Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Ketika ayam jantan berkokok, matahari mulai menggeliat memancarkan sinarnya dengan malu-malu. Lintang terjaga setelah semalaman berbincang tentang banyak hal bersama Ibra. Hari ini ia bersama Tante Rosa dan Bunda Halimah, bermaksud ke makam orangtuanya. Buru-buru Lintang membereskan kamar dan segera berlalu menuju kamar mandi,yang letaknya di dekat dapur. Ternyata di dapur sudah ramai dengan ibu-ibu yang sedang memasak, serta anak-anak yang sudah agak besar membantu di sana.
"Selamat pagi, semuanya" sapa Lintang, untuk mengurangi kecanggungan dan rasa malu.
"Pagi lagi, kakak" jawab mereka serempak, yang ada di dapur.
Bunda Halimah tampak sedang memberi instruksi, pada seorang ibu yang tengah menguleni adonan. Ia menengok saat Lintang mengucap salam, lalu menghampiri dengan senyum teduhnya.
"Ayok buruan mandi, nanti kita sarapan bareng-bareng" kata Bunda Halimah,sambil mendorong pelan punggung Lintang.
"Maaf Bun, aku kesiangan jadi gak bisa bantuin" bisik Lintang lirih, wajah putihnya bersemu merah. "Abis di sini bikin betah, juga udaranya segar tanpa polusi."
"Enggak pa-pa, Bunda maklum. Setiap tamu yang datang juga sering merasa nyaman, karena dinginnya udara di sini. Jadi wajar aja kalo tidurnya nyenyak dan merasa tenteram."
"Ngomong-ngomong kemana Tante Rosa, Bun?" tanya Lintang, menyadari bila sang Tante tidak terlihat batang hidungnya.
"Lagi diteras, nge-teh cantik bareng Ibra dan Sinta " jawab Bunda Halimah.
"Kalo gitu, aku mandi dulu ya." Lintang bergegas memasuki kamar mandi, untuk membersihkan diri. Setelah mendapat anggukan setuju, dari Bunda Halimah.
Tidak berlama-lama di dalam, Lintang menyudahi ritual mandinya. Air yang dingin dan suasana yang hening, membuatnya cepat-cepat beranjak pergi dari tempatnya mandi. Begitu keluar Lintang di suguhi pemandangan yang luar biasa, meja makan panjang terlihat berisi penuh makanan. Seperti orang hendak berpesta, berderet-deret kursi mengelilingi meja. Mereka biasa makan bersama, dengan penghuni panti yang lainnya.
Lintang memasuki kamar tamu,lalu mengganti piyama tidur dengan stelan overall sebatas lutut. Ia mengaplikasikan bedak tipis-tipis di wajahnya yang segar, serta tak ketinggalan liptint ia oleskan di bibirnya.
Setelah selesai berdandan,Lintang keluar dari kamar dan menghampiri Tante Rosa yang tengah berbincang-bincang seru. Itu terdengar dari tawanya yang riang, serta senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
"Hai, selamat pagi" Lintang menyapa semua yang ada di kursi teras, mereka tengah bertukar pikiran sambil menikmati kudapan.
"Pagi, keponakan Tante yang cantik" jawab Tante Rosa, penuh sayang. "Duduk dekat sini" tunjuknya, pada kursi yang terbuat dari besi di sampingnya.
"Makasih, Tan" ucap Lintang. "Wah serabi kuah, pasti enak sekali!" serunya, mengambil duduk di sisi Tantenya dan mengambil serabi, juga menaburkan gula dan santan diatasnya. "Heum... rasanya juara!"
"Siapa dulu dong, yang buat?" Bunda Halimah datang membawa beberapa lagi camilan, untuk mengisi perut tamunya.
"Bunda Halimah, benar-benar mertua idaman banget" puji Lintang,sambil mengunyah potongan kecil serabi.
"Sayangnya, calon menantu impian Bunda udah ada yang punya" ucapnya lesu.
Sinta yang memang sedang menemani Tante Rosa dan Ibra, tercenung sesaat mendengar penuturan Bunda Halimah. Kepalanya tertunduk, dengan kedua tangan saling meremas. 'Ah ternyata benar, Bunda juga berharap pada gadis kota seperti Lintang.'
Lintang merasa bersalah pada Sinta, ia tau gadis berkulit kuning langsat itu menaruh harapan pada Ibrahim, putra semata wayang Bunda Halimah. Ia melirik Sinta yang tertunduk, dengan tangan bertautan.
Sinta berpamitan akan ke dapur, lalu berdiri membawa kantung plastik tadi yang di bawanya dari rumah. Kantung yang berisi aneka sayuran pesanan Bunda Halimah, yang didapatnya dari ayahnya. Ayah Santi memang seorang petani sayuran, yang mana hasil panennya di jual ke supermarket. Berkat jasa Ibra yang mengkoordinir hasil panen petani, dan menyalurkannya pada para pemilik restoran dan pasar modern di kota.
Ibra pria pendiam tapi mumpuni di bidangnya, ia adalah seorang pekerja keras dengan ide brilian di otaknya. Itulah mengapa Sinta diam-diam, begitu menggagumi Ibra.
Sesampainya di dapur, Sinta menyusun semua sayuran di dalam kulkas. Sambil melamun, ia membereskan semuanya.
Lintang yang menyadari Sinta pergi dengan wajah yang di penuhi kekecewaan,segera menyusulnya ke belakang. Dilihatnya Sinta termenung, sembari tangannya beraktivitas. "Sin, kenapa kamu melamun?" tanya Lintang pelan, serupa bisikan. "Kamu sakit hati, mendengar ucapan Bunda Halimah" lanjutnya lagi.
Sinta terperangah mendengar suara Lintang, kemudian segera berdiri dari posisi jongkoknya. "Maaf, tadi kamu ngomong apa?" tanya Sinta, sedikit malu.
"Kenapa kamu pergi?"
"Oh itu, aku gak enak aja ada diantara kalian. Barangkali, ingin berbicara tanpa ada orang luar?"
"Hust... kamu jangan ngomong kayak gitu. Sinta kamu bagian dari keluarga ini, Bunda bilang dengan adanya kamu jadi terbantu kegiatan panti."
"Bunda cuma menghibur aja, aku hanya serpihan kecil ranginang di kaleng Kh*ng G*an."
"Hihihi! Lucu deh kamu, segede gini di bilang seperti camilan orang Su*da'" Lintang terkikik geli.
"Habis aku beda sama kamu, yang benar-benar idaman menantu buat Bunda..."
"Sinta, kamu harus berjuang mendapatkan impian mu" potong Lintang cepat. "Jodoh sudah ada yang ngatur, tinggal kita sebagai manusia meminta pada-Nya, di beri suami yang menjadi keinginan mu."
"Aku berharap kak Ibra jadi jodoh ku, apakah itu gak terlalu tinggi?"
"Gantungan cita-cita setinggi langit, masalah hasilnya serahkan pada Yang Maha Kuasa."
"Jadi kamu gak sakit hati, apabila aku suka sama Kak Ibra?"
Lintang menggelengkan kepalanya mantap, ia dan Ibra hanya teman masa kecil. Tidak ada terselip cinta di sana, yang ada hanya kasih sayang layaknya saudara. "Berjuanglah Sinta, tetap semangat menggapai masa depan."
"Makasih, Lintang."
Mereka berpelukan penuh rasa syukur, ada bahagia terselip di hati Sinta. Tetapi tidak dengan pemuda yang diam-diam menguping pembicaraan mereka, dari balik pintu yang sedikit terkuak.
****
Ibra tersentak ketika tangannya di tarik paksa ibunya, agar mengikuti langkah kaki wanita bergamis tosca tersebut. Mereka menuju satu tempat, yang berfungsi sebagai ruang kerja.
"Ada apa Bun? Kenapa narik-narik tangan aku?" tanya Ibra keheranan.
"Yang harusnya tanya itu, Bunda. Lagi apa, berdiri di depan pintu dapur?"
"Aku tadinya mau nyusulin Lintang, mau tanya jam berapa berangkat ke makam" terang Ibra. "Tapi gak jadi masuk, karena Lintang sedang bicara serius dengan Sinta."
"Kenapa memangnya, sampai harus di susul segala tinggal tunggu di depan aja" protes sang Bunda. "Takut tersesat bidadari surga nya, ya."
"Apa sih Bun? Lintang itu, udah ada yang punya."
"Bunda tau! Tapi mereka menikah, karena terpaksa..."
"Tetep aja gak boleh, Bun "ucap Ibra lembut.
"Ya...ya, terserah kamu" Bunda Halimah akhirnya mengalah, percuma beradu kata dengan putranya yang memang benar ucapannya.
"Sabar ya, Bun. Mungkin lain waktu, Ibra bakalan bawa calon istri buat Bunda" terang Ibra,memeluk bahu Bundanya dengan sayang.
"Bunda udah tua, siapa lagi yang akan meneruskan amanah Abi mu? Bunda kepengen ketika di panggil Allah SWT, kamu sudah punya pendamping."
"Insyaallah, Bun. Rezeki dan jodoh, hanya Dia yang tau."
"Bagaimana dengan Sinta? Kamu gak tertarik, ia gadis baik juga suka bantu Bunda ngurus panti."
"Sinta sudah seperti adik buat ku, Bun Rasanya aneh aja, yang tadinya adik jadi istri."
"Iya, tapi kan kalian sudah akrab, jadi mudah untuk menyamakan persepsi" dalih Bunda Halimah.
"Permisi, maaf mengganggu" Sinta menyapa mereka, takut-takut.
"Masuk Sin, ada apa?" tanya Bunda lembut.
Sinta masuk ke ruangan, kemudian duduk berhadapan dengan ke duanya. "Tante Rosa, tadi cari Bunda. Katanya, beliau mau berangkat sekarang ke pemakaman."
"Astaga, Bunda hampir lupa" Bunda Halimah,menepuk keningnya sendiri. "Ibra, kamu mau ikut gak?"
"Enggak Bun, hari ini rencananya aku mau bertemu dengan pemilik swalayan dari Bandung."
"Oh ya sudah, Bunda berangkat dulu. Hati-hati di jalan, mudah-mudahan berhasil proposalnya."
Setelah Bunda Halimah berlalu, Sinta segera bersiap-siap untuk mendampingi Ibra.
"Sinta, apa kamu dengar semua pembicaraan kami tadi?" tanya Ibra.
"Iya, kak."
"Aku harap, kamu jangan berharap lebih dengan hubungan kita."
"Baik, kak" jawab Sinta, dengan kepala menunduk.
Pasrah hanya itu yang ia lakukan, sambil berharap ada keajaiban datang ke pangkuannya.
****
yg ad hidupx sendirian nnt x