"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Ulang Tahun Pertama
Jarret dan Jackson tumbuh menjadi anak yang luar biasa. Kini usia mereka menginjak satu tahun, Jarret dan Jackson hampir tidak pernah sakit. Vaksin yang diberikan pada keduanya khusus berasal dari laboratorium Sword of science. Vaksin itu telah diproduksi massal dengan harga tinggi. Dan beruntungnya Kedua bocah itu adalah pewarisnya. Jadi Giani tidak perlu merogoh koceknya untuk mendapatkan vaksin bagi kedua putranya.
Pagi ini, rumah kediaman Martha di sambangi oleh Ramos dan Benjamin. Tanpa diundang keduanya tiba di rumah itu lebih awal. Martha yang sudah lama tak melihat cucunya hanya mencibir, karena kini Ben mau menginjakkan kaki di rumahnya hanya karena ada kedua anaknya.
"Tuan Ben, Tuan Ramos. Ada apa kemari? apa ada sesuatu yang terjadi dengan papaku?"
"Tidak, Giani. Bukan begitu. Kami datang kemari karena ingin memberikan hadiah untuk Jarret dan Jackson."
"Hadiah?"
"Ya, hadiah. Aku sudah mempersiapkan hadiah untuk Jarret dan Jackson."
"Kenapa anda repot-repot. Aku bahkan tidak mengadakan apapun untuk merayakan ulangtahun mereka," kata Giani. Wajah Ben langsung berubah dia terlihat melamun setelah Giani mengatakan hal itu.
Andai semuanya mudah, pasti sekarang kau bisa merayakan ulang tahun Jarret dan Jackson dengan sangat mewah.
"Tuan Ben, apa kau tersinggung dengan ucapanku?" tanya Giani, tak enak hati menatap Ben yang tiba-tiba berubah.
"Tidak. Untuk apa aku tersinggung."
"Apa aku boleh menemui mereka?"
"Oh tentu saja."
Giani berlalu dari hadapan Ben dan Ramos dengan alis yang bertaut. Bagaimana bisa? kenapa tingkah Ben semakin tidak mencerminkan sikap yang menakutkan dan kejam? atau itu hanya sebuah rumor saja? Giani tampak berpikir, dia bahkan sampai tidak melihat Elena yang berpapasan dengannya sambil menggendong Jarret dan Jackson.
"Hai, kenapa kau melamun, Giani?" tanya Elena.
"Hah ... eh kenapa?"
"Kau melamun sambil berjalan. Ada apa?"
"Elena, aku merasa sikap tuan Ben sedikit aneh. Apa mungkin dia tertarik pada putra-putraku untuk dijadikan kelinci percobaan?"
"Kau jangan sembarangan bicara Giani. Mana mungkin." Elena melotot tak percaya, mendengar dugaan Giani pada tuannya.
"Lalu kenapa menurutmu?"
"Dia juga jatuh hati pada kedua putramu."
"Jangan bercanda.""
"Kau lihat aku, aku di sini juga karena telah jatuh hati pada mereka. Jadi kemungkinan besar itu salah satu alasan dia berada di sini. Ayo kita keluar! Dia pasti sudah menunggu lama."
Giani mengambil Jackson dari gendongan Elena, tapi Jarret juga ikut merentangkan tangannya.
"Tidak, Jarret kau bersama aunty saja." Elena medekap Jarret, tapi bocah itu seketika menangis dengan keras. Jika begini kemauannya tak bisa di tolak oleh Giani. Akhirnya dengan susah payah Giani menggendong kedua bocah itu dan membawanya ke ruang tamu.
Setibanya Giani di ruang tamu, sudah ada Martha yang duduk menemani Ramos dan Benjamin. Sementara Thomas sudah berangkat ke toko roti.
"Kenapa Jarret menangis?" tanya Martha.
"Biasa, drama perebutan digendong ibu ratu," ujar Giani. Elena kehilangan suaranya saat berhadapan dengan tuannya. Tanpa diduga oleh Elena. Ben lagi-lagi tertangkap oleh matanya sedang tersenyum menatap kedua anaknya.
Elena tanpa sadar menatap Ben iba, Ramos langsung melemparkan tatapan tajam, hingga membuat Elena tersadar akan perbuatannya yang lancang.
Giani duduk di samping Martha. Bersebelahan dengan kursi Ben. Giani tak menyadari ada kue ulang tahun di depan meja.
"Apa aku boleh menggendong mereka?" tanya Ben sedikit ragu. Baru kali ini Ramos melihat atasannya tampak ragu seperti itu. Wajah Ben tampak lebih manusiawi. Jika berada di dekat Giani. Dia terlihat seperti manusia pada umumnya. Bukannya mirip ilmuwan gila yang senang bereksperimen aneh.
Saat Ben mengulurkan tangan pada kedua bocah itu, Jackson dengan suara khas anak-anaknya memanggil Ben.
"Daddy." Jackson yang pertama menyambut tangan Ben. Dalam hati Ben seperti ada batu yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Sesak sekali. Meskipun dia bahagia putranya mengenali dirinya, tapi hal yang paling menyakitkan adalah dia tidak bisa mengakui keduanya sebagai anak di depan Giani.
Dia tak mau Giani membenci dirinya. Katakanlah dia pengecut, tapi dia khawatir dengan respon Giani nanti. Bagaimana jika dia tak mengizinkan dirinya dekat dengan kedua putranya lagi.
"No, Jackson. Dia uncle Ben."
"Tidak apa-apa. Biarkan saja."
Mendengar jawaban Ben, lagi-lagi alis Giani bertaut dalam. Ramos yang mulai menyadari jika Giani kemungkinan sedang mencurigai atasannya langsung mengalihkan topik pembicaraan.
"Nona, ayo nyalakan lilinnya. Kita rayakan ulang tahun Jarret dan Jackson," ujar Ramos sembari menyerahkan sebuah pemantik dan melirik kue ulang tahun di depan Ben. Giani baru menyadari ada kue di hadapannya.
"Kenapa repot-repot sekali?" ujar Giani semakin tak enak hati. Martha melempar tatapan curiga pada cucunya. Namun, Ben terlihat menyibukkan dirinya dengan Jackson.
"Daddy," kini giliran Jarret ikut memanggil Ben dan tangannya ikut terulur ke arah pria itu.
"Uncle Ben. Panggil dia uncle Ben, Jarret."
"Daddy." Lagi-lagi bocah itu berceloteh memanggil Ben dengan sebutan Daddy.
"Maafkan putra-putraku, Tuan."
"Tidak masalah, mereka hanya anak-anak, Giani. Jangan terlalu keras pada mereka."
Giani menghela napas sesaat Jarret kini ikut bermanja di pangkuan Ben. Giani menyalakan lilin di kue ulang tahun kedua putranya.
Kue itu menurut Giani sangatlah besar. Karena mungkin diameternya bisa mencapai 15 inchi. Jarret dan Jackson seketika menoleh ke arah kue ulang tahun itu dan lalu menatap lilinnya dengan tatapan berbinar.
"Lalu siapa yang akan meniup lilin itu? anak-anakmu mana paham meniup lilin," ujar Martha sedikit kesal.
Namun, tanpa diduga Jarret dan Jackson memberontak dari gendongan Ben. Mereka berdua kini berdiri didepan kuenya. Giani khawatir Kedua putranya akan menyentuh lilin yang menyala itu. Namun, lagi-lagi keduanya melakukan sesuatu yang mengejutkan Jarret dan Jackson bertepuk tangan dan tak lama mereka meniup lilin yang ada di hadapan mereka. Giani membelalakkan matanya begitu juga dengan Martha.
Sementara Ben, Ramos dan Elena justru menatap takjub. Ben berasumsi jika kedua putranya memang memiliki kelebihan.
"Anak-anakmu benar-benar mengagumkan," ujar Ben. Giani masih tertegun menatap lilin yang telah padam apinya itu.
"Bagaimana bisa?" desis Giani, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Giani memotong kue itu dan mulai membaginya. Ben yang tidak suka manis bahkan mau memakan potongan kue yang diberikan Giani untuknya.
Usai acara sederhana itu, Ben pamit pulang setelah menyerahkan hadiah untuk kedua putranya. Meski berat hati, tapi setidaknya dia puas bisa ikut melewatkan acara ulang tahun kedua putranya.
"Kau lihat tadi, Ramos?"
"Tentu saja, Tuan."
"Bagaimana menurutmu?"
"Mereka benar-benar mengagumkan, Tuan. Saya rasa mereka berdua memang terlahir dengan banyak keistimewaan."