Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Sesampainya di kampus, Elina kembali merasa semakin gelisah ketika melihat Galang berjalan mendekatinya.
"Lin... Elina!" teriak Galang memanggil Elina, yang berusaha menghindar darinya.
"Kenapa kamu selalu menghindar dariku, Lin?" tanya Galang.
Elina tidak menjawab, bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah Galang. Perasaan sakit itu kembali menghampirinya, dan ia mencoba melepaskan genggaman tangan Galang yang menahan pergelangan tangannya.
"Le-lepaskan," tepis Elina.
"Lin, a-aku minta maaf. Aku dengar kamu sudah tidak bekerja lagi di hotel tempat ayahku," ucap Galang dengan raut wajah sedih.
"Bukan urusanmu," jawab Elina, mengabaikan perkataan Galang dan berlalu pergi dengan air mata yang kembali membasahi pipinya, mengingat kejadian yang menyakitkan itu.
Elina menyelesaikan perkuliahannya tanpa ingin berpikir lebih jauh tentang pertemuannya dengan Galang.
Tiba-tiba, Arni menghampirinya.
"Lin, kau harus tahu ini! Kau tidak melihat berita? Huh, ini benar-benar berita menggemparkan!" ucap Arni terengah-engah, seolah berita ini akan membunuhnya.
"Ada apa, Ar? Berita apa?" tanya Elina penasaran.
"Clara, Lin... Clara..." belum selesai Arni berbicara, Elina memotong pembicaraan.
"Maaf, Ar, tapi aku tidak ingin mendengar namanya lagi," ucapnya dengan raut wajah dingin.
"Ini beda, Lin! Coba lihat!" ucap Arni, menunjukkan sesuatu di handphonenya.
Dengan malas, Elina melihat berita yang ada di handphone Arni dan seketika matanya terbelalak. Bagaimana bisa ayah Clara tertangkap sebagai bandar narkoba? Bukankah ayahnya pemilik kafe terbesar dan terkenal di kota itu?
"Kau tahu, Lin, semua kekayaan mereka habis. Dan ayahnya kabarnya dijatuhkan hukuman mati," ucap Arni menjelaskan dengan suara seolah tidak percaya dengan berita itu.
Elina tidak bisa berkata apa-apa. Dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa berita tersebut. Dia tidak ingin berpikir jauh tentang berita itu karena ada hal yang jauh lebih berat yang ia pikirkan.
---
Malam itu, bar Tripad mulai ramai dengan suara musik dan percakapan yang riuh. Lampu-lampu neon berkelip-kelip, menciptakan suasana yang hidup di tengah keheningan malam. Elina berdiri di depan cermin kecil di ruang ganti, mengenakan seragam bar yang sederhana namun tetap terlihat rapi. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur napas. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di bar, sekaligus pertemuannya dengan Adrian Volkov, pria yang Desi sebut-sebut sebagai harapan terakhirnya.
Desi, yang sudah lebih dulu siap, menghampiri Elina dan merangkulnya. "Kamu siap, Lin? Jangan khawatir, aku akan ada di sini kalau kamu butuh bantuan."
Elina tersenyum lemah. "Terima kasih, Des. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Mereka berdua keluar dari ruang ganti dan mulai bekerja. Malam itu terasa panjang bagi Elina. Ia melayani tamu-tamu yang datang, membawa minuman, membersihkan meja, dan sesekali melirik ke arah pintu masuk. Setiap kali pintu itu terbuka, jantungnya berdegup lebih kencang, berharap dan cemas pada saat yang bersamaan. Namun, hingga pukul sepuluh malam, sosok Adrian belum juga terlihat.
Saat Elina mulai merasa putus asa, tiba-tiba suasana bar berubah. Beberapa pelayan yang biasanya sibuk berlalu lalang tiba-tiba terdiam. Mereka berbaris rapi seolah menyambut kedatangan putra mahkota; mata mereka tertuju pada pintu masuk. Elina berbalik, dan di sanalah dia—Adrian Volkov Salvatrucha, cerminan sosok yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya, kini berdiri tegak di ambang pintu. Sosoknya yang tinggi dengan jas hitam yang elegan membuatnya terlihat sangat berwibawa. Wajahnya yang dingin dan ekspresinya yang tenang membuat Elina sulit untuk menahan napas.
Adrian melangkah masuk dengan diiringi oleh Daniel, asistennya yang setia, dan beberapa pria berbadan tegap lainnya. Mata tajamnya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti di meja VIP yang sudah dipersiapkan untuknya. Dengan gerakan tangan yang anggun, dia memberi isyarat pada Daniel, yang kemudian berjalan mendekati Desi dan Elina.
“Elina, kamu dipanggil Tuan Adrian,” kata Daniel tanpa basa-basi, suaranya datar namun penuh otoritas.
Elina menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ini adalah kesempatan yang sudah diatur oleh Desi, dan dia tidak bisa mundur sekarang. Dengan langkah ragu, Elina berjalan mendekati meja Adrian. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seolah-olah ada beban yang menghimpit pundaknya.
Setibanya di meja, Elina berdiri canggung di depan Adrian yang sedang menyesap anggurnya dengan tenang. Pria itu menatap Elina dengan tatapan yang sulit diartikan, dingin namun penuh perhatian. Mata birunya seakan menembus ke dalam pikiran Elina, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.
“Silakan duduk,” ujar Adrian dengan suara rendah namun jelas, seraya mengarahkan tangannya ke kursi di depannya.
Elina mengangguk pelan dan duduk dengan kaku. Tangannya yang gemetar diletakkan di pangkuannya, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang sebenarnya. Hatinya berdebar kencang, namun ia tahu, ini adalah kesempatan terakhirnya.
“Desi memberitahuku bahwa kamu membutuhkan bantuan,” kata Adrian, suaranya datar namun penuh wibawa. “Apa yang bisa kubantu, Elina?”
Elina terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata yang terlintas di pikirannya. Ia menatap Adrian, mencoba menemukan kehangatan atau simpati di balik tatapan dingin itu, namun yang ia lihat hanyalah seorang pria yang tenang dan tidak terpengaruh.
“A-aku… nenekku,” suara Elina tersendat-sendat. “Nenekku sakit parah, dia harus segera dioperasi, tapi aku tidak punya uang untuk membayar biayanya.”
Adrian mengangguk pelan, menyesap anggurnya lagi. “Dan kamu berharap aku akan membantumu?”
Elina menggigit bibirnya, rasa malu dan putus asa bercampur aduk. “Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Tuan Adrian. Desi bilang… mungkin… mungkin Anda bisa membantu.”
Adrian meletakkan gelas anggurnya dan bersandar di kursinya, menatap Elina dengan tajam. “Kenapa aku harus membantumu? Aku bahkan tidak mengenalmu.”
Pertanyaan itu menusuk hati Elina. Dia sendiri tidak tahu jawabannya. Mengapa seorang pria seperti Adrian mau membantu orang sepertinya? Namun, dia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Dengan suara pelan, ia menjawab, “Karena… karena Anda adalah satu-satunya harapan yang aku miliki saat ini.”
Adrian terdiam. Tatapannya tidak lepas dari wajah Elina yang terlihat penuh dengan keputusasaan. Hening sejenak sebelum akhirnya pria itu mengangguk pelan, seolah membuat keputusan di dalam pikirannya.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan membantumu. Tapi ada syaratnya.”
Elina menatapnya dengan harapan. “Apa pun, Tuan. Aku akan melakukan apa saja.”
Adrian mengangkat satu alis, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Aku ingin kamu bekerja untukku. Bukan di bar ini, tapi di atas ranjangku. Aku membutuhkan seseorang yang bisa memuaskanku. Kamu akan mendapatkan gaji yang cukup untuk membayar biaya operasi nenekmu.”
Elina terdiam. Pikirannya berkecamuk. Bekerja untuk Adrian Volkov? Menjadi pemuas nafsu pria ini? Ini terdengar seperti kesempatan besar, tapi sangat mustahil. Namun, sekarang bahkan dia sudah tidak punya pilihan lain. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan neneknya, dia harus menerimanya.
“Ba- Baik, Tuan. Saya akan bekerja untuk Anda,” jawab Elina akhirnya, suaranya pelan mengisyaratkan ada rasa takut yang menggelayuti hatinya.
"Tidak hanya itu, kamu akan aku pekerjakan di perusahaanku," tambah Adrian.
Elina seakan tak mengerti dengan syarat yang diminta oleh pria itu.
Elina hanya mengangguk pelan, mengiyakan perkataan Adrian.
Adrian mengangguk dan tersenyum kecil mendengar jawaban Elina. “Bagus. Mulai besok pagi, kamu akan bekerja sebagai asistennya Daniel. Dia yang akan memberitahumu apa yang harus dilakukan. Jangan khawatir, aku akan memastikan kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan.”
Elina menghela napas lega. “Terima kasih, Tuan Adrian. Terima kasih banyak.”
Adrian hanya mengangguk kecil, kemudian melambaikan tangan pada Daniel yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Daniel, antarkan Elina kembali ke rumah sakit. Pastikan neneknya mendapatkan perawatan yang terbaik.”
Daniel mengangguk. “Baik, Tuan.”
Elina berdiri dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa dirinya sangatlah kotor karena menerima tawaran dari Adrian, tetapi di sisi lain, ia merasa lega karena akhirnya mendapatkan bantuan yang ia butuhkan. Namun, tak bisa dipungkiri juga ada perasaan takut dan sedih yang tidak bisa ia hilangkan. Pria di depannya ini sangat misterius, terlalu sulit ditebak. Namun, dia tahu, tidak ada jalan lain selain mengikuti permainan ini.
“Terima kasih, Tuan Adrian,” ucapnya lagi sebelum berbalik dan berjalan mengikuti Daniel keluar dari bar.
Setelah mereka keluar, Adrian mengamati sosok Elina yang semakin menjauh. Wajahnya yang semula dingin kini berubah menjadi lebih serius. Ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tertarik, sesuatu yang belum pernah dia temui sebelumnya. Dia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi dia merasa harus melakukannya.
Daniel berjalan di samping Elina, membuka pintu mobil hitam yang sudah menunggu mereka di depan bar. “Masuklah, Elina. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.”
Elina masuk ke dalam mobil dengan perasaan gugup. Sepanjang perjalanan, dia hanya bisa menatap ke luar jendela, pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Siapakah sebenarnya Adrian Volkov? Mengapa dia bersedia membantunya? Apa yang diinginkan pria itu darinya?
Mobil berhenti di depan rumah sakit, dan Daniel mengantarkan Elina ke kamar rawat neneknya. Di sana, dokter dan perawat sudah bersiap untuk melakukan operasi. Daniel menyerahkan beberapa dokumen pada dokter, yang segera membaca dan mengangguk.
“Biaya operasinya sudah ditanggung. Kami akan segera mempersiapkan semuanya,” kata dokter itu sambil tersenyum pada Elina.
Elina hampir tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, dan dia merasa seperti sedang bermimpi. Ia menatap Daniel dengan mata yang basah oleh air mata syukur. “Terima kasih, Tuan Daniel. Terima kasih banyak.”
Daniel hanya mengangguk. “Ini semua atas perintah Tuan Adrian. Pastikan nenekmu baik-baik saja.”
Daniel membalikkan badan dan bergegas kembali ke bar, tetapi Elina mencegahnya.
"Tu-Tuan Daniel," panggil Elina.
"Ada apa?" jawab asisten Adrian itu dingin, sama seperti bosnya.
"Mm, itu anuu... itu," ucap Elina tersendat-sendat seolah malu mengatakannya.
"Katakan atau aku akan merobek mulutmu," ucap Daniel penuh ancaman.
"Umaaa, ngerinya, ternyata dia sama seperti bosnya," ucap Elina dalam hati, merasa gugup.
"Motor saya di bar, Tuan. Saya lupa, tadi saya membawanya," ucap Elina dengan tawa kecilnya.
"Huhh, nanti akan ada orang yang mengantarkan motormu ke sini," ucap Daniel sambil menghela napas.
"Gadis yang aneh, bagaimana mungkin Tuan Adrian tertarik padanya?" ucap Daniel dalam hati dan berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.
"Terimakasih Tuan" ucap Elina sambil melambaikan tangan yang tidak Asisten Adrian itu hiraukan
"sombong kali lah" ucap Elina dalam hati
Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Elina berjalan perlahan duduk di samping tempat tidur neneknya, menggenggam tangan wanita tua itu yang sudah lemah. “Nenek, kamu akan sembuh. Kita akan melewati semua ini.”
Elina menghela napas, perasaannya masih campur aduk. Dia sangat bersyukur karena neneknya akan mendapatkan perawatan, tetapi perasaannya terhadap Adrian yang misterius itu juga semakin membingungkan. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia bersedia membantunya? Kecemasan dan rasa ingin tahunya saling bergantian mengisi kepalanya. Sambil menunggu dokter datang, Elina berusaha menenangkan diri, meresapi kenyataan baru dalam hidupnya yang tak terduga ini.