Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16.
Arnan tersenyum melihat wajah menggemaskan Anan di ponselnya.
"Daddy mana?" Anan menatap polos pada pria di telpon.
"Hah? Maksud kamu apa, Nak?" Tanya Arnan yang tak mengerti.
"Daddy, dimana?" Fadila menjelaskan pertanyaan anaknya.
Arnan merasa senang di hatinya saat Fadila memanggilnya daddy. Meski itu hanya penjelasan atas kalimat Anan. Namun pria itu sudah sangat senang.
"Daddy, di kantor. Masih bekerja." Arnan tersenyum pada Anan, sembari melirik Fadila yang duduk di belakang anak itu.
"Daddy, kelja telus ndak mau main cama aku. Nanti ndak cayang aku." Mata Anan nampak berkaca menatap Arnan.
Pria di seberang sana jadi bingung melihat Anan yang hendak menangis.
"Kenapa, Nak? Jangan menangis, ya? Daddy ke sana sekarang." Arnan tampak berdiri dari duduknya.
Fadila yang mendengar anaknya menangis langsung melihat.
"Kamu kenapa, sayang?"
Panggilan di akhiri oleh Fadila yang lebih memilih mengurus anaknya.
"Daddy ndak mau aku lagi, Mami." Anan menangis memeluk Fadila.
Dia bukan daddy kamu, nak. Jelas dia tidak menginginkan kamu, batin Fadila menahan sedih.
"Sudah ya sayangnya, Mami. Mungkin daddy memang lagi sibuk." Fadila mendekap erat tubuh anaknya sembari menepuk-nepuk pelan bokong Anan.
Menghela napas panjang saat tangis anaknya tak juga mereda. Ada rasa sesal di hati ibu satu anak itu. Kenapa tadi dia harus mengangkat panggilan dari Arnan? Kalau tahu akan seperti ini jadinya, lebih baik di abaikan saja tadi, batin Fadila.
Fadila berdiri dari duduknya sembari menimang-nimang Anan yang masih menangis. Fadila bahkan tak hentinya mengucapkan kata bujukan agar anaknya berhenti menangis.
Beberapa saat kemudia, pintu ruangan Fadila terbuka dengan kras hingga mengagetkan Fadila dan Anan.
"Maaf, Bu. Tuan Arnan, memaksa masuk." Sekretaris Fadila menunduk takut saat atasannya itu menatap tajam padanya.
Bukan hanya pada Sekretarisnya saja, Fadila juga menatap tajam dan garang Arnan yang membuka pintu seperti hendak demo.
"Kamu boleh pergi." Sekretaris Fadila menunduk sejenak sebelum pergi dari ruangan itu.
Arnan mengabaikan tatapan tajam Fadila dan terus berjalan mendekati wanita itu. Apa lagi tangisan Anan yang maish terdengar di telingan.
Sungguh sakit hati Arnan mendengar tangisan anak kecil itu.
"Mau apa Anda datang kemari, Tuan? Desain yang Anda inginkan belum selesai." Fadila benar-benar kesal pada Arnan yang kembali membuat anaknya menangis karena kaget.
"Anan!" Tanpa perduli dengan tatapan tak bersahabat dari Fadila.
Arnan memanggil bocah yang sedang menangis itu.
"Jangan pernah mengganggu putra saya!" Tegas Fadila yang lagi-lagi tak di hiraukan Arnan.
"Anan!" Panggilnya lagi.
Kali ini Anan menarik wajahnya dari dekapan Fadila dan melihat Arnan. Segera saja anak itu berontak di dekapan maminya.
"Daddy ... Daddy ..."
Fadila mendekap erat tubuh Anan agar tak berpindah pada Arnan. Ia tidak rela jika nanti anaknya harus menangis lagi saat mencari keberadaan Arnan.
"Dia bukan daddy, Nak. Daddy kamu sudah gak ada." Fadila membujuk Anan.
"Ndak! Daddy ... Daddy ..." tangis Anan malah semakin kencang saat mendapat larangan dari maminya.
"Apa kamu tega melihat anakmu menangis begitu? Dia hanya merindukan aku, bukan ingin pergi darimu." Arnan yang tidak tega melihat tangisan Anan mencoba berbicara pada Fadila.
"Aku bisa mengurus anakku sendiri. Lebih baik sekarang Anda pergi, Tuan. Jangan mengganggu anakku lagi," ucap Fadila tetap mempertahankan egonya.
Melihat sikap Fadila yang seakan ingin menjauhkan Anan darinya. Arnan langsung bersikap tegas pada wanita itu. Meski tahu ia tak berhak sedikitpun atas Anan.
Tapi Arnan sudah membulatkan tekatnya untuk mencoba masuk ke kehidupan kedua orang di depannya. Dua orang yang bisa menghangatkan hatinya dengan sikap spontan mereka.
"Kenapa kamu sangat egois, Fadila? Apa kamu akan terus membiarkan anakmu menangis selama itu dan tak membiarkanku menenangkannya? Apa kamu ingin semua karyawanmu tahu? Bagaimana sikap egois atasan mereka yang membiarkan anaknya terus menangis? Tanpa merasa iba dan kasihan terhadap darah dagingnya sendiri? Lebih mementingkan ego dan amarah dari pada anaknya sendiri?"
Fadila tersentak mendengar ucapan Arnan yang seakan menyadarkannya. Bukannya dia sudah pernah bertekat akan melakukan apapun untuk kebahagian anaknya?
Lalu sekarang apa yang di lakukannya?
Arnan langsung menarik tubuh kecil Anan dari dekapan Fadila saat wanita itu termenung.
"Sst ... Sayangnya Daddy, tenang sayang. Daddy di sini." Arnan menimang tubuh Anan yang perlahan tangisnya mulai pelan.
"Fa? Ada apa ini?" Dwi dan Sinta masuk ke dalam ruang kerja Fadila.
Mereka mendekati Fadila yang berdiri diam mematung dengan air mata yang menetes.
"Fa? Sadar, Fa?" Sinta menguncang tubuh Fadila.
"Aku melakukannya lagi. Aku melakukan kesalahan itu lagi." Fadila menangis sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Tenang, Fa. Kamu harus bisa kendalikan emosi dan perasaan kamu. Ingat Anan yang masih sangat membutuhkan kamu. Anan permata kecil kita yang berharga, kamu harus kuat demi dia." Sinta menepuk pundak Fadila sembari berucap.
Dwi menghembuskan napasnya panjang melihat kondisi Fadila. Ini bukan pertama kalinya sikap egois Fadila menguasai dirinya. Sejak tahu kalau dirinya hamil dan mulai bekerja keras.
Fadila mulai sering bengong dan bersikap egois dengan melakukan sesuatu di luar kendalinya tanpa sadar. Dan harus ada seseorang yang mengingatkan wanita itu atas apa yang di lakukannya.
"Tarik napas dalam-dalam, buang perlahan." Sinta mengintruksikan Fadila untuk mengatur napas.
Fadila mengikuti araha Sinta dan perlahan mulai tenang.
Dwi mendekat ke arah Arnan yang masih mendekap Anan yang sudah tidak menangis lagi.
"Anan, sayang mami." Bocah kecil itu langsung menoleh mencari maminya.
"Mami!" Panggilan lembut itu membuat Fadila menoleh pada Anan dan mendekat.
"Mami, jangan angis lagi. Cekalang ada daddy yang cayang kita. Aku juga cayang cama, Mami. Cayang banet." Anan mengecup kedua pipi Fadila.
Dengan setengah tubuh Anan masih menempel pada Arnan dan setengah tubuhnya merapat ke arah Fadila. Akhirnya kedua orang dewasa itu berjarak sangat dekat.
Fadila dan Anan saling mencurahkan kasih sayang mereka.
Dwi dan Sinta saling pandang dan tersenyum, keduanya selalu punya cara agar Fadila dan Anan bahagia. Meski hanya melakukan sesuatu yang sederhana.
"Kita ke resto sekarang, yuk!" ajak Dwi sembari melihat jam di tangan kirinya.
"Tapi masih ada 1 jam lagi sebelum jam istirahat." Fadila tak ingin bolos kerja.
"Bolos sesekali gak masalah. Toh juga desain kamu sudah kelihatan, gak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya." Sinta menyusun desain Fadila dan menyimpannya di laci meja kerja.
"Anan, mau makan ayam goreng?" Dwi menggunakan Anan agar Fadila mau keluar.
"Ck! Jangan selalu gunakan anakku untuk memuluskan rencana kalian."
Dwi tidak perduli pada ucapan Fadila dan tetap menawari bocah kecil itu makanan lainnya.
"Kentang goreng, mau? Papa sudah pesankan banyak makanan loh."
"Mau, mau ayam goleng cama ketang goleng, cama ec klim." Semangat Anan jika sudah menyangkut makanan.
"Ayo sama Buna, kita ambil makanannya." Sinta mengulurkan kedua tangannya pada Anan.
"Cama daddy." Senyum Sinta hilang sata mendapat penolakan dari Anan.
"Huh, sekarang ada daddy, jadi nolak Buna." Sinta pura-pura cemberut.
Namun Anan tidak melihat dan malah mendekapkan kedua tangannya di leher Arnan erat.
"Sudahlah, Sin. Ayo kita pergi." Dwi dan Sinta berjalan lebih dulu.
Sedangkan Fadila mengikuti di samping Arnan yang menggendong anaknya. Anan mengulurkan tangan kecilnya pada Fadila.
Fadila menyambut uluran tangan Anan dengan senyuman manisnya. Ibu dan anak itu saling bergandengan keluar dari perusahaan.
Arnan melirik Fadila di sampingnya yang sedang menyentuh pipi Anan. Arnan harus meminta Jack untuk menyelidiki lebih banyak lagi tentang Fadila.
Info yang di berikan Jack tidak membahas tentang apa yang terjadi pada Fadila tadi.
Atau aku bertanya saja langsung sekalian pendekatan, batin Arnan.