Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum berhasil
"Ma, di kelas sekolah baru hanya sepatuku yang jelek," protes Hanan sembari memanyunkan bibirnya.
Ayu mendekati Hanan dan duduk di samping bocah itu. Ikut menatap sepatu yang tersimpan di bawah meja.
"Kenapa harus membandingkan dengan milik orang lain, itu namanya Hanan tidak bersyukur. Tidak menerima apa yang diberikan Allah. Sabarlah, Nak! Nanti kalau mama punya uang lebih, pasti akan membelikan Hanan barang-barang yang lebih bagus," tutur Ayu meyakinkan.
Sebagai seorang ibu, ia pun merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain bersabar.
Meskipun keadaannya masih sangat sulit, Ayu tak pantang menyerah memberikan yang terbaik untuk ketiga anaknya. Untuk saat ini Hanan memang hanya mendengar janji dari bibir sang mama, namun ia berharap semua itu akan menjadi kenyataan.
Sudah hampir sepuluh hari Ayu menulis, kini ia mengakhiri cerita itu dengan happy ending, yang berharap akan terjadi pada dirinya.
Apakah sebuah cerita benar-benar menjadi ladang rezeki?
Ayu membuka ponselnya, mencari akun dari seorang penulis ternama. Membaca berita yang beredar luas. Ternyata kebanyakan dari mereka memang bisa sukses, namun banyak juga yang tak berhasil.
Menemukan sebuah aplikasi untuk menulis secara online. Memeriksa dengan detail beberapa cerita yang tertera.
"Mungkin dicetak akan lebih mudah untuk dijual," pikir nya hingga Ayu tak begitu peduli dengan aplikasi tersebut.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk dari luar. Sebelum Ayu beranjak, terdengar suara seseorang sedang berbicara. Tak lama kemudian Hanan menghampirinya.
"Ada bi Ninik, Ma," lapor Hanan. Ternyata bocah itu yang membuka pintu.
"Baiklah, kamu jaga adik-adik, Mamm keluar dulu." Ayu mengambil beberapa lembar uang dan keluar. Ia tersenyum kikuk saat melihat tetangganya itu berdiri di ambang pintu.
"Silahkan duduk dulu, Bu." Ayu mempersilahkan bi Ninik. Menghitung uangnya kembali sebelum menyerahkan pada wanita itu.
"Aku gak nagih uang kontrakan, Bu Ayu." Ninik duduk di depan Ayu.
Ayu terdiam mendengar ucapan itu. Meskipun bukan itu tujuannya, ia tetap membayar seperti janjinya di awal.
"Tapi ini sudah waktunya, Bu. Aku gak ingkar janji dan akan membayar tepat waktu."
Meskipun kondisi keuangannya buruk, Ayu tidak akan pernah lalai dengan kewajibannya.
"Kamu dan anak-anak gak papa, kan?" tanya Ninik memastikan. Sebab, akhir-akhir ini ia jarang melihat Ayu keluar rumah. Setelah pulang kerja wanita itu langsung menutup pintu.
"Kami semua baik-baik saja, terima kasih atas perhatian, Ibu." Ayu bersyukur memiliki tetangga baik seperti Ninik.
Menyuruh Ninik menghitung uangnya lagi, takut kurang.
"Kok gak pernah keluar sih?" tanya Ninik lagi.
Ayu hanya menanggapinya dengan senyuman, tidak mungkin ia mengatakan sibuk menulis dan tak punya waktu untuk bersantai.
"Akhir-akhir ini anak-anak minta di temenin. Mereka manja banget," ucap Ayu asal yang membuat Ninik percaya.
Setelah Ninik pulang, Ayu kembali ke kamar. Lalu memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Aku berangkat sekolah dulu ya, Ma." Hanan yang sudah rapi itu bersalaman dengan Ayu. Kemudian, mencium kening kedua adiknya bergantian.
"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, lihat kiri kanan kalau mau menyebrang jalan. Jangan bertengkar, mama gak suka." Ayu mengantar Hanan ke depan, melihat bocah itu mengayun sepedanya menuju jalan raya.
Mama akan membayar setiap tetes keringatmu, Nak. Semoga kelak kamu menjadi orang yang sukses.
Mengusap air matanya yang tak sengaja lolos membasahi pipinya.
Ayu masuk ke dalam. Mengganti baju Alifa dan Adiba. Hari ini ia akan datang ke penerbit setelah tadi mendapatkan alamatnya. Meskipun belum yakin akan berhasil, setidaknya berusaha.
Ayu turun di depan sebuah gedung yang lumayan besar. Ia memastikan alamatnya lagi sebelum masuk ke dalam.
"Benar, ternyata ini alamatnya."
Mengayun kakinya dengan ragu. Melihat beberapa orang yang berlalu lalang membuatnya insecure.
Harus mulai dari mana, Ayu bingung, dan akhirnya nekad untuk masuk.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Seorang wanita yang berkutat dengan layar laptop itu bertanya tanpa menghentikan jarinya yang terus menari diatas keyboard.
Ayu mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Suaranya tercekat di kerongkongan, seolah ragu untuk mengatakan tujuannya.
"Saya cuma mau tanya, apa saja syarat menerbitkan buku?"
Wanita itu tersenyum tipis.
"Salah satunya, Anda harus mempunyai naskah yang sudah lulus seleksi. Alangkah baiknya sudah memiliki viewers yang banyak, atau paling gak, buku yang akan dicetak itu disukai pembaca. Terlebih kalau sudah terbit di salah satu platform, itu akan lebih memudahkan Anda. Pokoknya yang disukai pasaran."
Huh
Ayu menghela napas panjang. Ternyata tidak seperti ekspektasinya, yang ketika datang langsung dicetak seperti keinginan, namun semua butuh proses yang lumayan rumit.
"Apa, Anda penulis?"
Wanita itu menatap Ayu dengan lekat.
Ayu menggeleng.
"Tapi saya punya naskah yang akan saya cetak."
Mengambil tiga buku dari tasnya lalu meletakkan di atas meja.
Wanita itu memeriksa tulisan Ayu, sesekali melirik Alifa dan Adiba yang nampak anteng.
Membaca blurb yang ada bagian depan. Meskipun bukan seorang penulis, ternyata tulisan Ayu sudah lumayan rapi.
"Sekarang kebanyakan penulis itu mendaftar lewat platform, Bu. Mereka memperkenalkan karyanya dari aplikasi baca online, jika ibu berkenan bisa menulis di aplikasi dulu."
Ayu tersenyum. Sedikitpun ia tak mempunyai pengalaman untuk itu.
"Tapi kalau Ibu memaksa, kami juga bisa langsung mencetak. Di sini harus membayar uang muka dan paling sedikit harus mencetak lima puluh eksemplar. Jika setuju, nanti saya akan laporkan pada atasan. Itupun harus melalui beberapa tahap seleksi."
Ayu tak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya bisa menghitung biaya yang ditawarkan wanita itu.
Jika per buku empat puluh ribu, maka kali lima puluh menjadi empat juta. Sedangkan uangnya saat ini sudah semakin menipis.
"Bagaimana, Bu? Apa Anda tertarik?" tanya pelayan itu.
Terpaksa Ayu mengurungkan niatnya. Ia mengambil buku nya lagi dan berharap suatu saat bisa kembali.
"Maaf ya, Bu. Saran saya ibu menulis di aplikasi, hanya modal kuota."
"Apa Mbak tahu aplikasi yang paling mudah untuk menuangkan ide?" tanya Ayu.
"Semuanya mudah, Bu. Yang penting ibu mempunyai cerita menarik dan bisa menulis sesuai standar platform, maka akan diterima. Untuk peraturannya, nanti ibu bisa lihat sebelum menulis. Karena, setahu saya setiap platform itu punya kebijakan masing-masing."
Ayu mengucapkan terima kasih. Ia memasukkan bukunya lagi kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Ya Allah, permudahkanlah urusanku.
Tak mengenal lelah, sambil menggendong Adiba dan menggandeng tangan mungil Alifa Ayu meneysuri ruas jalan untuk mencari angkot.
"Kayaknya perempuan itu yang kemarin makan di restoran dengan Calvin." Seorang wanita dari dalam mobil menunjuk ke arah Ayu yang duduk di pangkalan ojek.
"Kamu yakin?" tanya yang lainnya.
Wanita itu mengangguk lalu mengambil gambar Ayu secara diam-diam.
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2