"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit
"Duduk dulu!" ujar Dikta mempersilahkan.
Michelle mengangguk. Tanpa rasa canggung sedikitpun, ia mendaratkan bokongnya di sofa empuk ruang tamu Dikta.
"Mau minum apa?" tanya Dikta sambil berkacak pinggang. Alisnya terangkat menunggu jawaban dari gadis yang sedang mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk itu.
"Cola," jawab Michelle mantap.
Usai mendengar jawaban dari Michelle, Dikta melangkah menuju dapur. Hendak membuka kulkas ketika matanya tak sengaja melihat kertas memo berwarna hijau yang tertempel di bagian pojok kanan atas pintu kulkas berwarna hitam mengkilap itu.
Dengan dahi terlipat, Dikta menarik lepas memo tersebut. Membaca isinya dengan seksama sebelum menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepala.
"Aku pulang. Tolong jangan marah lagi. Muka kamu tambah serem kalau lagi marah. :) hehehehe...."
Dikta lalu meletakkan kertas memo itu diatas pantry. Melanjutkan kembali hal yang tertunda untuk mengambil dua kaleng minuman soda yang diminta Michelle dari dalam kulkas. Tak lupa, Dikta turut mengambil beberapa camilan. Ia tahu bahwa gadis bermata hijau itu suka sekali dengan makanan ringan.
"Yeyyy...," Michelle bertepuk tangan dan mengambil alih camilan yang Dikta bawa. Ia juga merebut dua kaleng minuman soda dari tangan Dikta tanpa berniat membagi satu untuk sang pemilik.
"Itu punyaku," ucap Dikta dengan tangan terulur. Meminta kembali satu kaleng minuman soda yang terlanjur dikuasai sepenuhnya oleh Michelle.
"Enak aja. Ambil lagi, sana!" kata Michella galak.
Hampir sepuluh menit bercengkrama, Dikta pamit untuk ke toilet sebentar. Sementara, Michelle setia menunggu di ruang tamu sambil terus menikmati camilannya ditemani serial kartun Masha and The Bear kesukaannya.
Bunyi bel tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Michelle yang sedari tadi terpusat pada layar televisi. Dengan cepat, gadis itu melenggang mendekati pintu kemudian membukanya.
"Varissa?" panggilnya tanpa sadar. Meski sudah berusaha ikhlas menerima bahwa Dikta nyatanya masih mencintai cinta pertamanya, tetap saja Michelle merasakan sakit saat berjumpa langsung dengan wanita satu-satunya yang mampu mengalahkannya.
"Ka-kamu siapa?" tanya Varissa dengan suara bergetar. Sama seperti Michelle, Varissa juga tak siap menjumpai sosok wanita asing yang mendadak berada didalam apartemen seseorang yang akhir-akhir ini sudah memporak-porandakan hatinya.
Michelle bungkam seribu bahasa. Ingin rasanya ia kabur sekarang juga. Ia merasa tak punya alasan apapun untuk tetap berdiri menegakkan kepala dihadapan wanita yang sejak awal memang sudah tak terkalahkan. Bahkan, tanpa pernah bertarung sekalipun seperti Michelle yang dulu mati-matian menjauhkan Dikta dari jajaran wanita yang mengincarnya, Varissa akan tetap menang. Sebab, sejak awal bukan wanita itu yang berjuang. Justru, dialah yang diperjuangkan oleh lelaki yang Michelle perjuangkan. Miris, kan?
"Makanan pesanan kamu udah datang, Cel?" Terdengar teriakan dari dalam. "Kok lama? Nggak punya cash atau gimana? Mau aku bayarin, nggak?" Suara itu terdengar semakin lama semakin jelas dan dekat.
"Va?"
Tatapan Varissa teralih pada lelaki berpostur tinggi yang berdiri dibelakang Michelle. Dan, seperti sudah mengerti, Michelle berbalik badan. Melangkah lemas kembali ke dalam.
"Aku masuk dulu," pamitnya pada Dikta.
"Kenapa balik lagi?" tanya Dikta pada Varissa usai Michelle sudah masuk kembali. Ia melangkah mendekati wanita itu dan mempersilahkannya masuk.
"Kunci mobil aku kayaknya ketinggalan," jawab Varissa yang berusaha menguasai emosinya. Cepat, ia menerobos melewati Dikta dan melewati ruang tamu tanpa menoleh sedikitpun pada gadis bermata hijau yang juga mendadak kehilangan selera makan di ruang tamu.
Tak butuh waktu lama, kunci itu akhirnya dapat Varissa temukan. Terselip di sudut sofa panjang dekat minibar, tempat biasa Dikta duduk menikmati pemandangan Ibu Kota lewat kaca transparan dinding apartemennya.
"Mau langsung pulang?" Lelaki itu terus mengekori Varissa sejak tadi.
"Iya," jawab Varissa singkat.
"Tunggu!" Dikta menahan lengan Varissa yang sudah hampir melewati pintu. Mau tak mau, wanita itu berbalik namun enggan menegakkan kepala.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kamu baik-baik aja, kan?" tanya lelaki itu cemas.
Varissa mengangguk. Berbalik kembali dan melanjutkan langkahnya terburu-buru menuju lift.
"Hei, nggak ada masalah kan?"
Tanpa Varissa sangka, rupanya Dikta masih mengikutinya sampai didepan lift. Dan, wanita itu bersikap masih sama seperti tadi. Membuang muka tanpa berniat menatap wajah lelaki itu sama sekali.
"Nggak ada, kok!"
"Kamu marah? Apa aku ada bikin salah?"
Entahlah! Semuanya mendadak abu-abu. Tak ada yang jelas mengenai perasaannya saat ini. Varissa tidak marah. Sama sekali tidak. Tapi, ada emosi yang menggebu yang tertampung nyaris memenuhi rongga dadanya sejak ia bertemu dengan gadis pemilik netra kehijauan yang berada didalam apartemen Dikta itu. Terkumpul banyak pertanyaan di kepalanya mengenai identitas perempuan tadi. Siapa dia? Apa artinya dia untuk Dikta? Dan masih banyak lagi.
"Va...," Dikta berusaha meraih tangan wanita itu lagi. Namun, kali ini ia harus menelan kecewa usai tangannya ditepis cepat oleh Varissa.
"Maaf," ucapnya penuh kekecewaan. Dikta perlahan mundur. Memberi ruang untuk Varissa tepat ketika lift dihadapannya terbuka lebar.
"Hati-hati, Va!" pesan Dikta sebelum berbalik pergi dan melangkah gontai menuju apartemennya kembali.
Varissa mengusap wajahnya kasar. Sesuatu semakin memanas membakar dirinya. Ia mengira bahwa hanya dia satu-satunya wanita yang pernah datang di kediaman Dikta mengingat betapa introvert-nya lelaki itu. Namun, ternyata dia salah. Ada satu lagi wanita lain yang ternyata memiliki hak istimewa itu selain dirinya.
"Ayolah, Va! Tahu diri sedikit. Kamu siapa dan Dikta siapa? Kamu itu masih berstatus istri orang. Sementara, Dikta pria lajang yang bebas terikat hubungan dengan wanita mana pun. Siapa yang memberi kamu hak untuk cemburu, hah?" Wanita itu bergumam dengan hati teriris. Apa ini yang namanya karma? Haruskah dia tersiksa dengan perasaan cinta pada orang yang dulu selalu ia sakiti hatinya?
Tak ingin larut dalam kesedihan, Varissa memutuskan pergi ke rumah Dokter Imran. Bertemu dengan Nessi dan Nessa, putri kembar Dokter Imran yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri mumpung keduanya sedang libur kuliah dan pulang ke Indonesia.
"Itu Varissa, kan?" tanya Michelle ragu.
Lelaki disebelahnya mengangguk. Michelle tetap berusaha tersenyum. Mengabaikan rasa nyeri yang balik berdenyut setelah mendapat jawaban yang sebenarnya sudah ia ketahui sejak awal.
"Ta, aku mau pamit," ucap Michelle lirih. Kesan ceria dan periang itu menguap sudah.
"Kamu udah mau pulang?" Dikta meletakkan sumpit di pinggiran mangkok. Menatap lawan bicaranya yang sedang mengobok-obok isi dalam tasnya.
"Ini..," Menyodorkan selembar undangan. "Aku harap kamu datang," Michelle tersenyum.
Dikta menerima undangan itu dengan tatapan bingung. Detik berikutnya, ia mematung. Memastikan beberapa kali bahwa nama yang tertera di undangan tersebut adalah benar nama gadis yang duduk disebelahnya itu.
"Kamu cinta sama dia?" Dikta meletakkan undangan itu diatas meja. Menatap dari jauh kata bertuliskan 'Fernandez D'Souza' dibawah nama Michelle.
Sedikit tertawa, Michelle menjawab, "Apa perlu ku jawab? Kamu tahu siapa yang aku cinta, Mr. Ice!" jawabnya miris.
Mr. Ice. Itu panggilan kesayangan Michelle untuk Dikta saat mereka masih kuliah dulu. Meski Michelle kala itu masih mahasiswa semester satu dan Dikta mahasiswa semester lima, namun mereka bisa sangat akrab. Atau lebih tepatnya, mungkin Michelle yang sok akrab.
"Maaf, Cel!"
Michelle tersenyum. Kepalanya menggeleng lemah. "Ini bukan salah kamu. Sama seperti aku yang punya hak mencintai kamu, kamu juga punya hak untuk mencintai orang lain. Itu wajar. Lagipula, siapa yang berhak mencampuri urusan hati selain Tuhan?"
"Kamu nggak harus menerima dia kalau kamu memang nggak cinta, Cel!"
"Cinta bisa tumbuh nanti, Mr. Ice. Aku cuma butuh waktu sedikit lebih lama untuk melupakan kamu. Tapi, bukan berarti aku nggak bisa." Michelle menepuk dada Dikta. "Aku akan buktikan kalau kamu itu bukan apa-apa di hidup aku lagi suatu saat nanti. Lihat aja!" Ia menyombong.
"Tapi, Mr. Ice...,"
"Hmm?"
"Sebenarnya, Daddy yang memaksa aku memberikan undangan ini untuk kamu. Tapi, meski begitu, apa aku bisa memohon satu hal?" pinta Michelle sambil meremas dress selutut yang ia kenakan.
"Tolong jangan datang! Jangan buat aku goyah. Jangan buat usahaku untuk melupakan kamu menjadi sia-sia."
** **Mohon like & vote-nya yang man-teman... Thank you.
By the way, haruskah aku berikan visual? Tapi, takut banget nggak sesuai sama ekspektasi kalian. Huhuhuhu... Komen ya**!
Dan itu hanya kepadamu Dikta,,,,🤭🥰