MANTAN. Apa yang terbesit di pikiran kalian saat mendengar kata 'MANTAN' ?
Penyesalan? Kenangan? Apapun itu, selogis apapun alasan yang membuat hubungan kamu sama dia berubah menjadi sebatas 'MANTAN' tidak akan mengubah kenyataan kenangan yang telah kalian lewati bersama.
Meskipun ada rasa sakit atas sikapnya atau mungkin saat kehilangannya. Dia pernah ada di garis terdepan yang mengisi hari-harimu yang putih. Mengubahnya menjadi berwarna meski pada akhirnya tinta hitam menghapus warna itu bersama kepergiannya.
Arletta Puteri Aulia, gadis berkulit sawo matang, dengan wajah cantik berhidung mancung itu tidak mempermasalahkan kedekatannya lagi dengan cowok jangkung kakak kelasnya sekaligus teman kecilnya-- Galang Abdi Atmaja. Yang kini berstatus mantan kekasihnya.
Dekat? Iya,
Sayang? Mungkin,
Cemburu? Iya,
Berantem? Sering,
Jalan bareng? Apa lagi itu,
Status? Cuma sebatas mantan.
Apa mereka akan kembali menjalin kasih? Atau mereka lebih nyaman dengan -MANTAN RASA PACAR- julukan itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmi SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
“Ta, Ta. Lihat deh, Raya kok boncengan sama Kak Galang?”
Arletta ikut menoleh. Motor itu melewati mereka. Galang ataupun Raya tidak melihat keberadaan Arletta dan Andini karena mereka tertutupi oleh beberapa siswa siswi yang lewat.
Mereka saling pandang, “mereka ngga ada hubungan di belakang kita kan?”
Arletta terdiam, Arletta sendiri pun tidak tahu jawaban dari pertanyaan Andini itu.
“Kita pura-pura ngga lihat aja,” jawabnya tersenyum.
Tidak lama kemudian Rafa datang. Arletta dan Andini pun masuk ke mobil Rafa. Arletta menatap kosong pada jalan yang mereka lewati. Entah pikirannya saat ini tengah tertuju ke mana sekarang setelah melihat Galang berboncengan dengan Raya. Banyak pertanyaan muncul. Apa mereka tengah dekat saat ini?
“Ta?” Tegur Andini membuatnya tersadar. Andini sudah berdiri di luar, di sebelah kaca mobilnya.
“Thanks tumpangannya. Ngga denger, ya?” Dengkus Andini.
“Eh i-iya Din. Sama-sama.” Ia tersenyum kikuk. Andini menepuk pelan bahu Arletta dan mengusapnya, “daripada lo kepikiran, mending lo tanyain sama Kak Galang deh,” bisik Andini.
Ia menoleh pada Rafa, “Makasih kak tumpangannya.” Rafa mengangguk tersenyum pada Andini.
“Mending tanyain,” ulangnya setengah berbisik pelan sebelum melambaikan tangannya. Arletta tampak tersenyum tipis.
***
Arletta melempar pelan tasnya di atas ranjang sebelum tubuhnya juga menyusul tasnya. Ia menjatuhkan dirinya di samping tas malangnya itu. Ia meraih bantal dan memeluknya. Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya.
“Apa perlu gue tanya sama Galang?” Gumamnya. Ia menggeleng, “ngapain juga. Lagian mana mungkin mereka- ish! Mikirin apa sih gue.” Arletta terus meracau frustasi. Apa dia cemburu?
Tok.. tok.. tok..
Arletta menatap pintunya sejenak lalu bangkit dari ranjangnya.
“Kak-“
Rafa menempelkan tangannya di kening adiknya itu, “kamu sakit, Ta?”tanyanya lembut. Arletta menatapnya sendu lalu memeluknya.
Rafa tersentak, “kamu ada masalah di sekolah?”
Arletta menggeleng, “Cuma pengen peluk doang.” Matanya kini memanas, seperti akan meneteskan air matanya.
Rafa melepaskan pelukan mereka. Ia memegang kedua pipi Arletta. “Panas? Beneran nggapapa?”
Arletta menggeleng, “aku mau istirahat aja kak.”
“Tunggu, kamu belum makan siang loh. Mau pesen apa? Biar kakak delivery.” Rafa mencekal lengan Arletta yang hendak masuk kamarnya lagi.
“Ngga usah kak. Aku belum laper kok. Cuma pengen tidur siang bentar.” Arletta kembali melangkah ke kamarnya, sebelum benar-benar menutup pintunya ia menatap Rafa.
“Aku pengen makan seblak di depan sekolah nanti sore. Bangunin aku kalo aku kesorean ya kak,” ucap Arletta tersenyum.
Rafa mengernyit, “yakin? Mereka buka jam lima loh, emang kamu beneran belum laper?”
Arletta menggeleng. Rafa menghela nafas pasrah, “ya udah istirahat gih, ntar kakak bangunin.”
Arletta menutup pintu kamarnya. Rafa menghela nafas lalu pergi dari sana. Arletta masih berdiri di belakang pintu itu. Dan menyandarkan kepalanya di sana.
“Gue kenapa sih? Masa gue cemburu cuma karena itu. Belum tentu juga mereka- ish! Apaan sih lo Ta!” Arletta berdecak kesal karena pertengkaran antara hati dan pikirannya sendiri. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dan mulai terlelap.
***
“Ngga salah mau yang level lima? Level tiga aja udah pedes Ta.”
“Aku pengen makan yang pedes kak,” ucap Arletta. Rafa menggeleng.
“Ngga ada, mbak yang level tiga aja ya,” ucap Rafa menoleh pada penjual seblak itu. Ia tidak menghiraukan Arletta yang menatapnya cemberut.
“Iya mas.”
Rafa mengajak Arletta duduk. Rafa menghela nafas melihat Arletta yang masih cemberut.
“Ayolah Ta, kamu tuh masih ulangan. Kalo di tengah-tengah ulangan kamu sakit perut gimana?” Bujuk Rafa lembut. Bukan Arletta namanya jika tidak langsung luluh saat dibujuk kakaknya itu. “Oke,” jawabnya kemudian.
Rafa tersenyum mengusap puncak kepala Arletta. “Udah mau cerita?” Ucap Rafa kemudian. Senyum itu perlahan memudar, menatap Rafa sedu.
“Kalo emang bener ada masalah, cerita aja sama kakak.”
Alih-alih menceritakan masalahnya sendiri, Arletta justru bertanya, “hubungan kakak sama Raya gimana?”
Rafa tersedak saat meminum teh manisnya. “Hubungan?”
Rafa menatapnya heran. Apa Raya memberitahunya?
“Ngga usah ngelak kak, kalian pernah-“
“Kita ngga pernah pacaran kok,” potong Rafa. Arletta terkekeh di depannya. “Aku ngga bilang itu loh. Tadi aku cuma mau tanya, apa kalian pernah deket? Gitu.”
Arletta masih terkekeh. Rafa salah tingkah di depan adiknya itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan senyum canggungnya.
“Yah, mau ngelak gimana lagi, kamu pasti udah tahu semuanya dari Raya.”
Arletta menggeleng, “Raya ngga cerita apa-apa kok. Kan waktu aku ulang tahun, kakak sama Raya kayak canggung gitu. Terus kakak juga kekeuh mau nganter Raya pulang. Pas aku mau ke rumah Andini juga kakak semangat banget mau nganter aku.”
“Jadi bener kan? Kalian kenal satu sama lain?” Tanyanya. Ia mengaduk seblaknya yang sudah sampai di mejanya.
“Raya ngga cerita apapun?” Arletta menggeleng.
“Kita kenal tiga tahun yang lalu. Dan kita cuma deket doang kok, ngga sampai pacaran.”
“Gara-gara kakaknya Raya?”
Rafa mengernyit, “katanya Raya ngga bilang apapun.”
Arletta cengo, dia keceplosan. Ia meringis, “eum dikit, lagian Raya juga pernah bilang dulu dia pindah ke Indonesia karena apa. Dia emang ngga nyebut siapa mahasiswa itu. Sekarang aku tahu, siapa mahasiswa yang udah bikin sahabat aku klepek-klepek.”
Arletta terkekeh begitu juga Rafa. “Emang kakaknya Raya seumuran kakak ya? Tapi kok kelakuannya kayak bocah gitu?”
Rafa mengernyit, “kamu belum pernah ketemu kakaknya Raya?” Arletta menggeleng, “lagian Raya bilang kakaknya ngga tahu di mana. Untung kalo dia ngga pulang sekalian. Gitu katanya.”
Rafa menghela nafas. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Arletta. Arletta juga tidak tertarik untuk membahasnya.
“Jago banget sih bikin anak orang baper, coba aja Kak Rafa bukan kakak aku. Pasti aku juga udah baper sama kakak,” ucap Arletta pura-pura lesu.
“Bisa aja kamu tuh, belajar gombal dari mana? Dari Galang nih pasti,” timpal Rafa terkekeh.
Mendengar nama Galang, ia kembali merenung. Rafa tersadar, “jangan bilang kamu ada masalah sama Galang?”
Yap! Tepat sekali Rafa! Kamu memang cowok paling peka. Andai ada cowok seperti kamu, mungkin ada satu banding seribu. Arletta menunduk kembali mengaduk seblaknya.
“Karena cewek lain lagi?” Tanya Rafa lembut.
Lagi? Ya, Arletta pernah curhat saat putus dengan Galang, alasannya hanya karena cewek lain.
Rafa tidak marah? Marah tentu saja, jika adiknya disakiti. Tapi dia tahu Galang tidak mungkin benar-benar menyakiti Arletta. Lagipula umum bukan jika ada pertengkaran di antara mereka. Apalagi mereka bersahabat sejak kecil.
Rafa juga tidak ingin mencampuri hubungan di antara adiknya dan Galang. Atau siapapun itu. Bukan tanpa alasan. Semua itu ia lakukan karena alasan yang tidak ada orang lain yang tahu, kecuali dia dan masa lalunya.
***
Motor itu berhenti di sebuah rumah minimalis bercat abu-putih. Raya turun dari sana dengan perlahan.
“Lo bener nggapapa? Sorry, gara-gara gue, lo jadi terluka.” sesal Galang. “Ngga kok. Gue nggapapa, thanks udah nganterin gue pulang,” ucap Raya tersenyum. Galang menghela nafas lalu turun dari motornya.
“Sakit banget? Ke dokter aja, ya,” ucap Galang khawatir. Raya menggeleng lemas.
“Gue udah bilang, gue nggapapa. Lo pulang aja,” ucap Raya setengah mengusirnya.
“Biar gue anter ke dalem,” ucap Galang memapah Raya. Raya sempat menolaknya namun Galang kekeuh untuk mengantarnya masuk ke rumah.
“Loh loh, non kenapa?” Ucap Bibi panik yang baru saja keluar dari rumah itu.
“Nggapapa bi, Cuma kecapean doang,” ucap Raya tersenyum.
“Bi, tolong ambilin air anget di botol ya, bi,” ucap Galang. Bibi mengangguk lalu kembali masuk ke dalam.
Raya duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih setia di perut kirinya. Bibi kembali dari dapur memberikan botol yang tadi Galang minta.
“Nih, kamu tempelin di perut kamu, biar mendingan.” Galang mengulurkannya di depan Raya. Raya meraihnya dan mengikuti instruksi dari Galang tadi. Ia kembali menatap Galang.
“Kamu? Gue ngga salah denger?” Raya terkekeh disela sakitnya.
“Kapan gue bilang?” Galang mengalihkan tatapannya. Raya masih terkekeh di sana.
“Sshh,” rintih Raya saat perutnya kembali sakit. Galang langsung menoleh khawatir. “Udah kita ke rumah sakit sekarang!” Galang berdiri dan mengulurkan tangannya.
Raya menatap tangan itu dan menepuknya, “ish! Gue nggapapa Lang, ngga usah khawatir. Kayaknya tamu bulanan gue juga udah mau dateng,” ucap Raya.
Galang kembali duduk. “Lo ngeyel banget sih, kalo ada apa-apa gimana? Gue ngga bisa maafin diri gue sendiri, Ya,”
“Cckk.. percaya sama gue, gue nggapapa kok,” ucapnya kembali tersenyum.
Deru motor yang baru saja memelan membuat Galang dan Raya menoleh ke arah pintu. Menunggu seseorang yang mungkin akan masuk.
Bian berdiri di sana menatap tajam Galang. Begitupun Galang dengan tatapan dingin. Galang menghela nafas lalu berdiri dari sana.
“Kalo ada apa-apa, lo harus kabarin gue. Gue siap tanggung jawab apapun yang terjadi,” ucap Galang membuat Raya terkekeh.
“Kok ketawa?” Galang mengernyit heran. “Lagian lo bilang gitu kayak hamilin anak orang aja,” timpal Raya. Tatapan dingin itu luntur di depan Raya. Galang tersenyum hangat dan menepuk puncak kepala Raya.
“Bisa aja lo, gue pulang ya, jaga diri baik-baik.”
Raya mengangguk. Galang berjalan melewati Bian yang masih setia di samping pintu.
“Lo mau lari dari rasa bersalah lo?” Ucap Bian dingin saat Galang melewatinya. Galang berhenti tepat di sampingnya.
“Kalo gue kabur, gue ngga akan bawa Raya pulang,”ucap Galang tak kalah dingin.
“Inget ucapan gue tadi, lo ngga perlu jagain Arletta lagi, ada gue. Gantinya, lo jagain Raya, dia butuh lo sekarang.” Bian menoleh, Galang tampak menghela nafas sebelum kemudian dia pergi.
Bian berjalan mendekati Raya yang masih menahan sakit di perut kirinya. Bian duduk di samping Raya.
“Lo ngga apa-apa?” Tanya Bian datar. Raya menoleh, “lo bego? Lo buta?”
Bian berdecak. Ia berdiri meraih tangan Raya. “Mau ke mana?” Tanya Raya heran, tangannya masih setia di perut kirinya selagi tangan yang lain digenggam Bian.
“Rumah sakit bego, kalo lo kenapa-kenapa gimana?” Ucap Bian datar.
“Ck, sejak kapan lo peduli sama gue?” ujar Raya terkekeh. “Bawel banget sih lo.” Bian melepaskan tangannya, ia melempar tasnya asal lalu membungkuk.
“Lo mau ngapain?” Ucap Raya panik. “Diem aja, ngga usah banyak omong.”
Sesaat kemudian tubuh Raya melayang, Bian menggendongnya dan membawanya ke dalam mobil.
“Jangan pernah berpikir gue ngga peduli sama lo, biarpun lo bukan adik kandung gue, gue peduli sama lo.”
tinggal urusan cintanya aja yang masih jauh🤭