SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Jam sekolah baru saja berakhir. Matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat, menyinari halaman sekolah dengan cahaya jingga yang lembut. Suasana SMA Rimba Sakti mulai sepi, tapi The RADAN memilih untuk nongkrong sebentar di area gerbang belakang, tidak jauh dari markas baru mereka yang sekarang sudah terasa seperti rumah kedua.
Arga, Rian, Dimas, Nadya, dan Aisyah duduk bersantai di bangku kayu di sana. Rian sudah melepas sepatu dan duduk santai dengan kaki menyilang di atas bangku, sementara Nadya sibuk mengeluarkan botol minum dari tasnya. Suasana sore itu terasa ringan, obrolan ringan soal tugas sekolah dan rencana liburan mendominasi percakapan mereka.
“Jadi... kapan kita mau liburan sebagai perayaan pembentukan klub?” Rian memulai dengan nada penuh antusias. “Aku denger kalau ke Yogyakarta biaya di sana murah-murah. Gimana kalau kita ke sana?”
“Bisa aja sih, cuman kita perlu nunggu lebih lama kayaknya. Mungkin liburannya habis ujian akhir semester aja kali ya? Lebih lama,” usul Nadya.
“Berarti masih lama banget, ya,” sahut Rian menghela napas. “Kalau gitu weekend ini kita ke Malang aja. Katanya ada food festival di sana.”
Dimas yang asik bermain ponsel langsung menatap Rian sinis. “Kamu ngincer makan gratis?”
Ria memasang wajah tak bersalah sambil mengangkat bahu. “Heh, kalau makan gratis itu dosa, aku udah masuk neraka dari dulu.”
“Emang kamu udah mati?” celetuk Aisyah sambil membaca buku novelnya.
Mata sipit Rian langsung mendelik. “Sakarepmu (terserahmu) mau ngomong apa, Syah.”
Nadya tertawa kecil sambil menutup botol minumnya. “Udah deh, aku yakin Rian bakal makan apapun asal ada kata ‘gratis’ di situ.”
Lain halnya dengan Arga yang justru matanya memicing ke arah sekelompok murid yang datang menghampiri mereka. “Itu Aldi sama Dani, kah?”
Nadya berdecak. “Mereka ngapain lagi sih?”
Klub Misteri akhirnya tiba di depan mereka.
Aldi, lagi-lagi maju dengan berani berbicara di depan mereka, “Kita mau bicarain sesuatu.”
“Apa lagi?” tanya Arga tenang sambil berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Ini serius. Kita minta kalian buat buar,” kata Aldi tanpa basa-basi.
Dimas memasukkan ponselnya ke dalam saku sambil menyilangkan kedua tangannya terheran. “Klub kita baru aja mulai, kalian malah suruh kita bubar?”
Arga pun menjawab, “Sekolah ini bukan milik siapa-siapa, Al. Kita cuman klub yang sama kayak kalian. Jadi nggak ada alasan kita harus bubar.”
Dani ikut angkat bicara. “Kalian nggak ngerti. Klub Misteri bukan cuman tentang belajar sejarah hutan di belakang sekolah ini, tapi juga bantu sekolah buat mecahin misteri lainnya.”
“Terus, kemana kalian waktu kasus penculikan itu? Kemana kalian waktu kebakaran itu?” balas Nadya bertanya sarkas.
Semua terdiam. Namun, mata Dani menyipit, wajahnya semakin serius. “Kalian yang ngambil itu dari kita. Kalian nggak ngerti apa yang kita lakuin, kita punya cara sendiri buat nyelesain misteri sekolah ini. Semuanya udah jadi warisan buat kita.”
Rian pun membalasnya dengan santai, “Warisan atau nggak, kalian nggak membuahkan hasil yang lebih cepat dari kita. Lagian, kita juga gak ada niat buat ganggu kalian, kalian mau lakuin ritual atau apapun itu terserah. Jadi, kenapa kita harus bubar?”
Aldi hanya menghela napas. “Kalian bakalan nyesel kalau gak dengerin kita.”
Arga memandang Aldi tenang tapi netranya tetap tajam. “Gak ada yang perlu kita sesalin. Kita nggak akan bubar cuman karena kalian suruh. Kalau kalian punya masalah, kita bisa ngomong baik-baik.”
Aldi ikut menatap Arga tajam sambil tersenyum miring. “Baik-baik, ya? Kita liat aja nanti. Jangan bilang kalau kita gak kasih peringatan kalau kejadian sesuatu sama sekolah ini ataupun sama kalian.”
Dengan itu, Aldi dan Dani berbalik pergi meninggalkan The RADAN. Suasana tegang perlahan mereda, tapi perasaan aneh masih tersisa di udara.
Nadya, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya bertanya kesal, “Mereka tuh ngapain sih? Mereka ngerencanain apa coba?”
“Mungkin santet?” celetuk Aisyah yang sedari tadi terus membaca buku novel yang lebih menarik perhatiannya dibandingkan perdebatan barusan.
“Ini serius, Syah. Jangan bilang yang aneh-aneh dong,” jawab Nadya tak bisa menyembunyikan wajah paniknya takut yang dibicarakan Aisyah itu benar.
“Tapi, kalau memang santet, Jadi penasaran gak sih? Kalau kita punya bukti kuat, mereka yang jutsru dibubarin sama sekolah,” kata Rian.
Dimas setuju. “Iya, aku juga penasaran. Ternyata seru juga kalau berakhir kita yang mutar balikin santetnya ke mereka. Lewat... hack!”
Rian dan Dimas langsung saling bertos ria, sedangkan Nadya justru memijit pelipisnya—lelah dengan tingkah kedua temannya ini.
“Yang penting kita hati-hati aja. Ibadah yang bener biar gak kena santet,” balas Arga ikut menanggapi candaan Rian dan Dimas.
Meskipun suasana di hati mereka masih menyimpan kecemasan, mereka tetap berusaha untuk selalu meringankan segala situasi. Hari ini mungkin hanya awal dari konflik yang lebih besar antara The RADAN dan Klub Misteri, tapi satu hal yang pasti, mereka tak akan pernah mundur tanpa perlawanan. Sebab mereka adalah The RADAN.
Setelah pertemuan tegang dengan Klub Misteri, The RADAN memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Bagi mereka, ada hal yang lebih penting saat ini untuk diurus—seperti melengkapi markas baru mereka dengan barang-barang yang akan membantu investigasi.
Mereka berlima sedang dalam perjalanan menuju toko alat tulis besar di pusat kota Malang. Mobil SUV mewah Nadya melaju dengan tenang, disetir oleh bodyguard setianya, Pak Santo. Mobil itu cukup besar untuk memuat semua anggota The RADAN sekaligus, membuat perjalanan terasa nyaman.
Rian menyenggol Dimas yang berada di sampingnya dengan sikutnya. “Eh, Dim. Yakin gak mau beli drone buat nge-spy gitu malem-malem?”
Dimas tertawa kecil. “Kalau kamu yang pake, mending gak usah beli. Pasti langsung nge-crash di hari pertama.”
“Gini nih kalau gak percaya sama temen sendiri,” protes Rian sambil pura-pura tersinggung.
Nadya tertawa pelan, tapi dia sedikit gelisah di kursi depan. “Eh, ngomong-ngomong soal malem-malem, kalian yakin beneran mau balik ke sekolah abis Isya nanti?”
Aisyah yang sedari tadi menatap jendela mobil melirik ke arah Nadya, “Kenapa, Nad? Takut?”
Nadya mengangguk cepat sambil tersenyum malu. “Kalo di sekolah malem-malem, terus markas kita deket hutan... ya, aku sih agak deg-degan. Takut ada yang aneh-aneh.”
“Santai aja, Nad. Kita kan rame-rame,” sahut Arga.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah toko alat tulis besar yang terletak di pusat kota. Nadya turun lebih dulu, diikuti yang lainnya. Pak Santo tetap setia menunggu di mobil, sementara The RADAN berjalan masuk ke toko.
Mereka langsung menuju ke bagian papan tulis dan membeli papan investigasi berukuran sedang yang akan dipasang di dinding markas. Arga, yang bertanggung jawab atas perencanaan, memilih papan dengan beberapa grid untuk memudahkan menyusun informasi. Di samping itu, Aisyah mengambil beberapa spidol, dan Dimas menemukan buku jurnal yang terlihat cocok untuk menulis detail investigasi mereka.
“Eh, kita jua butuh tali sama paku payung,” kata Dimas. “Biar kayak di film-film detektif gitu, ngerangkai bukti pakai benang merah.”
Rian, yang berdiri di sebelah Dimas, langsung menyahut, “Kita beli yang warna-warni aja, biar nggak terlalu serius.”
Mereka tertawa kecil. Meski suasana tetap santai, mereka sadar bahwa sebenarnya klub ini sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih serius. Mereka tidak hanya bermain-main dengan misteri kecil, tapi mulai menantang sesuatu yang jauh lebih besar—dan mungkin berbahaya.
Setelah memilih semua yang mereka butuhkan, termasuk papan investigasi, jurnal, spidol, lampu LED, dan beberapa alat tambahan, mereka menuju kasir. Nadya, seperti biasa, langsung menawarkan diri untuk membayar semuanya.
Setelah semua barang mereka dibayar, mereka kembali menuju mobil Nadya. Barang-barang dimasukkan ke dalam mobil lalu mereka bersiap kembali pulang.
Saat perjalanan pulang, Nadya tiba-tiba berkata, “Oh iya, aku lupa bilang. Aku udah pesen furnitur buat markas. Besok bakal diantar langsung ke sana, jadi kalian tenang aja. Aku serahin ke Pak Santo buat urus itu.”
“Wih, furnitur baru?” tanya Rian antusias. "Apa aja yang dipesan?”
“Rahasia,” jawab Nadya santai membuat Rian langsung berdecak.
Nadya tersenyum, merasa senang bahwa dia bisa membantu klub mereka. Meskipun dia dikenal penakut, dia tetap ingin berkontribusi sebaik mungkin untuk teman-temannya.
Perjalanan pulang berlangsung lancar, dan saat mobil mereka mencapai perbatasan Kedungmalang, mereka mulai berpisah.
Nadya melihat ke arah teman-temannya sebelum berpisah. “Jangan lupa ya, malam ini habis Isya, kita ketemuan lagi di sekolah.”
“Iya, Nad, bye...” jawab Aisyah sambil naik ke motor Arga yang juga tersenyum tipis ke arah Nadya. Aisyah melambaikan tangannya yang dibalas sama oleh Nadya.
Mereka berpisah dengan semangat yang tetap terjaga. Meski hari ini berjalan santai, malam nanti mungkin akan membawa tantangan baru, tapi seperti biasa, The RADAN selalu siap menghadapi apapun yang datang—baik itu misteri ataupun sebuah ancaman.
...—o0o—...