Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Prok! Prok! Prok!
"Wow, amazing! Bravo!" ucap Quin sinis.
Sontak saja kehadiran Quin di kamar itu, membuat Angga juga Kinar terkejut bukan kepalang.
Dengan cepat, Kinar langsung turun dari tubuh Angga. Pasangan mesum itu panik mencari kain untuk menutupi tubuh polos mereka.
"Ayo lanjutkan, kenapa kalian berhenti! Bukankah barusan kalian begitu menikmatinya?"
"Sayang," ucap Angga lirih.
"Sayang? Masih berani kamu memanggilku, sayang? Pria laknat!" bentak Quin menatap tajam Angga juga Kinar bergantian.
"Quin." Kinar kini menunduk.
Quin menghampiri Kinara dengan senyum sinis. Menatap gadis itu dengan tatapan jijik.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Setelah mamanya, kini anaknya. Mama dan anak tak jauh berbeda. Sama-sama wanita murahan! Ah, lebih tepatnya, pela*cur recehan. Sungguh sangat menjijikkan!"
Tatapan Quin kini beralih ke Angga. Melepas cincinnya lalu menjatuhkan benda itu. "Upss, jatuh. Jangan pernah bermimpi jika kita akan menikah. Hubungan ini cukup sampai di sini. Kinar, silakan ambil bekasku ini. Barang bekas memang cocok untukmu. Nikmati, sepuas yang kamu inginkan!" ejek Quin sembari tertawa puas.
Baik Angga maupun Kinar, keduanya sama-sama bergeming mendengar ucapan pedas dari Quin.
"Silakan lanjutkan adegan hot kalian. Sepertinya belum tuntas," sindir Quin kemudian meninggalkan kamar itu.
"Quin! Sayang!" panggil Angga sekaligus mengejar gadis itu. Akan tetapi, Quin sudah tak berada di sana. "Sial! Andai saja aku bisa menahan diri, semua ini nggak akan terjadi!"
Sementara itu, Quin yang kini sudah berada di dalam mobil, merenung sejenak. Merasa tak habis pikir dengan kelakuan Angga juga Kinar.
"Oh God, aku merasa mereka sudah sering melakukannya tanpa sepengetahuanku," gumam quin. Setelah itu, ia pun meninggalkan tempat itu.
Demi menenangkan pikirannya, Quin memilih memutar arah menuju vilanya. Ponsel yang sejak tadi bergetar, diabaikan begitu saja.
Begitu tiba di tempat tujuan, Quin mengambil ponselnya. Menatap layar lalu bergumam, "Maaf, Damar, saat ini aku butuh ketenangan."
Ia tersenyum sinis saat menatap panggilan dari Angga. Demi ketenangan hati juga pikirannya, ia memilih menonaktifkan ponselnya.
.
.
.
"Arrgh! Damn it!!" umpat Angga lalu melempar ponselnya. Tatapannya kini tertuju ke arah Kinara. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga!!"
Bentakkan Angga seketika membuat Kinara terlonjak kaget. Dengan cepat ia memungut pakaiannya lalu ke kamar mandi.
Ketika matanya tertuju ke arah cincin Quin, Angga menghampiri sekaligus memungut benda itu. "Quin, maafkan aku. Tolong beri aku kesempatan," ucapnya lirih.
"Angga," panggil Kinara yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Pergilah, jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di hadapanku!" usir Angga dengan perasaan geram.
Dengan terpaksa, Kinar meninggalkan tepat itu. Akan tetapi, ia tersenyum puas karena berhasil membuat hubungan Quin dan Angga berakhir.
.
.
.
Memasuki waktu dini, Quin masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya kembali melayang. Mengingat perbuatan mesum Angga dan Kinar.
"Kenapa aku bernasib sama dengan mama? Sama-sama dikhianati. Apakah ini sebuah kutukan?" Quin bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. "Harusnya aku bersyukur, mungkin inilah cara Tuhan menunjukkan kepadaku, jika pria brengsek itu, memang tidak layak menjadi suamiku."
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Damar tak bisa merasakan ketenangan. Sejak tadi ia mondar mandir merasa cemas.
Sudah memasuki waktu dini hari. Tapi, orang yang sejak tadi ditunggunya belum juga pulang.
"Kenapa di jam segini, Quin belum pulang? Nggak mungkin dia menginap," gumam Damar merasa cemas. "Jangan bilang Angga memberinya obat tidur seperti waktu itu dan ...."
Ia tak melanjutkan kalimatnya. Namun, hanya menebak jika pria itu pasti akan mengambil kesempatan ke atas diri Quin.
"Sh*it! No ... Oh My God, lindungilah Quin."
Meninggalkan Damar yang sedang mencemaskan Quin. Lain pula dengan Angga yang kini sedang berada di club malam.
Pikirannya yang sedang kacau, membuat pria itu tak bisa berhenti meneguk minuman beralkohol.
"Stop it, Angga. Kamu sudah terlalu banyak minum," kata Dennis. Merasa khawatir karena Angga tak bisa mengontrol dirinya.
Akan tetapi, Angga tak menghiraukan. Karena tak direspon, Denis menghubungi Altaf untuk menjemput sang adik.
"Apa yang terjadi padamu? Nggak biasanya kamu seperti ini. Hari ini kamu terlihat kacau banget, ada apa?" tanya Dennis menatap curiga.
Angga bergeming tak ingin menjawab. Ia diam seribu bahasa sambil menunduk.
"Angga pa kamu dan Quin lagi ada masalah?" tanya Dennis lagi. Namun, Angga tetap bungkam.
Satu jam kemudian, Altaf memasuki club itu. Sesaat setelah mendapati keberadaan Angga juga Dennis, ia langsung menepuk punggung sang adik.
"Angga, ayo kita pulang," ajaknya lalu memapah adik bungsunya itu. Altaf mengerutkan kening karena Angga mulai meracau tak jelas.
Ketika dalam perjalanan pulang, sesekali Altaf melirik Angga lalu bergumam, " "Dia kenapa? Kelihatannya kacau banget. Apa dia bertengkar dengan Quin? Tapi kenapa?"
...----------------...