Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 16
Kuat firasat Adya kalau Zura adalah Yura. Sebab, semua pemikiran itu sangat bersangkutan dengan kenyataan yang saat ini ada di depan mata. Sayangnya, dia tidak bisa memaksa Angga mempercayai pendapat yang memang belum memiliki bukti yang nyata. Jadinya, Adya terpaksa memilih mengalah saja.
Mereka pun menyingkirkan apa yang sebelumnya ada dalam pikiran mereka. Sekarang, keduanya malah fokus dengan tujuan utama datang ke rumah sakit tersebut. Yaitu, untuk pemeriksaan fisik Angga yang memang sering drop satu tahun terakhir.
Sementara itu, di dalam mobil yang Zura tumpangi, suasana hening terus saja tercipta. Zura yang kini lebih suka diam setelah bertemu Angga membuat Hani merasa tidak enak hati.
"Zu, kamu baik-baik saja sekarang?"
"Mama."
"Baik-baik aja kok, Ma. Kenapa? Aku terlihat tidak baik ya sekarang?"
"Ya ... sedikit menurut mama."
"Apa yang kamu pikirkan sekarang, Nak?"
"Bukan apa-apa, Ma. Hanya masalah kerjaan saja."
"Zu, kamu tidak bisa bohong sama paman lho. Pasti ada kaitan dengan lelaki bajingan itu 'kan?" Si paman tidak bisa tinggal diam lagi sekarang. Apapun yang berhubungan dengan Angga, dia jadi sangat sensitif.
"Gak kok, paman. Gak ada kaitannya dengan orang itu."
"Zura. Dengar apa yang paman katakan ya, Nak. Ingat! Paman tidak akan pernah merestui kamu memikirkan pria bajingan itu. Buang ia jauh-jauh dari pikiranmu sekarang, Zu. Lupakan apapun yang berhubungan dengan dia. Rasa sakit yang kamu derita sungguh luar biasa akibat ulahnya. Untuk itu, paman ingin kamu menganggap dia tidak pernah muncul dalam kisah hidupmu selamanya."
"Kamu mengerti apa yang paman katakan, bukan?"
"Iya, paman. Zura paham kok. Zura tidak akan memikirkannya. Sekarang juga tidak sedang memikirkan pria jahat itu. Hanya saja, aneh aja saat bertemu setelah lebih dari tiga tahun berpisah. Luka hati ini terasa kembali terbuka."
Mama angkat Zura langsung menyentuh tangan Zura dengan lembut.
"Kamu yang sekarang bukan kamu yang dulu lagi, Zu. Dia bukan apa-apa lagi buat kamu. Luka yang tergores dalam hatimu memang tidak akan sembuh walau waktu berlalu. Tapi sayang, jangan ingat lagi dia. Karena dia tidak pantas untuk kamu ingat."
Zura menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, ia hembuskan secara perlahan. "Terima kasih paman, mama. Kalian sudah terlalu banyak mendukung aku dalam segala hal. Rasa sakit ini memang tidak akan bisa sembuh walaupun sudah lama. Tapi aku juga tidak harus terus memikirkannya. Aku akan berpikiran hal yang lebih bisa membuat hati bahagia sekarang."
"Nah, gitu dong. Baru anak mama. Senyumnya mana?"
Zura langsung memperlihatkan senyum lebarnya. Suasana yang tenang dalam mobil tersebut kembali hangat. Mereka bisa tersenyum bersama kembali.
....
Satu jam setelah kepergian Zura dari rumah sakit tersebut, Mirna datang ke rumah sakit bersama mamanya. Mama Mirna malah membuat keributan kecil karena telah melepaskan suaminya pergi tanpa persetujuan darinya.
"Maaf, nyonya. Kami hanya mengikuti prosedur rumah sakit. Lagian, pasien juga sudah membaik sekarang," ucap salah satu petugas rumah sakit tersebut.
"Apa-apaan kalian? Bagaimana bisa melepaskan pasien tanpa persetujuan dari pihak keluarga? Kalian akan saya tuntut atas keteledoran ini," ucap mama Mirna bersikeras dengan nada lantang.
Saat itu, Angga yang masih ada di rumah sakit tanpa sengaja melewati lorong tempat di mana Mirna dan mamanya berada. Angga ikut menghentikan langkah kakinya karena keributan itu.
"Ada apa ini?"
"Tuan muda."
"Kak Angga." Mirna sedikit terkejut.
"Nak Angga. Kok bisa ada di sini sih?" Mulut manis mama Mirna langsung keluar saat bertemu dengan Angga.
"Aku tanya ada apa ini? Kenapa kalian berisik di sini sekarang? Gak tahu apa kalau ini rumah sakit?" Angga malah marah pada semua orang.
Gegas Mirna mendekat ke arah Angga. Tak menutup kemungkin hati, dia sangat berharap bisa dilirik oleh Angga selama ini. Hanya saja, mendekati Angga sesulit mendekati putra mahkota dalam cerita legenda kolosal jaman dulu. Terlalu banyak penghalang untuk mencapai tahan pertemuan saja.
"Kak Angga. Kak Zura bikin ulah lagi sekarang. Setelah menghilang selama tiga tahun, dia kembali. Tapi malah menculik papa dari kami. Dia membawa papaku pergi tanpa sepatah kata yang ia ucapkan pada kami. Kak Zura tidak memikirkan perasaan kami yang ditinggalkan oleh orang yang kami sayang."
Mata Angga menatap lekat pada Mirna.
"Zura ... membawa papamu pergi? Bagaimana bisa?"
"Nak Angga. Azzura itu bisa melakukan apa saja yang hatinya inginkan. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Berbuat sesuka hati. Menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan. Ditambah lagi sekarang dia punya banyak uang. Dia semakin berkuasa. Tidak tahu dari mana uang yang ia dapatkan. Aku semakin takut saja dengan Zura yang bisa melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku takut dia berada dalam bahaya." Tentunya, raut sedih tak lupa mama Mirna perlihatkan ketika ia mengatakan keburukan Zura yang ia bungkus dengan rasa prihatin dengan sebaik mungkin.
"Benar, kak. Aku takut kakak sepupuku terjebak dalam masalah. Aku takut kalau rumor yang mengatakan dirinya sebagai wanita simpanan om-om itu benar. Jika semuanya terbongkar. Kakak ku ... kakak ku itu ... hu hu hu."
Mirna malah mengantungkan kalimatnya. Sekarang, dengan tidak tahu malunya dia malah bersandar di dada Angga dengan alasan sedih karena memikirkan nasib Zura sekarang.
Aish! Sungguh luar biasa memang ibu dan anak ini. Kalau soal akting, mereka adalah pemain nomor satu yang mungkin akan memenangkan penghargaan.
"Mirna. Tenanglah. Tidak baik seperti ini. Jangan bertingkah. Ini rumah sakit."
"Hu hu ... kak Angga maafkan aku. Aku terlalu ... terlalu sedih, kak."
"Ya, aku tahu. Kamu tenang saja. Demi karena dia adalah mantan istri aku. Nanti aku akan carikan di mana dia berada."
"Benarkah? Kalau begitu, bisakah aku minta nomor hp kamu, kak Angga? Kita bisa berkabar lewat udara nantinya," ucap Mirna dengan mata yang berbinar penuh harap.
"Aku rasa tidak perlu, Mirna."
"Lho, kenapa, kak Angga? Bagaimana kalau nanti kamu sudah tahu di mana kak Zura berada? Cara buat ngabarin aku itu gimana?"
"Itu gampang. Aku akan kirimkan semua informasi padamu lewat kurir. Tidak perlu repot-repot, bukan?"
"Adya. Ayo pergi! Ada hal yang harus aku kerjakan sekarang juga."
"Baik, tuan muda."
"Permisi, tante. Mirna."
Tanpa menunggu sambutan dari kata yang ia ucapkan, Angga malah sudah melangkahkan kaki dengan cepat setelah mengucapkan kata permisi. Sepertinya, dia benar-benar merasa risih akan wanita yang terlalu berlebihan seperti Mirna.
Sementara itu, Mirna yang kesal malah tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama ketika ia ingin menahan kepergian Angga, tangan sang mama langsung mencegahnya dengan cepat. Alhasil, dia hanya bisa melihat Angga pergi dengan tatapan kesal dan putus asa.