhir kali menjadi pelayanan di bar malam.
Besarnya pendapatan dan fee di bar malam membuat Arumi tergiur. Apalagi ia memiliki wajah yang sangat cantik dengan bentuk tubuh yang proporsional, sangat mudah menggaet pelanggan demi mendapatkan tambahan bonus.
Dirinya yang saat itu sedang ditekan habis-habisan oleh masalah keuangan, merasa bekerja di bar itu adalahsebuah solusi terbaik. Pundi-pundi uang ia dapatkan. Ia terus bekerja selama lima hari. Dua hari yang tersisa ia gunakan untuk kuliah. Tidak hanya bekerja di bar malam, siangnya bahkan Arumi masih sempat bekerja sebagai pengantar kue di sebuah toko kue milik orang tua sahabatnya. Dari sanalah dirinya mulai mengenal dunia kuliner.
Si pemilik toko yang sangat agamis tetapi tidak fanatik, berhasil menarik perhatian Arumi untuk mendalami ilmu agama. Tidak hanya menjadi kurir, dirinya juga diizinkan masuk ke dapur dan membantu membuat adonan. Empat bulan beradadi toko itu, Arumi cukup bisa diandalkan menjadi orang kepercayaan.
Sayangnya, putra si pemilik toko jatuh hati pada kecantikan Arumi. Sehingga berniat mempersuntingnya. Akan tetapi di tentang oleh orang tua yang tak lain adalah si pemilik toko itu.
Berawal dari masalah itulah, hubungan Arumi dengan keluarga besar si pemilik toko menjadi renggang. Bekerja di sana pun tidak membuatnya nyaman lagi. Sindiran demi sindiran hampir setiap hari ia dengarkan.
Akhirnya, Arumi memutuskan resign. Ia kembali lagi ke bar malam, bahkan kali itu lebih menggila. Karena ia terlibat cinta dengan salah satu pelanggan di sana.
Hari belum terlalu sore. Toko kue Amanah Bakery
masih saja ramai.
Walaupun tidak berjubelan,
tetapi kedatangan para pembeli
seperti tidak ada habisnya. Arumi bersyukur atas rejeki itu. Di sisi lain, dirinya juga sangat lelah.
"Mbak Arumi belum makan sejak siang. Apa mau Ami belikan makanan?"tanya seorang karyawannya yang paling akrab dengan Arumi.
"Saya keluar saja, Mi. Kamu sementara tunggu meja kasir menggantikan saya. Nggak lama kok, saya mau amakan di rumah makan samping saja," jawab Arumi. Ia meraih tas tangannya dan berjalan lewat belakang. Ia memiliki melewati jalan alternatif.
Arumi baru akan melangkah melewati lorong, menuju pintu keluar dari samping. Tetapi pandangannya malah tertuju pada mobil yang sengaja di parkirkan menjorok ke dalam gang.
"Mas Aris, ngapain di situ naruh mobilnya? Kayak orang lagi ngumpet aja."
Karena curiga, ia pun mengambil ponsel dan menelepon suaminya. Panggilan langsung diangkat oleh Aris.
"Assalamu'alaikum, Mas. Mas mau mampir ke rumah? Sepertinya sore ini Arumi sudah ucapnya langsung pada inti. Berniat memancing.
"Waalaikumsalam. Kayaknya nggak deh, Rum. Aku masih sibuk, mesti lembur. Sekarang saja masih di kantor," balas Aris.
"Oh, begitu. Ya sudah, nggak apa-apa kalau belum sempat. Jaga kesehatan ya, Mas. Rum masih di toko, mungkin sebentar lagi pulang. Assalamu' alaikum."
Arumi menutup ponselnya begitu mendengar jawaban salam dari Aris. Ia masih berdiri memandang mobil berjarak 30 meter dari tempatnya berdiri.
"Untuk apa kamu berbohong, Mas? Kamu mau memata-mataiku?" gumam Arumi sambil berjalan mendekati tujuannya .
Langkah diperlambat. Arumi sudah sampai di samping mobil Aris. Ia tak perduli meskipun Aris melihatnya, tak perlu sembunyi-sembunyi seperti halnya Aris.
Dari dalam mobil, rupanya Aris baru mengetahui bahwa Arumi berada di dekat mobilnya. Dirinya terkejut manakala Arumi mengetuk kaca.
"Rum!" Ia terkejut. Meskipun begitu, tetap berusaha tenang membuka dan berhadapan dengan istrinya. Merasa kepergok, Aris pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia turun dari mobilnya tanpa berani memandang Arumi.
"Katanya di kantor, sibuk dan nggak sempat mampir ke rumah. Nongkrong di sini saja sempat, ngapain nggak sempat mampir ke rumah?" teguran beruntun membuat Aris berdeham, lalu menggaruk pangkal hidung, khas tengah kebingungan.
"Aku akan menunggumu di sini. Nanti kita pulang barengan?" Aris beralasan. Dipilihnya kalimat paling simpel untuk mewakili perasaan malunya.
"Pulang ke mana?" tanya Arumi dengan bernada kesal, sedikit ketus.
"Ke rumahlah. Memangnya ke mana lagi?"
Mendengar jawaban Aris yang tidak mampu menjelaskan apapun, Arumi sebal sendiri. Ia menjejakkan kaki meninggalkan Aris, menuju rumah makan yang ada di sebelah gang.
"Mau ke mana?" tanya Aris yang tidak tahu tujuan Arumi. Ia masih berdiri di sisi mobilnya.
"Makan," jawab Arumi singkat. Ia berhenti seketika ketika menyadari sesuatu yang salah. Berapa lama mau parkir di situ? Orang-orang mau lewat tuh.
Jangan membuat rintangan untuk orang-orang yang mau lewat. Nggak baik. Kalau mau menungguku, pindahkan mobilnya ke halaman toko."
Arumi berbalik dan kembali melangkah. Sedangkan Aris, ia buru-buru menuruti perkataan Arumi. Masuk ke dalam mobil lalu memindahkannya mobilnya dari gang menuju halaman toko istrinya. Setelah itu, ia berjualan menyusul Arumi.
Pintu sudah tertutup rapat. karyawan lainnya sudah pulang lebih dulu. Kini, Arumi berjalan menuju sebuah mobil yang sejak satu jam yang lalu sudah menunggunya.