Indira dan Devian sama-sama dihadapkan pada kondisi traumatik yang sama. Sama-sama harus menelan pil pahit perselingkuhan. Indira memergoki pacarnya, Gilang berselingkuh dengan teman sekampusnya dan Devian dengan tragisnya melihat Mamanya berselingkuh dengan mata kepalanya sendiri, dirumahnya. Perasaan itu yang akhirnya bisa lebih menguatkan mereka untuk saling bantu melewati kenangan buruk yang pernah mereka alami.
Dan, takdir lebih punya rencana untuk lebih menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan yang tidak mereka inginkan. Menikah di usia muda dan tanpa berlandaskan rasa cinta. Namun, Indira tidak pernah menyangka bahwa rasa nyaman yang ditawarkan oleh Devian pada akhirnya bisa membuat Indira tidak mau melepaskan Devian.
Akankan hubungan mereka baik-baik saja? Ataukah banyak konflik yang akan mereka hadapi dan semua itu berhubungan dengan rasa trauma mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caroline Gie White, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN INDIRA
Devian bangun dari duduknya ketika melihat Indira turun dari taksi dan berjalan masuk.
"Kok lo naik taksi? Gilang mana?"
"Gak usah dibahas."
"Tapi, Ndi.."
Devian mengikuti Indira masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. Indira melempar tasnya ke atas tempat tidur dan terlihat berjalan mondar-mandir sambil mencoba meredam emosinya. Devian pun menyusul masuk dengan membiarkan pintu kamar Indira terbuka lebar. Dia lalu duduk di pinggir tempat tidur.
"Cerita sama gue, ada apa antara lo sama Gilang tadi?"
"Bisa gak, kita ngomongin yang lain?"
"Bisa kalau lo stop mondar-mandir gak jelas kaya begitu."
Indira berhenti lalu menghela nafas dan duduk di samping Devian.
"Jadi nanti kita mau punya anak berapa?"
Sontak Indira mendelik dan mendorong Devian yang lalu tertawa.
"Kan lo sendiri yang minta buat ngomongin hal lain."
"Tapi bukan soal itu juga, memangnya lo pikir gue bakal tetap mau meneruskan pernikahan ini?"
"Apa Gilang gak bisa meyakinkan lo buat menerima dia lagi?"
Indira terdiam sejenak. "Yang gue lihat dia seperti gak sepenuh hati mengajak gue balikan, dia seperti.. mau menunjukkan ke lo kalau gue masih bisa kemakan sama semua omongan manisnya."
Devian tersenyum. "Tapi lo masih sayang banget sama dia, Ndi."
"Mungkin iya, tapi bayangan perselingkuhan itu masih tergambar jelas, Yan. Apa ada jaminan Gilang gak bakal melakukan kesalahan yang sama lagi?"
"Lo gak akan menemukan jawabannya kalau lo gak kasih dia kesempatan."
"Apa ada kemungkinan kita bisa membatalkan pernikahan ini?"
"Kalau lo siap menanggung malu keluarga kita, gue juga bakal siap."
"Berarti beneran gak ada jalan keluar ya? Kita beneran harus menjalani pernikahan yang gak kita mau."
Devian meraih dan menggenggam tangan Indira yang membuat Indira menatapnya. "Masih ada waktu buat lo mengambil keputusan. Dan kalau memang pada akhirnya lo lebih memilih Gilang, gue janji kalau gue gak akan pernah muncul lagi di hadapan kalian."
"Apa itu alasan lo selama beberapa hari kemarin lo menghilang?"
Devian melepaskan tangannya dan membuang pandangannya ke arah lain. "Gue cuma mau mempermudah lo mengambil keputusan. Kalau gue gak ada, pasti fokus lo cuma ke Gilang dan mungkin harusnya dari awal gue gak masuk diantara kalian."
Indira terdiam.
Devian tersenyum lalu menepuk lembut punggung Indira. "Istirahat, gue balik dulu dan kalau lo sudah yakin sama keputusan lo, lo bisa hubungi gue ya, karena gue mau balik ke tempat pertapaan gue, jadi lo gak akan bisa menemukan gue." Devian beranjak dan keluar dari kamar Indira.
Kenapa gue malah gak mau lo pergi, Yan? Sebenarnya gue kenapa? Kenapa gue malah lebih merasa nyaman sama Ian daripada sama Gilang tadi? Apa mungkin gue.. Sontak Indira keluar dari kamar dan menyusul Devian.
"Ian..."
Devian menghentikan langkahnya keluar dari pintu ketika mendengar Indira memanggilnya sambil menuruni tangga dan menghampirinya.
"Kenapa, Ndi?"
"Gue.."
Mereka menoleh ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah lalu melihat Gilang keluar dan berjalan masuk melewati pintu pagar. Devian kembali menoleh ke Indira.
"Gue beneran bakal baik-baik saja kalau lo lebih memilih Gilang. Jadi gue mau lo dengarkan hati lo ya. Gue balik." Devian mengelus lembut punggung Indira lalu keluar dan menuju mobilnya yang sebelumnya menatap Gilang. Devian pun pergi.
"Ada apalagi, Kak?" Indira duduk di bangku teras dan Gilang mengikutinya.
"Aku minta maaf soal kejadian tadi ya, aku cuma khawatir kalau pada akhirnya kamu lebih memilih Devian."
"Beberapa hari yang lalu, aku melihat kamu di perpustakaan dengan Lusi. Dan aku bisa melihat dengan jelas kalau Lusi.. juga sayang sama kamu."
"Gak, kamu salah. Kalaupun dia sayang sama aku, aku sayang banget sama kamu."
"Kayanya gak adil banget kalau aku membiarkan rasa sayang dia ke kamu gak berbalas. Dan ada perasaan bersalah, karena aku yang sebenarnya sudah merebut kamu dari dia."
"Kamu bicara apa sih, Ndi?"
Indira menatap Gilang sambil tersenyum. "Mungkin lebih baik kamu kembali sama Lusi, Kak."
"Jadi kamu lebih memilih meneruskan rencana pernikahan kamu?"
"Aku cuma gak mau mengorbankan perasaan keluarga aku dan Ian untuk perasaan aku ke kamu yang gak seberapa."
"Tapi kamu mengorbankan perasaan aku, Ndi."
"Pasti ada cewek lain yang jauh lebih baik dari aku untuk kamu, cowok hebat kaya kamu. Dan aku juga yakin, Ian gak bakal keberatan kita tetap berteman setelah kita menikah nanti."
Gilang terlihat mencoba menahan emosinya. "Aku harap kamu gak menyesal sudah mengambil keputusan ini, Ndi. Dan semoga waktu yang bisa kasih lihat kamu, siapa sebenarnya Devian."
Gilang bangun dari duduknya lalu menuju mobilnya dan pergi dengan kencang.
Indira pun tertunduk. Airmata menetes dari salah satu matanya. Gue minta maaf ya, Kak, tapi kenapa lo gak bisa meyakinkan gue buat balik sama lo? Kenapa lo malah sibuk mencari kesalahan orang lain padahal lo sendiri yang sudah merusak kepercayaan gue. Dan buat gue, perselingkuhan itu benar-benar gak bisa dimaafkan.
Indira menyeka airmata yang kembali mengalir lalu masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya.
"Jadi lo sudah yakin mau jadi Nyonya Devian?" Tanya Viana sambil menatap Indira yang sedang bersandar di kepala tempat tidurnya sambil memeluk kedua lututnya.
"Gue gak tahu harus gimana, Vi?"
"Ikutin kata hati lo, ini hidup lo, jadi lo yang paling tahu apa yang lo mau. Kalau lo gak mau menikah, ya sudah batalkan, gak usah memikirkan nasib undangan yang sudah tersebar."
"Tapi Bokap Nyokap gue bakal kecewa, Vi. Gue melihat mereka bahagia banget sewaktu kasih lihat undangan itu, biarpun setelahnya mereka lihat gue histeris."
"Tapi apa Bokap Nyokap lo juga bakal bahagia kalau tahu anaknya gak bahagia dipernikahannya? Gimana kalau Ian menyakiti lo?"
"Kalau memang dia mau menyakiti gue, sudah dari setahun lalu dia bisa melakukan itu, tapi kenapa dia malah terus menjaga gue, memaksa gue buat balik ke Gilang?"
"Sekarang lo malah membela dia."
"Gue gak membela dia, Viana. Gue bicara fakta. Oke awal-awal dia sering mengecewakan gue, tapi gue akui dia banyak berubah."
"Jadi intinya, lo beneran mau menikahi Ian?"
Indira pun terdiam.
Seminggu kemudian, Indira benar-benar tidak melihat Devian di kampus. Farel pun tidak bisa bantu apa-apa karena Farel tahu Devian pasti punya alasan. Dia ingin memberi waktu berpikir untuk Indira, karena keputusannya akan mengubah hidupnya selamanya.
Kenapa gue lebih merasa kehilangan Ian? Indira berkali-kali menatap layar ponselnya yang terdapat nomor kontak Devian. Apa benar ini yang gue mau? Apa benar Ian gak bakal menyakiti gue? Tapi gue beneran gak mau egois cuma memikirkan perasaan gue. Indira pun menghela nafas panjang lalu memencet tombol panggilan video dan terjawab pada dering kedua. Wajah Devian pun terpampang jelas di layar ponselnya. Wajah yang hilang beberapa waktu kemarin.
"Iya, Ndi."
Indira masih terdiam.
"Gue beneran bakal baik-baik saja kalau memang lo memilih Gilang. Urusan Bokap gue dan orang tua lo, bisa kita urus sama-sama ya. Yang terpenting buat gue sekarang adalah, kebahagiaan lo."
"Ian.."
"Ya?"
Indira menyeka airmata di pipinya lalu tersenyum. "Lo jangan sampai telat ya."
"Maksud lo?"
"See you on our weeding day (sampai ketemu di hari pernikahan kita.)"
To be continued...
semangat yaa semoga booming
Cuma tambahan aja kak untuk dialognya di kurangi jd biar balance dengan penjelasan latar dll. Biar pembaca tidak bosan 🙏