Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Salah paham
"Jelaskan pada Papa, Ansel. Siapa gadis itu? Kenapa menyembunyikannya di apartemen? Kenapa tidak menikahinya?" Pertanyaan yang terlontar, dengan nada kekecewaan dari bibir sang ayah.
Sore tadi, Raksa mendadak dibuat bingung oleh berita sang istri.
"Papa, cucu kita sudah lahir! Cepat kesini!"
"Cucu, apa?"
"Ansel, Pa. Ansel menyembunyikan pacarnya di apartemen. Sekarang, cepat ke rumah sakit!"
Saat tiba, ia mendapati sang istri tengah menggendong seorang bayi, sembari mengajaknya mengobrol. Wanita lainnya, yang adalah asisten sang istri, menggendong bayi lainnya.
Diatas bed, gadis muda terbaring lemah, dengan jarum infus menancap diurat nadi tangannya. Sang putra, duduk disisi ranjang dengan menggenggam tangan si gadis.
"Dia Maya, Pa." Ansel mengambil posisi waspada. Kalimat selanjutnya, mungkin sang ayah akan memukulnya. "Dia mantan tunangan Zamar Abidsatya."
"APA?" Raksa sudah bangkit, dengan mata melotot. Dugaan Ansel benar, sang ayah menunjuk-nunjukknya dengan emosi. "Kau gila? Hah! Jadi, kamu yang menyebabkan mereka gagal menikah? Apa tidak ada wanita lain?"
"Papa, dengar dulu!" Ansel mundur, mengambil posisi aman.
Mulailah, Ansel bercerita pertemuannya dengan Maya pertama kali. Hingga, nuraninya tergerak untuk membantunya. Maya yang sampai saat ini, belum menceritakan kisah cintanya, yang kandas. Ansel berkata, akan menunggu sampai gadis itu siap. Dan untuk sampai saat ini, ia akan terus disisinya.
"Ansel, kau tahu, apa akibatnya? Meski, mereka sudah selesai. Tapi, anak itu adalah darah daging Zamar."
"Dia tidak mengakuinya, Pa."
"Kau yakin?"
"Papa, untuk apa Maya pergi sampai mau bunuh diri? Jika, Zamar mau menerima mereka."
"Oke. Papa mengerti. Tapi, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Ibumu sudah salah paham dan menganggap mereka adalah cucunya. Dua bayi sekaligus, Papa tidak tega memberitahu ibumu."
"Aku tahu. Tapi, ibu harus tetap mengetahui sebenarnya."
Ansel dan sang ayah masuk dalam ruang perawatan. Tampak Resti, masih setia didepan box bayi. Mengajaknya mengobrol, seolah mereka mengerti.
"Papa, sini. Lihat mereka! Oh, cucu Mama yang tampan dan cantik. Halo, khaira, khaysan. Ini Oma, panggil Oma."
"Khaira, Khaysan?" Ulang Ansel dan sang ayah.
"Benar. Mama sudah memberikan mereka nama. Bagus, kan?"
Ansel dan sang ayah saling menatap. berkomunikasi lewat tatapan mata. Bagaimana mereka harus mengatakannya? Wanita yang tengah berbahagia, dengan kehadiran dua sosok bayi yang kini dianggapnya cucu. Pikiran mereka sama, "tidak tega dan dia pasti kecewa"
"Ma," panggil Raksa dengan lembut. "Papa ingin bicara sebentar."
"Di rumah saja, Pa. Mama sedang sibuk." Resti bahkan tidak menoleh, saat menjawab. "Ansel, periksa istrimu! Mama sudah meminta Vidia pulang ke rumah, untuk menyiapkan kamar."
'Istri' satu kata, yang kembali membuat ayah dan anak itu, saling menatap.
"Oh iya. Fira mau kesini. Katanya, mau lihat keponakannya yang imut-imut," lanjut Resti yang belum juga menoleh.
Tanpa aba-aba, Ansel langsung membuka pintu. Didepannya, sang adik datang dengan keranjang buah dan kantong plastik, yang entah apa isinya. Ansel langsung menariknya menjauh dari pintu.
"Apa sih, Kak? Aku mau lihat, anak-anakku."
"Dengar, Fir. Jangan mengatakan apapun didalam. Aku dan papa sudah sepakat, akan membicarakan ini di rumah."
"Membicarakan apa?"
"Wanita yang melahirkan didalam bukan pacarku. Dia adalah Maya."
"Oh, Maya." Fira mengangguk, lalu tersadar detik berikutnya. "Maya?" Fira memekik.
"Benar. Dia Maya, teman satu kampus dan ruanganmu."
"Kenapa bisa?"
"Kakak akan menjelaskannya nanti. Berpura-puralah tidak mengenalnya. Jika ingin menyapa, kau cukup berbisik padanya."
"Tapi, Kak. Aku_"
"Tidak ada, tapi-tapi. Sekarang, kita masuk kedalam."
Saphira menarik napas panjang, sebelum masuk ruangan bersama sang kakak. Ia juga deg-degan, mengingat hubungannya dengan Maya. Selama ini, ia membuli dan menghina gadis itu.
"Kau sudah datang, sayang. Lihat keponakan, cantikmu!"
Saphira menyerahkan keranjang buah dan kantong plastik, pada sang kakak. Ia bergabung dengan sang ibu.
"Oh, lucunya! Mama, mereka kembar?"
"Iya, sayang. Lucu, kan! Ini Khaira dan ini Khaysan." Resti kembali memperkenalkan dua cucunya.
"El," Suara serak, dari atas bed. Saphira membeku dan tak berani menoleh. Ia berpura-pura sibuk, dengan dua bayi yang sebenarnya sedang terlelap.
"Kau sudah bangun?" Resti dan Ansel, melangkah bersama. Ansel menyambar segelas air putih.
"Minumlah."
"Anakku?" tanya Maya, dengan nada masih lemah.
"Mereka tidur. Kamu makanlah dulu dan minum obat."
Ansel mengatur posisi duduk Maya, sementara sang ibu, sibuk menyiapkan makanan.
"Terima kasih, Tante."
"Panggil Mama, dong, sayang!"
Maya menatap Ansel, entah meminta persetujuan atau bertanya lewat sorot matanya. Dan Ansel hanya menganggukkan kepala, sebagai jawaban.
"Baik, Ma," ujar Maya, meski masih ragu.
Dan gadis itu, menerima sepiring makanan dengan pandangan memperhatikan pria asing yang sedang duduk menatapnya. Gadis asing, berambut coklat panjang, didepan box bayi dangan posisi membelakanginya.
"Oh, sayang. Mama lupa, memperkenalkan mereka. Dia ayah Ansel dan itu adiknya."
"Maaf, Om." Maya menundukkan kepala.
"Tidak apa. Kamu makanlah dan beristirahat. Jangan sungkan!"
Bagaimana mungkin Maya, tidak merasa sungkan. Keluarga Ansel menjaga dan memperlakukannya, seperti seorang anak. Dia merasa, utang budinya semakin banyak dan bingung harus membalas bagaimana.
Maya hanya mampu menghabiskan setengah piring makanannya. Ia segera meminum obat pemberian Ansel.
Gadis muda, dengan kepala menunduk, berjalan menghampirinya. Wajahnya tak terlihat jelas, karena terhalang rambut panjang yang tergerai.
"Hai, May," Sapanya dengan berbisik.
Maya spontan melotot, ingin bersuara. Namun tertahan, dengan genggaman tangan Saphira dan gelengan kepalanya, sebagai isyarat.
"Maaf," ujar Fira. "Aku minta maaf, untuk segalanya. Ibuku belum tahu, tentangmu dan kakakku memintaku, untuk diam, sementara waktu."
"Banyak hal yang mengagetkankan ku, termasuk pernikahan Sandra dan Zamar. Kau yang menghilang dan tiba-tiba berada disini," lanjut Fira, yang masih berbisik. "Aku menerimamu, sebagai kakak iparku."
"Hah? Maksudmu?"
"Nanti saja, May. Cepatlah pulih. Keponakanku sangat cantik dan tampan. Aku ingin bermain dengan mereka."
Maya belum menjawab apa-apa, tapi Saphira sudah memutar badan, menuju box bayi. Tampak ibu dan ayah Ansel, mengelilingi box bayi. Mereka mengobrol, lalu tertawa.
"Maaf. Kau pasti bingung, dengan keadaan ini."
Maya menoleh. Ansel sudah duduk disisi ranjang.
"Tidak apa. Aku yang harusnya minta maaf, karena sudah banyak merepotkanmu dan keluargamu. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus membalas budi, El."
"May, aku hanya ingin kamu sembuh dan mengasuh mereka. Dan-" Ansel menggantung kalimatnya.
"Dan, apa?"
"Ibuku sudah memberi mereka nama. Khaira dan Khaysan. Tapi, kau bisa mengubahnya. Mereka adalah hakmu."
"Aku suka nama itu, El. Aira dan Khay, aku bisa memanggil mereka, seperti itu."
"Terima kasih, May."
🍋
🍋
Di tempat berbeda, Zamar merasa aneh dengan perasaanya. Jantungnya berdegup tidak beraturan, seperti ada perasaan khawatir dan cemas, akan terjadi sesuatu. Namun, ia tidak tahu apa. Sepanjang hari, ia tidak nafsu makan, ia tidak fokus dan batinnya merasa ada yang janggal, entah apa.
Ia memanggil dokter pribadi, untuk memeriksa kesehatannya. Namun, ia tidak memiliki gejala penyakit apapun. Tapi, hatinya, masih tidak tenang.
🍋 Bersambung
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan