Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AZKAN !!!
“Aku marah dan menolak menikah, bukan berarti kau boleh pergi tanpa kabar meninggalkanku sendirian! Apalagi kalau sampai terjadi sesuatu padamu!” Hebatnya Laina masih bisa mengomel meski langkah kakinya semakin berat karena lelah dan keringatnya mengalir deras karena hawa panas dari kobaran api yang terus membesar secara tak masuk akal.
“Kalau apinya sebesar ini, mungkin sebentar lagi, seluruh gunung ini akan habis terbakar. Sebenarnya apa yang kau lakukan di atas sana, Az?” Laina tersengal, nafasnya menjadi pendek-pendek. Dadanya sudah terasa sakit tiap kali dia bernafas. Namun rasa khawatirnya pada Azkan jauh lebih besar dibanding rasa sakit yang harus dia tanggung sekarang. Maka, langkah kakinya terus menuju ke puncak gunung, meski tak lagi secepat sebelumnya.
Sementara itu, di kaki gunung, tepat di tempat dimana mobil hitam Azkan diparkir, Ardoz dan beberapa prajuritnya sedang memeriksa situasi. Dari bawah sana, mereka bisa melihat kobaran api berwarna merah yang menyala semakin besar di puncak gunung.
“Samuel, apakah mungkin untuk melihat keadaan di atas sana menggunakan pesawat kecil?” Tanya Ardoz pada Kapten Angkatan Udara yang datang bersamanya. Mata hitam Samuel menyipit, mempertimbangkan kobaran api yang terus membesar secara tak masuk akal.
“Sepertinya tidak mungkin, Jenderal. Itu api Sang Dewa. Bukan api yang dibuat manusia. Sekarang ini, tidak ada seorang pun yang bisa mendekat ke sana.” jawaban Samuel tepat seperti yang dipikirkan Ardoz. Meski sudah tahu, tetap saja Ardoz membutuhkan peneguhan ulang atas pendapatnya dari orang yang dia percaya.
“Jadi, untuk saat ini, kita hanya bisa menunggu seperti ini?” Ardoz bergumam pada dirinya sendiri.
“Lihat! Ada Garda di sekitar api itu!” Samuel menunjuk seekor elang raksasa yang terbang berputar-putar di sekitar api besar. Suara Garda memenuhi kesunyian pegunungan. Dia seperti sedang menyampaikan sesuatu. Tapi tak ada yang tahu apa artinya. Hanya Azkan yang bisa mengerti. Namun sekarang, tidak ada Azkan di antara mereka.
Ketidaktahuan mereka yang hanya bisa menatap dari kaki gunung, menimbulkan perasaan cemas. Bagaimana jika terjadi sesuatu di atas sana? Pasalnya, orang-orang yang naik ke puncak gunung untuk berdoa secara langsung pada Sang Dewa, biasanya tidak memakan waktu lebih dari dua hari. Lalu, mereka juga tidak pernah melihat api Dewa sebesar sekarang. Saking besarnya, mereka pun berpikir kalau keseluruhan gunung bisa terbakar.
Suara Garda, sang elang raksasa semakin nyaring. Ardoz, Samuel, dan beberapa prajurit yang ada bersama mereka, memperhatikan Garda dengan seksama. Elang itu, tiba-tiba menikuk tajam ke arah gunung, di bagian tengah gunung yang kini hampir terbakar api juga. Dengan kecepatan penuh, Garda menerjang kobaran api, masuk ke dalam gunung, lalu keluar sambil mencengkeram sesuatu di kedua cakarnya.
“Jenderal! Itu manusia!” suara salah satu prajurit membuat Ardoz waspada. Pandangannya terus tertuju pada Garda yang sekarang terbang menukik ke bawah, menuju mereka.
Angin berembus kencang di sekitar Ardoz dan pasukannya ketika Garda dengan elegan mengepakkan kedua sayap raksasanya hingga mendarat di atas padang rumput luas, di sisi sungai. Garda meletakkan tubuh seseorang dengan hati-hati di atas rumput, lalu mengetuk-ngetuk tubuh manusia itu dengan ujung paruhnya. Setelah itu, Garda menatap Ardoz dan Samuel, kemudian dengan tenang, dia berjalan menuju sungai, dan minum di sana. Dia tak lagi memedulikan urusan para manusia. Seakan tugasnya sudah selesai.
“Laina!!!” Ardoz berlari lebih dulu ke arah tubuh yang terkulai tak berdaya di atas padang rumput.
“Pasangan Azkan? Kenapa dia ada di gunung?” Samuel menyuarakan isi pikirannya dengan jelas. Sampai pagi ini, Laina masih berada di kastil Azkan. Hanya Azkan yang naik ke gunung. Tidak ada juga penduduk pulau lain yang mendekati gunung Sang Dewa. Siapapun yang mau naik ke atas gunung, harus memberitahu orang di kantor pemerintahan lebih dulu agar mereka bisa menjaga mereka yang hendak berdoa ke puncak gunung.
“Dia pasti pergi sendiri tanpa sepengetahuan siapa pun.” Ardoz berlutut di sisi Laina, memeriksa nadinya dan tubuhnya yang sebagian dipenuhi luka goresan.
“Dasar keras kepala.” omel Ardoz pada Laina yang tak sadarkan diri.
“Tadi Garda mengambilnya dari bagian tengah gunung. Dia hampir saja terbakar api Sang Dewa.” Samuel menegaskan lagi keadaan Laina yang berbahaya.
“Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Ardoz mengangkat tubuh Laina, lalu berjalan menuju mobilnya.
“Samuel, kau tetap di sini bersama yang lain. Tunggu Azkan sampai dia turun. Jelaskan kejadian barusan padanya. Katakan kalau kami ada di rumah sakit.” Ardoz memberikan instruksi dari balik kemudi mobilnya.
“Baik, Jenderal.”