Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Suami Tak Berhati
Hanya satu jam Deby mampir ke kediaman Nurita. Bisma langsung mengantarkan ia ke rumah saudaranya selama ia berkunjung ke Surabaya.
Setelah keduanya memasuki mobil dan meninggalkan kediaman Nurita. Dengan cepat Ajeng membersihkan sisa-sisa air mata yang tak bisa ia bendung keluar. Bening mata putri kecilnya membuatnya berusaha tegar.
“Jeng .... “ Nurita dan Mayang yang duduk bersama di sofa ruang keluarga menatap kehadiran Ajeng di hadapan mereka.
“Maaf ma, mbak ... saya ketiduran .... “ Ajeng berusaha menyunggingkan senyumnya.
Nurita dan Mayang saling berpandangan. Mereka merasa lega jika apa yang dikatakan Ajeng benar. Artinya saat Bisma datang dengan teman wanitanya Ajeng tidak melihat.
“Bisma sudah menghubungimu?” Nurita bertanya dengan hati-hati.
“Belum ma. Mungkin papanya Lala masih ada kerjaan yang gak bisa ditinggal,” Ajeng berusaha menetralkan suaranya yang bergetar menahan kesedihan.
“Dasar anak itu,” Nurita mendengus kesal dengan tingkah Bisma seperti orang lajang tak memikirkan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, dan kini telah menjadi seorang ayah.
“Assalamu’alaikum .... “ taklama kemudian suara bariton Bisma sudah muncul di hadapan mereka.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” ketiganya menjawab kompak.
Tanpa rasa bersalah Bisma langsung duduk di hadapan Ajeng. Ia menatap bayi cantik yang kini matanya terbuka cerah.
Bisma merasakan getaran yang berbeda saat matanya menatap bayi perempuan yang baru berusia tujuh hari itu. Dengan perasaan berdebar jemarinya mengelus rambut putrinya yang tampak ikal lebat.
“Badan dibersihkan dulu jika ingin menggendongnya,” dengan cepat Mayang menginterupsinya.
Ajeng hanya diam menyaksikan interaksi adik kakak itu. Ia ingin segera beristirahat dari semua peristiwa dan kejadian hari ini yang membuat tidak hanya fisik tetapi mentalnya juga lelah.
“Bayi itu sangat sensitif. Kamu baru datang dari luar. Jangan sampai membawa virus untuk Lala,” Nurita menasehati Bisma.
Tatapan Bisma beralih pada Ajeng yang tetap tenang tak terusik dengan percakapan ketiganya. Ia membelai kepala putrinya yang kini mulai menguap karena kecapean.
“Ma, aku bersiap pulang,” Ajeng mulai bangkit dari duduknya, “Kasian pak Kusni udah nungguin dari tadi.”
“Kita pulang bersama,” tegas Bisma.
Ia ingin segera kembali ke rumah. Masih banyak laporan yang harus ia kerjakan pulang dari kunker ke luar negeri.
“Baik mas. Aku akan membereskan semua barang Lala di kamar,” Ajeng segera mengulurkan Lala pada Mayang yang ingin menggendongnya,
Bayi Lala memang mendatangkan kebahagiaan bagi segenap penghuni rumah, walau Ajeng tidak yakin dengan Bisma sendiri.
“Kenapa kamu membawa perempuan disaat acara anakmu?” tembak Nurita langsung begitu Ajeng sudah tidak berada di hadapan mereka, “Apa kamu tidak bisa menjaga perasaan Ajeng? Untung saja para tamu sudah pulang, dan Ajeng tidak melihat semuanya.”
Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan putra bungsunya itu. Sebagai seorang perempuan, ia dapat melihat bagaimana cara pandang Deby terhadap putranya.
“Dia hanya teman sekantor,” kilah Bisma, “Apa salahnya mengajaknya mampir dan mengundangnya sekalian.”
“Memang kado apa yang ia bawa untuk Lala?” kejar Mayang tak suka.
Ia pun yakin dengan pemikiran mamanya bahwa Deby bukan hanya rekan biasa di mata adiknya.
Bisma terdiam. Ia pun melupakan kado yang sepatutnya ia berikan, sebagai tanda terima kasih pada Ajeng yang telah memberinya seorang putri yang kini begitu dibanggakan mamanya dan Mayang.
“Aku merasakan bahwa kamu dan perempuan itu memiliki hubungan spesial,” Mayang menatap Bisma seperti menguliti adiknya, “Jangan bermain api jika tidak ingin terbakar.
“Aku sudah dewasa. Dan aku bisa menentukan mana yang baik atau tidak untukku,” Bisma berusaha membela diri karena merasa terus dipojokkan kedua perempuan yang sangat ia sayangi dalam hidupnya.
“Mudahan apa yang kamu katakan benar, bahwa kalian hanya rekan kerja,” Nurita menimpali perkataan Bisma, “Mama tidak ingin ada gangguan dalam pernikahan kalian.”
Dalam mobil saat kembali ke rumah mereka, tidak ada percakapan yang terjadi. Ajeng pun malas untuk membuka mulut. Ia mengikuti saja ritme yang diciptakan Bisma. Ia hanya ingin menciptakan kenyamanan bagi dirinya dan putri kecilnya serta orang-orang yang masih peduli padanya.
Begitu mobil tiba di rumah, Dimas yang masih berada di dalam langsung keluar dan membantu membawa kado yang diberikan keluarga besar Nurita yang berdatangan pada saat acara tadi.
Ia dapat melihat suasana hening yang terjadi antara kakaknya dan kakak iparnya. Selama ini Dimas memang jarang berinteraksi dengan Bisma. Jika ia dan almarhum bapak berkunjung, kakak iparnya itu berada di luar kota.
Ia tidak berani untuk mendekat dan bersikap sok akrab, apalagi Ajeng sudah mengingatkan jauh-jauh hari, bagaimana sikap suaminya pada adik semata wayangnya.
“Suamimu gak ikut makan malam nduk?” lek Sumi memandang Ajeng saat ketiganya menghadapi meja makan untuk makan malam bersama.
“Ayahnya Lala jarang makan malam Lek. Porsi makannya sangat dijaga,” Ajeng berusaha memberi alasan.
Ia melihat sejak habis shalat Magrib Bisma langsung memasuki ruang kerja. Kalau sudah seperti itu, biar ada bencana atau badai sekalipun tak akan membuatnya keluar dari sana.
Lek Sumi menatapnya dengan lekat. Ia yakin Ajeng menyembunyikan sesuatu akan hubungannya dengan sang suami.
Pada acara tujuh bulanan kemaren saat ayahnya masih hidup, ia sempat menyampaikan kecurigaannya tentang hubungan ponakan dan suaminya yang sangat pendiam dan jarang berinteraksi dengan mereka.
Tapi seperti Ajeng, bapaknya pun tidak banyak bicara. Ia hangya mendoakan semoga hubungan pernikahan anaknya berjalan langgeng dan hanya ajal yang memisahkan.
“Apa masmu selalu sibuk seperti itu nduk?” lek Sumi ingin memastikan kcurigaannya.
Ia dapat melihat raut tertekan pada wajah ponakannya yang berusaha ia sembunyikan dengan tetap tersenyum pada suaminya yang bersikap dingin.
“Ya lek. Apalagi ayahnya Lala baru pulang dinas luar negeri. Banyak laporan perjalanan yang harus ia buat sebagai pertanggung jawaban,” Ajeng berkata pelan sambil meraih piring di hadapannya untuk di isi nasi.
“Seperti pesan almarhum bapakmu, kamu harus bahagia,” mata lek Sumi berkaca-kaca saat mengucapkannya, “Selama ini, keluarga kita selalu diremehkan orang kampung.”
“Terserah orang ngomong lek .... “ Dimas menyahut santai mendengar ucapan lek Sumi.
Selama ini di kampungnya hanya Ajeng dan Sari yang bersekolah hingga SMA. Kebanyakan begitu tamat SMP langsung bekerja dan menikah.
Apalagi semenjak Ajeng mulai berkuliah, makin banyak yang nyinyir dan mengatakan bahwa semua yang ia lakukan hanya membuang-buang uang.
“Sekarang semua warga di kampung kagum dengan keberhasilanmu,” lek Sumi bercerita dengan penuh semangat, “Apalagi setelah kamu menikah dengan nak Bisma.”
Ajeng tersenyum miris. Orang hanya melihat di permukaan. Mereka tidak tau apa yang sesungguhnya terjadi dalam rumah tangga mereka. Tapi ia tidak ingin membukanya di depan lek Sumi dan Dimas. Biar ia menanggung semuanya sendiri. Karena dari awal ia tau, inilah resiko yang akan ia terima karena menerima perjodohan sepihak.
Kini hari-harinya kembali sepi setelah kepergian lek Sumi. Tepat 3 bulan ia menemani Ajeng menjalani cuti melahirkan dan mengasuh baby Lala hingga menjadi bayi yang semakin menggemaskan.
“Apa kamu gak bisa mendiamkan anakmu?” suara Bisma membuat Ajeng terkejut.
Tadi siang ia baru saja membawa Lala untuk imunisasi. Tentu saja Bisma tidak pernah menemaninya untuk mengantar bayi mungil mereka. Ajeng telah mati rasa atas semua sikap Bisma. Hanya keajaiban yang membuat lelaki batu itu menjadi perhatian.
Tanpa menjawab ucapan Bisma, ia berjalan ke kamar sambil menepuk punggung Lala dengan pelan. Setiap habis imunisasi si kecil memang selalu rewel. Ia pun tak berharap Bisma untuk mengantar apalagi menemani si kecil untuk imunisasi atau pun ke dokter jika ada keluhan tentang bayi mereka.
Bisma menatap Ajeng yang hanya memandangnya sekilas. Ia menghela nafas sesaat. Pekerjaannya benar-benar menyita waktu. Walau pun sekarang ia selalu kembali di akhir pekan, tetap saja tak merubah sikapnya dengan keluarga kecil yang kini semakin lengkap.
Ada keinginannya untuk menggendong Lala, putrinya yang sangat cantik dan menggemaskan. Tapi ia risih karena masih terlalu kecil. Ia pun belum pernah menggendong seorang bayi atau pun anak kecil. Jadi ia menekan keinginannya untuk berinteraksi dengan putri mereka.