Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Flashback
Udara dingin membelai lembut wajahku pagi ini. Sisa hujan tadi malam masih meninggalkan jejaknya. Ditambah udara pagi dibalik bukit menambah nikmatnya udara dingin. Namun, dinginnya udara pagi ini belum cukup untuk mencairkan hatiku yang panas.
Aku menyesap cokelat panas yang tadi aku buat. Baru saja beberapa menit yang lalu, panas cokelat mulai menguar ke udara dikalahkan oleh dinginnya udara. Aku tersenyum kecut menatap cangkir di tanganku. Andai saja hatiku seperti cokelat panas ini. Mudah luruh kala dingin menyerang.
Pemandangan di balik bukit masih tertutup kabut. Bahkan, cahaya mentari pun sulit untuk menerobosnya. Aku melemparkan pandangan sejauh mungkin. Berharap dapat menembus kabut. Bukan pemandangan deretan kebun teh yang kudapat melainkan ingatan tentang lima tahun lalu saat aku dilamar oleh pria yang sangat aku dambakan.
Flashback on
"Ella!" panggil seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandungku.
"Iya ma," jawabku sambil berlari kecil menghampiri wanita yang sudah melahirkan dan merawatku selama sembilan belas tahun.
"Kamu nanti malam ada acara?" tanya mama sambil memegang kedua tanganku.
"Hmm. Kayaknya ngga ada ma. Memangnya kenapa ma? Tumben mama nanyain acara aku," jawabku bingung.
"Ya, biasa kan kamu suka nongkrong dadakan sama teman-temanmu."
"Hehehe, iya sih. Tapi aku yakin malam ini ngga ada acara nongkrong."
"Bagus kalau begitu," jawab mama sambil tersenyum.
"Memangnya kenapa, ma?" tanyaku semakin penasaran.
"Pokoknya nanti malam kamu dandan yang cantik," jawab mama sambil tersenyum.
"Ih, ngapain dandan, ma?"
"Udah nurut aja," balas mama sambil melepas genggaman tangannya.
"Hmm. aku jadi curiga deh," aku menyipitkan mata berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi.
"Pokoknya dandan yang cantik dan ingat, jangan kemana-mana!" tegas mama sambil berbalik dan berjalan menuju lantai dua.
Cukup lama aku terdiam hingga aku menyadari sesuatu yang berhasil membuat kedua mataku membulat.
"Mama! Awas ya, kalo jodohin aku! Pokoknya aku ngga mau kalau sampe mama dan papa ngejodohin aku!" teriakku sekeras mungkin.
Mama terus menapaki anak tangga tanpa peduli dengan protesku. Seolah teriakanku tadi hanya hembusan angin lalu.
"Memangnya aku Siti Nurbaya," keluhku lagi.
Tak ingin membebani pikiran, aku memilih kembali melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda. Waktu berlalu begitu cepat hingga tanpa aku sadari, langit yang semula terang telah berganti gelap.
"Ella! Ella!" panggil mama dari balik pintu kamarku.
Sayup-sayup ku dengar suaranya. Kedua netraku enggan terbuka. Mimpi singkat yang ku alami membuat aku semakin malas untuk membuka mata. Namun, panggilan mama semakin menusuk ke telinga.
"Sebentar ma!" jawabku setengah teriak.
"Urgh!" aku mengendurkan otot-otot tubuhku yang kaku akibat posisi tidurku yang kurang benar.
Namanya juga tertidur, mana mungkin bisa memilih posisi tidur. Aku bangkit dari ranjang dengan malas. Perlahan ku tarik slot dan memutar kenop pintu.
"Kenapa sih ma, teriak-teriak?" tanyaku.
Aku membuka pintu tidak sampai setengah namun cukup menampilkan seluruh tubuhku yang sangat khas usai bangun tidur.
Mama memperhatikanku dari ujung kepala turun hingga ke ujung kaki lalu balik lagi ke atas dan berhenti tepat di wajahku.
Mataku masih ingin merapat karena kantuk masih enggan meninggalkan ragaku yang lelah. Lelah karena terlalu lama menonton drama cina favoritku Eternal Love of Dream. Saking bagusnya drama itu membuatku tidak bosan memutarnya hingga berkali-kali. Apalagi saat adegan romantis antara Feng Jiu dengan Donghua.
Tak ayal terkadang terbawa ke mimpi. Namun, pemeran utamanya tentu saja aku dengan pria idamanku. Pria yang selama ini aku cintai. Cinta pertama yang terkunci rapat di dalam hatiku. Dave Wiratama. Seorang pria kelahiran Jawa-Belanda. Pewaris satu-satunya keluarga Wiratama.
"Ya ampun, Ella! Bukannya tadi siang mama udah bilang, kamu malam ini harus dandan." Mama mulai mengeluarkan beberapa mantranya yang membuatku semakin malas.
Aku memilih memutar tubuhku dan menjatuhkannya ke ranjang yang empuk dengan posisi tengkurap. Sebelah tanganku yang bebas berusaha menggapai bantal untuk menutupi kepala. Namun, kalah cepat dengan tangan mama yang lebih dulu meraihnya lalu mendaratkan satu pukulan di bokongku dengan bantal.
"Ella!" teriak mama.
Aku terbangun dan berdiri spontan. Rasanya gendang telingaku hampir pecah mendengar teriakan mama. Wajar saja, aku terkejut. Mama berteriak tepat di samping telingaku. Bibir mama seolah menempel di telingaku.
"Aduh, apaan sih ma!" aku merosotkan tubuhku ke lantai.
"Kamu itu yang apa-apaan? Cepat mandi dan dandan!" perintah mama.
"Masih sore, mama," jawabku malas.
Wanita paruh baya itu memilih menghela napas panjang sambil berjalan menuju jendela kamar.
"Noh, lihat! Kalau masih sore, mana sinar matahari sorenya?" kesal mama setengah meledek.
"Hehehe! Perasaan tadi aku tidurnya sebentar deh!" balasku.
"Udah ya, Ella! Mama ngga mau dengar alasan ini dan itu. Sekarang kamu cepat mandi dan dandan. Tamu-tamu kita sebentar lagi datang," perintah mama sambil berlenggang menuju pintu kamar.
"Ella ngga mau dijodohin, ma," rengekku.
Langkah mama terhenti. Sebelah kakinya sempat tergantung di udara sebentar. Aku yakin mama sedikit terkejut mendengar penolakanku. Mama berbalik. Wajahnya menyiratkan sesuatu. Terlihat dari sudut bibirnya yang membentuk senyum khas mama. Senyuman yang memiliki arti.
"Ya udah kalo kamu ngga mau, ngga apa-apa. Nanti mama tawarin ke anak tetangga sebelah aja. Silahkan dilanjutkan halu-nya," ucap mama sambil berbalik tanpa menutup pintu kamar.
"Ck, jaman udah modern masih aja maen jodoh-jodohan! Yang ada sampe sekarang itu maen rumah-rumahan," kesalku.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas ranjangku yang sangat empuk. Meraih bantal dan menutup wajahku. Aku yakin belum sampai satu menit, aku langsung terduduk. Menyadari ucapan mama tadi. Anak tetangga sebelah yang mama maksud adalah Nana. Aku tahu gadis itu sangat menyukai Dave.
"Mama bilang tadi, kalau aku ngga mau bakal dikasih ke Nana. Gawat!" Aku langsung mengambil langkah seribu dan berteriak di muka pintu.
"Mama! Jangan kasih ke Nana! Aku siap-siap sekarang!" teriakku.
Aku bergegas membersihkan diri. Gaun biru muda dengan lengan pendek berkerut menjadi pilihanku. Warna kesukaan Dave. Gaun ini salah satu favoritku. Selain warnanya yang lembut, modelnya juga sangat cocok di tubuhku yang ramping. Aku membiarkan rambut hitam panjang ku tergerai.
Aku mengatur napas sebelum turun ke bawah. Jangan ditanya lagi bagaimana perasaanku saat ini. Rasanya jantungku pindah ke ginjal. Rasa penasaran menabuh hatiku seperti genderang perang. Ingin turun tapi aku takut kecewa. Apa benar tamu yang dimaksud mama itu adalah Dave dan keluarganya. Bagaimana mungkin mereka datang ke rumah untuk melamar ku? atau hanya akalan mama saja agar aku segera turun. Tapi, mama tidak pernah bercanda jika sudah tersenyum seperti itu.