Love After Marriage
Indira duduk terpaku di sofa menatap keluar jendela kamarnya dengan mata sembab. Sudah hampir 1 jam airmatanya sulit untuk dihentikan. Sama halnya dengan hujan yang juga masih membasahi bumi. Di dekatnya tergeletak sebuah undangan pernikahan berwarna hitam dengan tulisan dan pita warna emas.
1 jam sebelumnya.
“I.. Ini apa, Yah?” Tanya Indira dengan tangan gemetar memegangi sebuah undangan dan dia membaca namanya sendiri di sana dengan nama cowok yang sangat dia kenal.
“1 bulan dari sekarang, kamu akan menikah dengan Devian.” Jawab lelaki yang sudah menginjak umur 55 tahun, namun ketampanannya diwaktu muda masih tergambar jelas. Dia adalah Haris Pradana, ayah dari Indira.
“Ta.. tapi, Yah, aku sama Ian gak ada hubungan apa-apa, gimana bisa aku menikah sama cowok yang sama sekali gak aku sayang. Aku sayangnya sama Gilang, bukan Devian!” Indira terdengar semakin histeris.
Nadia merangkul Indira, berharap bisa menenangkan anak gadis satu-satunya itu. “Ibu, tahu, Nak, tapi Ayah dan Ibu yakin, Ian bisa menjadi suami yang baik untuk kamu.”
“Tapi, Bu, aku masih mau kuliah, kerja, aku gak mau menikah muda, apalagi dipaksa seperti ini!”
Apa-apaan mereka?! Jeritnya dalam hati.
“Tapi undangan sudah disebar, Ndi.”
“Kalian menyebar undangan ini tanpa tanya dulu aku setuju apa gak?! Apa Ian yang memaksa kalian untuk melakukan ini semua?!”
“Gak, Sayang, Ian pun gak tahu masalah ini, Ibu yakin dia pasti sama terkejutnya seperti kamu, karena ini semua rencana Ayah, Ibu dan orang tua Ian.”
“Iya tapi kenapa Bu? Yah?” Indira menatap bergantian orang tuanya dengan bercucuran airmata. “Apa kalian punya hutang ke orang tua Ian dan aku yang ditumbalkan untuk melunasi hutang kalian? Iya?”
“Bukan begitu, Nak.”
“Lantas apa, Yah? Kenapa kalian memaksa aku buat menikah sama Ian?”
“Karena 1 tahun kemarin, Ian yang bisa bantu kamu melewati masa sulit kamu saat putus dengan Gilang. Dan kami lihat, Ian amat menjaga kamu, ditambah lagi, Papanya Ian, sahabat lama Ayah.”
“Tapi aku gak sayang sama Ian, kita cuma berteman baik dan gak lebih. Dan aku juga masih sayang banget sama Gilang. Kita juga ada rencana balikan, jadi aku gak mau pernikahan ini diteruskan.”
"Indi, Ibu harap kamu mau memikirkan ini baik-baik. Undangan dan persiapan pernikahan kalian sudah disebar dan 80% sudah siap, kamu gak maukan membuat malu Ayah sama Ibu?"
"Tapi kalian yang mau ini semua! Bukan aku!"
Indira lalu beranjak pergi menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Haris dan Nadia hanya bisa menghela nafas.
"Kita biarkan Indi tenang dulu, Yah. Karena dia pasti shock sekali."
Haris hanya bisa mengangguk menyetujui perkataan istrinya.
Indira menyeka airmata yang masih meleleh di pipinya. Pandangannya pun teralihkan keundangan yang ada di dekatnya. Dia mengambil lalu memandangnya masih dengan tangan yang sedikit gemetar karena menahan rasa marah dan terkejut. Dia meraba tulisan namanya dan Devian yang terukir indah di sana berikut tanggal pernikahan mereka. Indira menghela nafas dan mengalihkan pandangannya keluar jendela dengan airmata yang masih bercucuran di pipinya.
Ya, Devian Adhibrata. Anak tunggal pemilik perusahaan jual beli properti yang sangat maju. Jadi bisa dipastikan dia akan mewarisi perusahaan raksasa tersebut dan karena kenyataan itulah banyak cewek-cewek yang mencoba menarik perhatiannya namun tidak ada satupun yang bisa mendekatinya, kecuali Indira. Dan 3 tahun lalu jadi kilas balik pertemuannya dengan Devian.
3 tahun sebelumnya.
Indira melangkahkan kakinya di kampus dihari pertama dia resmi menjadi mahasiswi bersama Viana, bestienya dari SMP. Untungnya mereka berhasil masuk ke salah satu kampus favorit di Jakarta, dan sama-sama mengambil jurusan Ekonomi & Bisnis. Di sinilah juga, Indira bertemu dengan Gilang Raditya, seniornya,-yang terpaut 2 tahun di atasnya dan dia mengambil jurusan Hukum-, dihari pertama masa orientasi kampus dan Gilang menjadi ketua pelaksana kegiatan.
Saat itu, Gilang sudah merebut sebagian perhatian Indira karena insiden “bertabrakan” di belokan lorong kampus yang menuju kantin dan dengan baik hatinya, Gilang membantu membereskan barang-barang Indira yang tercecer di lantai. Dan semenjak itulah, Gilang dan Indira pun menjadi dekat tanpa menyadari, kalau ada seseorang yang juga menaruh perhatian kepada Indira.
"Biasa saja dong melihatnya." Sahut Farel pelan sambil menyikut Devian yang duduk di sampingnya sewaktu kuliah pertama mereka sedang berlangsung.
Devian tersadar lalu tersenyum dan memalingkan mukanya kembali menatap dosen yang sedang menjelaskan konsep dasar ilmu manajemen. Dia lalu menulis sesuatu di buku catatan yang langsung disodorkan ke Farel. Farel pun membacanya lalu tersenyum dan kembali berbisik.
"Masalah kecil."
Devian pun tersenyum lalu sesekali melihat ke arah Indira yang duduk tidak jauh dari tempatnya dan karena posisi tempat duduk mereka berbentuk setengah lingkaran dengan whiteboard di tengah mereka yang sedang menampilkan catatan yang diproyeksikan dari mesin proyektor yang tergantung di langit-langit ruang kelas mereka.
I wanna know about you (Gue mau tahu siapa lo.)
Beberapa hari kemudian.
Karena terlalu asyik mengerjakan tugas di perpustakaan, Indira sampai lupa kalau ada mata kuliah selanjutnya. Dia tidak sadar kalau Viana berkali-kali menelepon dan mengirimkan pesan. Alhasil, dengan terburu-buru dia membereskan buku dan laptopnya lalu keluar dari perpustakaan.
Dia berlarian di tangga sampai-sampai dia tersandung. Namun tanpa dia duga, ada sebuah tangan yang memeganginya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Indira menoleh dan melihat cowok yang memegangi lengannya tersenyum sambil membantunya kembali menyeimbangkan tubuhnya.
"Hati-hati."
Indira pun tersenyum. "Makasih ya."
"Sama-sama. Lo mau ke kelas Bu Gina?"
"Kok lo tahu?"
"Kan kita sekelas. Ayo, kita sudah telat banget."
Indira dan Devian pun kembali menaiki tangga dan kembali berlarian di lorong mencari ruang kelas mereka. Dan benar saja, dosen mereka sudah memulai perkuliahan.
"Maaf, Bu, kita telat." Sahut Devian dengan Indira yang ikut berdiri di sampingnya ketika masuk ke dalam kelas.
"Saya paling tidak suka ada mahasiswa yang terlambat."
"Maaf, Bu, kita sedikit kesulitan mencari kelasnya."
"Untuk hari ini saya ijinkan kalian masuk, namun tidak ada lain kali."
Setelah mengucapkan terimakasih, Devian dan Indira pun duduk di bangku paling belakang.
"Gue Devian." Bisik Devian ke Indira yang duduk di sampingnya.
"Indira. Makasih ya lo sudah menolong gue tadi."
"Anytime."
Farel hanya bisa tersenyum dari tempatnya duduk setelah melihat Devian dan juga Indira karena merasa rencananya sukses besar. Dia lalu menulis sesuatu di secarik kertas lalu digeser ke seseorang yang duduk di sebelahnya.
Viana tersenyum membaca tulisan di kertas yang diberikan oleh Farel lalu membalasnya juga dengan tulisan di kertas yang sama lalu kembali diberikan ke Farel. Farel tersenyum lalu menganggukkan kepala ke arah Viana. Viana pun ikut tersenyum lalu kembali memperhatikan dosen mereka.
“Memangnya Gilang belum punya cewek?” Tanya Viana sambil mengunyah spageti yang ada di piringnya. Setelah perkuliahan selesai, mereka mampir ke cafe yang tidak terlalu jauh dari komplek rumah mereka biarpun mereka tidak tinggal di komplek yang sama.
“Yang gue tahu, cewek yang suka bareng dia cuma teman sekelasnya saja sih.”
“Tapi kok kaya akrab banget ya? Coba lo cek dulu, jangan sampai lo sudah kepalang bucin, tapi nyatanya dia punya cewek.”
Indira terdiam lalu menyeruput cappucinonya perlahan.
“Tapi, Ndi, cowok yang tadi siang bareng lo.. lumayan juga.”
Indira sedikit tersedak lalu meletakan cangkirnya. “Tadi itu gara-gara lo tahu gak, gue jadi telat dan pas di tangga, gue hampir jatuh, dan untungnya ada dia. Namanya Devian.”
“Devian?” Viana menyudahi makannya lalu mengelap mulutnya dengan serbet yang ada di pangkuannya. “Gue kaya pernah dengar nama itu.” Viana lalu mengambil ponselnya dan terlihat mengetik sesuatu.
“Nyari apa lo?”
“Wait.. Nah ketemu. Dengar. Devian Adhibrata, pewaris tunggal Adhibrata’s Real Estate, yang diramalkan akan lebih memajukan perusahaan raksasa tersebut, mulai tertarik untuk terjun menekuni bisnis.”
“Seriusan, Vi?”
“Apa gara-gara itu ya, dia kaya magnet di kampus? Lo ingat gak waktu orientasi dia jadi center of attention (pusat perhatian) banget dan gue yakin karena fakta ini.”
Indira lagi-lagi terdiam. “Tapi, Vi.. Dia memang ganteng banget sih.”
Viana tertawa. “Pikirin tuh Gilang.”
Indira pun tersenyum lalu kembali terdiam sambil memainkan cangkirnya dengan pikiran yang tidak menentu.
Kenapa gue jadi kebayang-bayang Devian?
To be continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Pena Hitam
Bagus ko kak, penempatan kalimat maupun tanda baca juga tepat.
Cuma tambahan aja kak untuk dialognya di kurangi jd biar balance dengan penjelasan latar dll. Biar pembaca tidak bosan 🙏
2024-03-10
2