NovelToon NovelToon
No Khalwat Until Akad

No Khalwat Until Akad

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Spiritual / Beda Usia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.

Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.

Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13-Perbincangan Serius

Penantian menjadi hal yang tak bisa lepas dari kehidupan. Di mana pada saat masih melajang, yang dinanti ialah seorang pasangan. Setelah itu, berlanjut menanti hadirnya momongan. Siklus yang takkan pernah berubah, bahkan akan terus berulang.

Pertanyaan kapan, kapan, dan kapan akan terus digaungkan. Seperti hal wajib yang tak bisa dikesampingkan. Manusia zaman sekarang memang terlalu mencampuri urusan orang lain, menuntut banyak hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

Mungkin itu hanya sekadar basa-basi, tapi tanpa sadar melukai banyak hati. Mungkin maksudnya hanya sekadar bincang santai, tapi tanpa sadar telah memporak-porandakan perasaan orang. Ketidaksadaran itulah yang membuat manusia saling menyakiti.

"Anak itu merupakan rezeki, jika memang Allah menghendaki pasti akan diberi, tapi jika pun tidak ya tak usah menghakimi."

"Pasangan zaman sekarang kalau dinasehati gitu. Bukannya berterima kasih malah menyangkal dan menganggap diri paling benar. Mau ikutan yang lagi viral?"

Aku pun tersenyum lantas berkata, "Tujuan dari pernikahan kami bukanlah untuk mendapat keturunan. Jika diberi kami syukuri, jika pun tidak kami akan sabar dan sadar diri. Kami ini hanya sebatas hamba, yang hanya bisa meminta dan berdoa. Terkait diijabah tidaknya terserah Allah saja. Dan untuk kabar yang sempat viral, mohon maaf, Bu saya tidak berhak untuk ikut campur ataupun berkomentar ihwal masalah orang lain."

Masalah sendiri pun mengelilingi pikiran tiada henti, rasanya tidak ada tempat untuk mencampuri persoalan orang lain, terlebih selebriti. Kurang kerjaan sekali, jika harus mengikuti setiap update kehidupan mereka setiap hari.

"Saya permisi dulu, assalamualaikum," pamitku sebelum mendengar semakin banyak argumen, yang hanya akan membuat darahku mendidih naik ke permukaan.

Kadang aku heran, kenapa ibu-ibu doyan sekali berghibah di tukang sayur. Membicarakan banyak hal, yang didominasi kemudharatan. Apakah mereka tidak memiliki kegiatan lain, selain memakan daging saudaranya sendiri?

Orang-orang di luar sana yang tidak tahu menahu ihwal kehidupanku, tapi seolah paling tahu. Sedangkan orang terdekatku saja tak ambil pusing akan hal itu. Menanyakan ihwal momongan memang pernah, tapi tidak sejulid ibu-ibu tadi. Lagi pula pernikahanku pun baru memasuki usia setengah tahun.

Aku percaya pada garis takdir yang sudah Allah tuliskan. Allah lebih mengetahui sedang aku tidak. Jadi, tak seharusnya diri ini mencemaskan hal-hal yang menjadi urusan-Nya. Tidak ada kata cepat ataupun terlambat, sebab takdir Allah selalu datang di waktu yang tepat.

"Kenapa tuh muka ditekuk gitu?" Sambutan hangat langsung kudapatkan dari Bang Fariz yang sekarang tengah mencuci mobil.

"Sedikit kesal, tapi gak papa," jawabku sembari tersenyum tipis.

"Ibu-ibu julid?"

Aku pun mengangguk sebagai jawaban.

Bang Fariz mematikan keran terlebih dahulu, lalu bergerak untuk lebih mendekat ke arahku. Dengan lembut dia mengusap puncak kepala yang tertutup hijab. "Gak usah terlalu diambil pusing yah."

"Iya, lagian sudah biasa juga. Kesal doang, hal yang wajar, kan?"

Bang Fariz mengangguk singkat. "Iya, tapi jangan terlalu dipikirkan."

"Oh iya, Ibu sama Bapak mau ke sini, habis panen jagung sama ubi katanya," ungkapku mengalihkan pembicaraan.

"Jam berapa? Kok baru bilang sekarang?"

"Mungkin sebentar lagi juga sampai. Lupa, Bang."

Bang Fariz geleng-geleng dibuatnya. "Kasian mereka, harusnya biar Abang saja yang jemput. Ke sininya naik apa coba?"

"Taksi online biar gak naik turun angkutan umum."

"Ongkosnya bayar di sini, pake uang kita. Ambil di dompet Abang," katanya.

Keningku mengernyit. "Gak mau ah. Uang Abang receh semua, aku malu tahu."

Terdengar helaan napas singkat. "Lembaran bukan logam, uang recehnya belum Abang isi ulang."

Lengkungan di bibirku terbit dengan sangat lebar. "Setiap hari aja kayak gitu, aku, kan jadi seneng."

Bang Fariz berdecak. "Mata kamu langsung ijo kalau lihat si merah. Beda banget kalau Abang kasih logam, tuh bibir maju beberapa senti kayak soang."

Aku terkekeh lalu berujar, "Sensasi bawa logam sama lembaran itu beda, Bang."

"Sama aja. Sama-sama uang."

"Beda, Bang Fariz."

"Masak apa sekarang?" tanya Bang Fariz seperti tak ingin melanjutkan perdebatan.

"Ayam suwir kemangi, sayur bayam, sama sambal cumi, atau mau yang lain?"

"Sudah itu aja, ya udah gih sana masak dulu. Supaya pas Bapak sama Ibu datang makanan sudah terhidang," titah Bang Fariz yang langsung kuangguki.

Aku pun bergegas ke dapur, segera mengeksekusi bahan masakan. Hal yang setiap hari kulakukan, sebab memasak merupakan kegiatan yang menyenangkan. Di mana rasa lelahnya akan terbayar kala melihat Bang Fariz makan dengan lahap.

Suara salam menguar, bersamaan dengan itu masakanku pun sudah terhidang di meja makan. Kusambut kedatangan Ibu dan Bapak dengan senyum lebar, bahkan kami pun sejenak berpelukan. Melepas rasa rindu yang akhirnya berujung temu.

"Duduk dulu, Pak, Bu. Bang Fariz-nya mana?"

"Lagi bayar taksi dulu," sahut Ibu.

Aku hanya manggut-manggut.

"Bapak sama Ibu apa kabar?" tanyaku memulai obrolan.

"Alhamdulillah kabar baik, Nak," sahut Bapak seraya tersenyum lebar.

Fokusku teralihkan saat Bang Fariz datang dengan dua tangannya menjinjing keresek hitam berukuran besar. Kebiasaan Bapak dan Ibu kalau berkunjung ke mari pasti selalu membawa banyak buah tangan.

"Bapak sama Ibu kalau mau ke sini, gak usah repot-repot. Datang aja, kabari dulu kalau perlu, biar Fariz yang jemput," tutur Bang Fariz saat dia sudah duduk bergabung.

"Gak repot, cuma bawa jagung sama ubi aja. Hasil panen, kesukaan Kirania dan Bu Farah. Kalau buat Fariz, Ibu bawain kacang rebus," jawab Ibu.

Jagung manis memang kesukaanku, dan ubi jalar merupakan kesukaan Mama Mertuaku, bahkan oleh-oleh untuk Bang Fariz pun tak ketinggalan. Ibu memang pengingat yang baik.

"Makasih lho, Pak, Bu, maaf banget ngerepotin," tutur Bang Fariz terlihat sedikit sungkan.

"Gak sama sekali," sahut Bapak.

"Oh, iya Bapak sama Ibu pasti capek dan laper, kan. Aku udah masak, mending kita makan dulu aja," ajakku.

Kami pun makan bersama, sesekali bercengkrama dan bertukar cerita. Kehangatan sangat amat terasa, tawa riang pun menguar begitu saja.

"Kedatangan Bapak sama Ibu ke mari sebenarnya ada hal yang ingin kami sampaikan pada kalian," tutur Bapak setelah selesai makan.

Tanganku yang hendak membereskan piring dan gelas pun urung dilakukan. Dari nada bicara beliau, terdengar sangat serius.

"Ada apa, Pak?"

"Mas Rezza didesak untuk segera mempersunting tunangannya. Bapak dan Ibu berencana menjual tanah untuk mencukupi biaya pernikahan Mas-mu, Nia."

Aku cukup terhenyak mendengar penjelasan Ibu.

"Pihak perempuan meminta pernikahan yang mewah dan juga mahar yang cukup memberatkan. Sedangkan tabungan yang Mas Rezza miliki belumlah cukup," imbuh Bapak.

"Tanah yang akan Bapak jual memang dipersiapkan untuk masa depan kamu, Mas Razzy, Mas Khairi, dan juga Mas Rezza. Maka dari itu Bapak meminta izin kamu, sebab kamu pun memiliki hak atas tanah itu," terang beliau.

Kedua kakakku yakni, Mas Razzy dan Mas Khairi memang sudah berkeluarga bahkan mereka pun sudah dikaruniai buah hati. Mas Razzy dan Mas Khairi tinggal di dekat rumah Ibu dan Bapak, sebab tanah yang mereka tempati merupakan pemberian orang tua kami. Berbeda denganku, saat sudah menikah langsung diboyong Bang Fariz untuk menempati rumah yang sudah dipersiapkannya.

Lain hal dengan Mas Rezza yang baru akan menghalalkan hubungan haram mereka yang sudah terjalin hampir sebelas tahun. Mas Rezza dan Mbak Rumi berpacaran dari SMA, sampai dengan sekarang mereka sudah sama-sama bekerja. Mbak Rumi merupakan seorang dokter kandungan, dan juga terlahir dari keluarga terpandang.

"Apa pun keputusan yang Bapak dan Ibu ambil aku setuju. Gak perlu memikirkan aku, tanah itu milik Bapak dan Ibu," sahutku.

"Tanah yang hendak Bapak jual, merupakan lahan perkebunan tempat Bapak dan Ibu berkebun?" tanya Bang Fariz ikut menimpali.

Bapak mengangguk singkat, ada sedikit senyum terpaksa di sana.

"Apa gak bisa dibicarakan lagi, untuk mencari jalan tengahnya? Mas Rezza gimana?"

Jika tanah itu dijual, otomatis Bapak dan Ibu akan kehilangan mata pencaharian. Walaupun mereka memiliki tiga putra dan satu putri, mereka tidak pernah mau jika kami bantu. Bahkan, selalu mengembalikan uang bulanan yang kuberi.

"Bapak dan Ibu gak meminta balas jasa berupa harta, cukup kalian jadi anak yang shalih dan shalihah."

Begitulah kalimat yang kerapkali Bapak tuturkan kala mengembalikan uang yang kuberi. Padahal niatku hanya ingin meringankan beban mereka, tapi penolakanlah yang selalu kuterima.

1
aca
lanjut thor
aca
cerai aja klo masih pelit dasar bangsa t
aca
novelmu bagus kok like dikit bgt
aca
mending g usa lanjut mertua matre istri dokter g ada uang nya gk guna
aca
reza ngerepotin orag tua aja lo
aca
bodoh cerai aja punya suami gt
Novie Achadini
nggak usah nyesel fatiz bp jahat kaya gitu biar aja mati
Novie Achadini
yg sabar ya neng org sabar padti kesel
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!